Wednesday, January 30, 2008

Parodi burung bernyanyi

“ Burung nuri terbang tinggi. Aku rindu kepada tuan. Mari mari kasih hati aku rindu kepada tuan. Rupamu elok tak ada bandingnya. Suaramu nyaring lagu merdu. Oooooo Ooooo”.

Ini adalah penggalan lagu indah irama Melayu tentang burung. Sangat populer di tahun limapuluhan. Lupa siapa penyanyinya. Banyak lagu indah diciptakan untuk burung dari masa ke masa. Tetapi benarkah untuk burung ? Tidak juga. Orang menciptakan lagu tentang burung ya untuk fantasi manusia sendiri. Tak ada komponis lagu yang menciptakan lagu untuk menghibur burung. Bahkan manusia selalu pengin menikmati nyanyian para burung. Harga mahal harus dibayar oleh para burung itu. Kebebasan dan kelangsungan hidupnya. Burung kepodang, cocak rawa, perkutut, kutilang, nuri, jalak dan lain sebagainya.

Burung burung ini banyak diburu, dipelihara dan dipisah dari habitatnya. Kehilangan kebebasan. Kehilangan kelangsungan beranak pinak. Mereka menuju kepunahan. Saya suka memelihara burung waktu kecil. Tetapi burung burung itu bebas berkeliaran di rumah kami, di Ambarawa. Mereka seolah mejadi bagian dari keluarga dan hewan hewan piaraan kami. Entah itu lembu, kambing, anjing, kucing, kuda dan sebagainya. Saya mempunyai ikatan batin yang mendalam dengan mereka waktu itu.

Dalam kehidupan kotemporer saat ini manusia modernpun tak bisa dipisahkan dari burung. Entah itu politisi, selebritis, tokoh spiritual. Kadangkala burung bukan hanya sebagai piaraan untuk didengarkan irama nyanyiannya. Tetapi juga kadang dijadikan simbol kejantanan dan kekuasaan. Tetapi pernahkah kita membayangkan apa yang ada di benak burung burung itu. Dibalik nyanyian nyanyian indahnya ? Dengarkanlah nyanyian mereka. Dengarkanlah cerita mereka seandainya mereka bisa berwawancara seperti induk semangnya. Entah itu dalam talk show, seminar, lokakarya, rapat pengarahan atau apa lagi lah. Jika saja burung itu punya kesempatan untuk bernyanyi dan berbicara. Dengarlah kesan kesan mereka tentang induk semang yang mereka cintai. Yang menentukan kebebasan mereka dan kelangsungan hidup mereka. Yang mungkin bersedia membayar mahal untuk memenuhi napsu menikmati nyanyian burung.

Sang burung kutilang, burung yang ceria, dipelihara oleh seorang pensiunan pejabat pemerintahan. Dalam nyanyiannya dia bersenandung

“ Saya sudah menua, sudah pensiun. Tidak bisa lagi apel pagi. Tidak bisa berbaris berdiri tegak seperti dulu. Tidak lagi lantang bernyanyi. Hanya menunduk lesu. Menikmati dunia di masa masa kahir hidupku. Minum jamu pun hanya placebo, sia sia lah. Menikmati dunia dari jauh dalam lamunan, Nggak usah berprasangka macam macam”.

Alamiah, nggak seperti waktu masih dinas aktif, harus berdiri tegak setiap pagi. Selalu siap menjalankan perintah. Terutama dari ibu, sebelum berangkat kantor.

Giliran burung cocak rawa bercerita. Dia menjadi klangenan tokoh yang masuk orang terkaya di Indonesia yang namanya muncul hampir tiap hari di TV karena baru saja kawin lagi dengan seorang penyanyi muda usia. Ramai di pengadilan. Ramai di TV dan media masa.

“Bapakku tenang sekali orangnya. Kaya dan ngganteng. Ibu pertamaku sangat cantik dan anggun. Tetapi suka nylentik saya. Saya nggak berani berdiri jika ada ibu. Lain dengan ibu muda ini sekarang. Penyanyi ndangdhut. Selalu menyanyikan lagu untukku dengan mesra Wahai Kau Burung Dalam Sangkar. Dapatkah Kau Menahan Siksa ? Ibu muda ini nggak pernah nylentik, tetapi malah membelai belaiku setiap saat. Geliiiiii deh “.

Apapun yang terjadi di pengadilan, burung cocakrawa ini hanyalah menjadi obyek atau alat sang induk semang. Tak bisa bersaksi. Tak bisa mengajukan keberatan. Tak bisa mengajukan kasasi. Apapun putusan pengadilan, sang burung cocak rawa harus tetap menjalankan tugas sebagai burung. Tunduk perintah sang induk semang. Nggak mau ikut ikutan pusing masuk siding, masuk acara TV.

Bagaimana cerita si burung nuri yang dimiliki seorang anggota DPR yang harus mundur dari jabatan karena foto pornonya beredar di masyarakat umum ? Bercerita dengan semangat tinggilah dia.

“Bapakku orangnya sangat cerdik. Dirumah saya harus tunduk menjalankan tugas sehari hari sebagai burung. Ya bernyanyi. Ya berbaris. Harus siap setiap saat. Siap tembaklah. Saya selalu diberi makan sambal pedas supaya bisa menyanyi lantang. Di luar rumah tugas saya juga sama. Siap menyanyi. Siap tembak. Kawan wanitanya tak suka pisang raja. Sukanya cabe pedas. Sama saya sayang sekali. Sering dicium dan di belai. Bahkan kadang2 di foto. Sering menyanyi lagu lagu revolusi. Semangat saya ikut berapi api. Tetapi geniiiiiiit ah, ini bukan jaman revolusi. Revolusi jaman edan “

Tiba giliran burung perkutut yang dimiliki seorang tokoh spiritual yang sering menjadi tempat para selebritis menmpahkan curhat dan meramalkan keberuntungan masa depan.

“Bapakku orangnya alim. Hanya para selebritis molek itulah yang sering datang konsultasi jika sedang dilanda prahara asmara. Selalu pakai sarung kalau pas menemui klien. Saya sering menderita kedinginan. Tetapi ya lumayanlah. Sering berdiri mengintip yang molek molek itu. Siapa tahu ada yang mau menyentuhku. Bapakku toh juga seorang manusia biasa. Mana tahanlah. Tidak disentuh nggak apa apa, disentuh ya sokur, apalagi dibelai. Rejeki kan datangnya lain lain, Terima saja apa adanya. Asyiiiiiiik lhooooo, Sori mek sori sori”.

Lain cerita burung kacer. Induk semangnya punya hobi keluyuran setiap malam. Karaoke, panti pijat, nite club dan yang lain.

“Sialan saya. Selalu capek kurang tidur. Boss selalu ngajak saya main keluar setiap malam. Keluar masuk daerah yang agak becek. Agak kumuh dan berbau. Badan rasanya sakit semua dipaksa kerja terus menerus. Tetapi lumayanlah. Boss sebenarnya sayang sama saya. Hanya mungkin kurang memiliki rasa peri perburungan. Yaah saya sih manut manut saja. Hidup sekedar menunda kekalahan. Nikmati saja apa adanya. Langit diluar yang indah, lorong yang gelap dan basah, bersatu dalam jiwa “.

Kok cerita burungnya jadi ngelantur ya ? Kadang2 burungpun harus didengar suaranya. Tak hanya jadi alat klangenan semata Bung. Hidup tak hanya untuk memelihara burung. Baah sementara saya dengar Nyi Ageng melantunkan lagu Wahai Kau Burung dalam Sangkar. Lagu indah kesayangan sejak masa muda.

Mohon maaf tak bermaksud mendiskreditkan siapapun dengan monolog burung ini.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat dalam Kolom kita Kompas Cyber 30 Januari 2008)

2 comments:

paromo suko said...

kata man jamino:
sut, besut,
manuke onok sing protes, suut,
manuk sing mangan batre
jare manuke: aku kok gak ditakoki mbarek tukang nanggap manuk iko see..

man jamino, maaan, ojok kesusu tah
iku mono dorung mari ceritane
soale lagek pas cerito onok wong nggowo manuke sing pileren njaluk disowuk ....
mangkane peno sing sabar tah maan, man, sabar ngono nggarahi sobur

salam untuk pak Bud

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih sempat mampir mas Paromo. Seadainya para burung itu bisa seminar. Saya kira kok rame pasti isinya. Salam hangat