Thursday, October 25, 2007

Topi tak selalu bundar

Salam dari bandara Svarnabhumi, Bangkok. Dalam perjalanan dari Phnom Penh ke Manila. Pagi tadi keluar dari hotel agak pagi, jam 0700, walaupun pesawat berangkat baru jam 10 lewat. Sebelum ke bandara lewat jalan raya 199, mau singgah ke tempat yang saya kunjungi semalam. Topi saya ketinggalan. Topi itu harganya nggak seberapa. Tetapi ada beberapa kisah menarik berkaitan dengannya. Saya beli di warung makan bandara Solo beberapa tahun lalu. Saya beli tiga topi, yang satu dengan merek bandara Adisumarmo, yang satu TNI AU dengan merk Sukhoi dan yang satu tanpa merk. Bentuknya sama seperti topi yang dikenakan para pilot.

Semalam ditilpun teman kalau ada yang punya batu safir Ratanakiri. Kami kemudian ke tempat yang punya batu. Tak banyak koleksinya oleh karena kalau asli memang jarang dan harganya selangit. Di Central Market kelihatan banyak sekali pilihan. Tetapi sebenarnya yang ada di sana sebagian besar adalah batu yang diproses atau tiruan. Ada dua safir Ratanakiri yang saya pilih. Saya belum punya jenis ini. Saya memang suka koleksi batu mulia. Topi yang saya cari ternyata sudah diantar ke hotel pagi tadi. Berselisih jalan . Untung salah seorang teman yang juga akan ke Manila, membawakannya ke bandara. Kali ini cerita saya bukan tentang batu tetapi tentang topi. Ada banyak cerita tentang topi yang mungkin menarik untuk direnungkan. Tentang batu lain kali saja ok akan lebih nges kalau di sertai foto. Sampai saat ini belum berhasil kirim foto ke Koki.

Bagi banyak orang topi mungkin sekedar merupakan asesori supaya penampilan lebih menarik. Tetapi di balik itu tentu ada fungs, entah melindungi kepala ( misalnya topi baja) atau sebagai lambang kebudayaan (misalnya blangkon). Masing masing jenis punya peran dan fungsi masing masing. Bisa dibayangkan betapa konyol jika dalam peralatan pesta perkawinan Jawa, topi blangkon diganti dengan topi baja. Atau dalam parade militer di hari Angkatan Bersenjata, topi baja diganti dengan blangkon.

Setiap jenis topi punya makna dan filosofi. Blangkon sebagai salah satu perangkat pakaian adat Jawa, juga berbeda antara Yogya dan Solo. Blangkon Solo tanpa tambahan hiasan telor (mondolan) di belakang. Tetapi blangkon Yogya, pasti ada mondolannya. Mungkin beberapa ratus tahun lalu, raja raja Solo kalau leyeh leyeh atau tiduran telentang selalu pakai blangkon. Sedangkan raja raja Yogya, kalau mau leyeh leyeh harus copot blangkon ok mondolan itu akan mengganjal. Nggak usah leyeh leyeh, pakai blangkon Yogya untuk nyopir pun selalu terganggu karena mondolan di belakang itu rasanya selalu mengganjal dengan sandaran kursi di belakang kepala.

Liburan lebaran kemarin saya bawa oleh oleh topi untuk cucu cucu saya, Rio (4 th), Laras (2 th) dan Karin (1.5 th). Masing masing 3 jenis topi anak anak yang masih ngetop modelnya. Rio sama Laras senang sekali pakai topi topi itu, apa lagi yang dengan bentuk kepala kelinci atau beruang. Tetapi Karin sama sekali nggak mau pakai, kalau di coba malah dibuang. Anak anak itu mungkin mempunyai persepsi yang berbeda akan topi. Orang dewasa juga punya persepsi dan kesukaan lain lain tentang topi. Tak semua orang suka topi.

Sewaktu kecil saya selalu memimpikan pakai topi. Perasaan saya seolah ada nilai lebih dengan topi di kepala. Sayang saya tak pernah dibelikan topi oleh orang tua saya. Sampai kelas 3 SR justru selalu plonthos alias gundul. Sehingga sering diledhek teman teman dengan lagu Gundul Pacul. Di kelas empat SR saya mencoba membuat topi sendiri, dari kulit batang pisang. Design bisa macam macam, bisa seperti bangkon, atau topi model kini. Sayang saya tak diijinkan memakai topi itu ke sekolah. Pengalaman memakai topi waktu kecil hanya kalau ke sawah, harus memakai caping untuk melindungi kepala dari panas mata hari. Jarang orang ke sawah tanpa caping. Panasnya sangat menusuk.

Pengalaman dengan topi yang agak membekas adalah sewaktu mahasiswa. Salah seorang teman saya dari Ponorogo, ayahnya pensiunan masinis. Topi peninggalan ayahnya, topi masinis, warna merah bundar, disimpan baik baik. Ternyata banyak gunanya. Saya pernah naik kereta api bersama dia ke Solo. Dia tak beli karcis. Ketika kondektur melakukan pemeriksaan karcis, teman saya ini pura pura tidur. Tetapi topi masinis almarhum ayahnya, didekap di dadanya. Ternyata ada pengaruhnya. Kondektur jadi ragu ragu untuk membangunkannya, dia berlalu saja meskipun nampak heran dengan topi itu.

Saya mulai suka mengkoleksi dan memakai topi sesudah lulus dan bertugas sebagai dosen. Jika bepergian selalu memakai topi, terutama topi warna gelap dengan model topi detektif. Mengapa suka pakai topi ? Ya hanya suka saja. Kakak saya juga selalu pakai topi. Jelas salah tujuannya untuk meningkatkan penampilan. Biar nampak beken mungkin.

Di awal tahun sembilan puluhan saya sering bolak balik ke Jakarta, sebagai konsultan proyek untuk Dep Kes. Biasanya nginap di Wisma Karya di depan rumah sakit Cikini di jalan Raden Saleh. Suatu sore saya pengin beli tahu goreng di depan RS. Saya pakai topi kesayangan saya, dan kebetulan pakai celana pendek. Si penjual ternyata nggak di tempat, baru ngantar pesanan ke dalam. Saya menunggu dengan sabar. Tiba tiba ada ibu ibu yang juga ingin beli tahu langsung bilang ke saya " Bang, tahunya dua puluh potong. Cepet ya, saya terburu buru". Asem, saya malah dikira penjual tahu. Dia baru sadar kalau keliru sewaktu si penual aslinya datang, "Maaf saya keliru", katanya. Tetapi waktu pergi, saya lihat dia menahan ketawa dengan temannya.

Tiga topi yang saya beli di Solo punya kisah menarik. Modelnya kayak topi pilot AU, sehingga dengan topi itu setiap kali saya masuk Navy Golf, mobil nggak pernah di geledah, malah penjaga selalu memberi hormat militer. Lumayan ngurangi waktu buka buka begasi. Yang payah kalau ada yang ngajak ngobrol tentang dunia militer, dikiranya saya pejabat militer dari Indonesia. Jika begini pelan pelan saya buka jati diri.

Yang aneh sewaktu kami akan ikut turnamen golf di salah satu klub private. Kami bertiga dengan teman orang Amerika. Salah satunya adalah boss di kantor saya. Dia yang membawa mobil ok mobil saya AC nya baru rusak. Di sebelahnya adalah teman sekantor , orang Haiti yang tinggi besar. Saya duduk di belakang dengan celana dan baju lengan panjang warna krem dan topi pilot bertuliskan Sukhoi.

Topi Sukhoi sebenarya hanya untuk psywar kalau mereka ngajak totohan main golf. Mereka berdua pakai seragam casual, celana pendek dan kaos pendek. Di pintu masuk klub, antrean mobil melambat ok ada pemeriksaan keamanan. Teman saya yang bawa mobil tanpa bilang a atau b, langsung bilang ke penjaga "We have His Excellency Ambasador and his bodyguard". Ternyata manjur, penjaga memberi hormat dan menyilahkan mobil kami masuk tanpa menunggu antrean. Begitu turun di pintu depan, penjaga membukakan pintu mobil dan memberi hormat militer. Saya sih manut manut saja, membalas dengan hormat militer. Teman saya berdua menggerutu habis habisan. Saya hanya bisa bilang ' It is not my fault, its your idea". Saya hanya manusia biasa, kadang juga seneng Petruk jadi Ratu. Kemarin malam di Phnom Penh, kami diajak ke ball room. Saya pakai topi itu, di pintu masuk penjaga keamanan memberi hormat militer. Tanpa sadar saya kok membalas juga dengan hormat militer. Anyway !

Kadang saya merenung. Topi ternyata bisa mengubah persepsi orang. Mengubah penampilan kita di mata orang lain. Kadang persepsi atau penampilan sok penting. Kadang persepsi dan penampilan budaya pop anak muda. Terserah anda pilih yang mana. Tetapi yang paling bijak adalah penampilan apa adanya. Apapun topi yang anda pakai. Topi memang tak selamanya bundar. Orang bisa mempunyai persepsi lain lain tergantung dari kesan masing masing.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

(Kolom Kita Kompas Cyber Media, 26 Oktober 2007)

No comments: