Tuesday, October 16, 2007

Mental priyayi dan kebanggaan profesi

Menjelang dini hari di bandara Cengkareng. Baru saja datang dari Manila dengan Cebu Air Pacific, tengah malam tadi. Menunggu pesawat ke Yogya nanti jam enam. Di salah satu kafe terminal keberangkatan saya menunggu sambil terkantuk kantuk. Sepi pengunjung. Hanya ada beberapa pembeli. Ada satu keluarga, bapak, ibu dan anak gadisnya yang tertidur di meja seberang. Dan beberapa petugas yang sedang istirahat minum di ruang sebelah sambil ngobrol.

Sambil menahan kantuk saya menulis cerita ini. Mulanya pengin cerita tentang perasaan saat pulang tiba di bandara. Pulang ke Yogya. Sudah ratusan kali saya alami sejak tahun delapan puluhan.

Namun tiba tiba pikiran berubah. Seorang petugas polisi menyapa dengan ramah, kemudian dia duduk bersama dengan teman temanya di meja sana. Tak ada yang istimewa sebenarnya. Tetapi agak aneh buat saya. Ada tulisan dilarang merokok jelas terpampang di kafe ini. Tetapi rombongan petugas polisi yang sedang istirahat itu merokok dengan tenang. Mestinya merekalah yang ikut menegakkan aturan dilarang merokok di bandara ini. Sesudah beberapa saat, saya pindah keluar. Saya berjalan menelusuri terminal keberangkatan. Banyak calon penumpang yang menunggu pesawat lanjutan sedang berstirahat. Terminal ini sebenarnya artistik dan asri.

Seorang calon penumpang asing nampak terbaring di salah satu bangku. Tiduran sambil merokok dan di sampingnya berserakan botol bekas minuman. Nampak tak peduli dengan larangan merokok. Tak bisa disalahkan. Jika petugaspun tak mampu mentaaati, mana orang akan mentaati aturan. Ternyata di dalam terminal juga sama saja. Banyak petugas baik yang sedang bertugas maupun beristirahat pada merokok. Walaupun jelas ada tulisan dilarang merokok di mana mana. Seolah hanya jadi bagian dari dekorasi yang meramaikan dinding2 terminal.

Keinginan menulis saya berubah. Sekedar ingin menulis tentang kebanggaan petugas terhadap profesi dan tugas yang diembannya. Tak ada maksud untuk mencerca dan menjelekkan sama sekali. Di masa lalu kita selalu mendengar kritikan keras terhadap pejabat atau petugas yang bermental priyayi. Tak jelas benar apa itu mentalitas priyayi. Bisa feodal, bisa minta selalu diladeni. Setelah jaman kemerdekaan apa yang berbau mentalitas priyayi di babat habis. Terutama yang berakar dari bekas bekas pegawai pemerintahan Hindia Belanda.

Betulkah hanya sifat feodalisme, sifat yang minta selalu diladeni itu saja yang ada dalam apa yang disebut mentalitas priyayi itu ? Benarkah hanya ada keburukan dari apa yang dikenal dengan mentalitas priyayi ? Saya menerima kesan yang berbeda tentang persepsi mentalitas priyayi dari mereka yang pernah menjadi priyayi, pegawai pemerintah jaman Hindia Belanda.

Ketika saya kecil saya mengenal pakdhe saya almarhum yang pernah menjadi pegawai PTT (lupa kepanjangannya mungkin poste, telegraf dan telefone). Jabatan terakhir sebagai Kepala Kantor Pos Ambarawa di tahun lima puluhan. Saya bertahun tahun selalu tidur di rumah beliau setiap malam. Dari beliau saya melihat disiplin yang begitu tinggi. Berangkat kantor, pulang kantor, makan pagi, makan siang, waktu selalu sama. Ada jam saku yang selalu beliau pakai. Selalu memakai jas, topi bundar (seperti topi safari) dan tongkat. Tak banyak bicara. Setiap perkataan selalu diperhitungkan. Seolah ada protokol ketat bagaimana saya harus bicara dengan beliau. Tak ada istilah telat atau terlambat.

Ketika mahasiswa saya mondok di Patangpuluhan, di tempat almarhum Bpk Slamet yang pensiunan DPU (Dinas Pekerjaan Umum) dan pernah bekerja sebagai engineer sipil di jaman Hindia Belanda. Beliau yang membangun jalan Wonosobo Dieng. Pernah saya ceritakan di Koki bagaimana bangganya menyelesaikan tugas. Puluhan kali saya mendengar beliau mendemonstrasikan suara ledakan dinamit "bleeeeeeng" sewaktu membangun jalan itu. "Ini jalan termiring di seluruh Indonesia".

Walau kami sering terpingkal mendengar ceritanya, tetapi jelas benar kebanggaan beliau akan profesinya sebagai penanggung jawab pembangunan jalan itu. Kebanggaan akan menyelesaikan tugas dengan baik. Yang bikin kami semua geli sewaktu beliau cerita, akan meledakkan satu batu besar. Penduduk berkeberatan karena batu itu angker. Jawabannya " Saya ini bertugas, kalau perlu dhemit dan setan pun saya lawan" "Bleeeeeeeng", dinamit itu meledak katanya setan dan dhemit pada lari. "Saya bukan kelas pekerja, saya seorang priyayi dan tak pelu gentar menghadapi setiap halangan dalam tugas".

Di tahun 1973, sewaktu kami masih ko- asisten, punya seorang tetangga pegawai kantor pos. Umurnya masih sekitar pertengahan tiga puluhan. Setiap pagi kami bertemu di warung makan pagi di Patangpuluhan Yogyakarta. Dia selalu datang jam 0620 di warung, pesan teh panas dan nasi dengan sayur tempe. Jam 0640, dia cepat cepat berangkat ke kantor. Orangnya pendiam, tak suka banyak bicara. Dalam satu kesempatan dia cerita mengenai pekerjaannya. Dia sudah bekerja selama sepuluh tahun. Mula mula sebagai pengantar surat, kemudian tiga tahun terakhir katanya sering ditugaskan mengawal kiriman pos ke Bandung lewat kereta api. "Belum pernah saya gagal mengawal kiriman. Tak pernah kehilangan ".Temannya banyak kali kehilangan barang yang dikawal. Dia tak pernah mau diajak kompromi kiri kanan. Tugas mengawal barang adalah nomer satu.

Dari ke tiga cerita tadi saya mendapat kesan kuat akan adanya kebanggaan akan profesi, kebanggaan dan kesunnguhan menjalankan tugas dengan baik, dan kebiasaan disiplin yang tinggi. Mentalitas priyayi selalu kita sorot sisi negatipnya semata mata. Tak pernah kita melihat secara kualitatif dibalik mentalitas itu. Mereka memang tak ingin disamakan dengan orang kebanyakan atau kelas pekerja yang tak punya etos kerja. Para petugas di bandara yang saya lihat kali ini, mungkin tak punya kebanggaan profesi, tak punya kebanggaan menjalankan tugasnya dengan baik, minimal untuk tidak merokok sesuai dengan aturan yang harus di jalankannya. Bagaimana mau memberantas korupsi di negeri ini jika para petugas pun tak mampu menegakkan aturan larangan merokok ?

Sektor publik kita banyak kehilangan kebanggaan profesi, kebanggaan menjalankan tugas dengan baik, sikap disiplin dalam menjalankan tugas. Kolusi dan korupsi terjadi di banyak lini dengan mempertaruhkan martabat profesi dan jabatan. Anggota DPR , bupati, kadang merangkap profesi, bahkan bermain film biru. Jamane jaman edan. Para pejabat bermental "priyayi " yang memiliki kebanggaan profesi, tugas dan disiplin harus terpinggirkan. Tergantikan oleh mereka yang bertutur kata indah, bermuka manis, tetapi bermental pengerat (dalam filsafat Jawa dikenal sebagai barisan para bacingah).

Salam damai dan Selamat Merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 17 Oktober 2007)

No comments: