Friday, October 19, 2007

Disiplin, tata tertib dan toleransi

Selamat berlebaran. Moga moga anda semua menikmati lebaran kali ini dan bertemu sanak saudara. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin. Hanya beberapa hari saya di Yogya. Juga dalam rangka lebaran dan menghadiri acara lima puluh tahun ulang tahun perkawinan paklik saya, adik terkecil ayah almarhum. Acara sangat meriah kemarin siang, semalam dilanjutkan kumpul2 sambil berdansa ria di rumah tua, di Ambarawa. Mungkin akan saya ceritakan lain kali, jika ada kesempatan.

Beberapa hari di Yogya, sempat melihat arus mudik penumpang lebaran lewat tayangan televisi. Ada pemandangan yang sangat terbiasa, paling tidak selama empat puluh tahun terakhir. Penumpang yang berdesakan berebut tempat duduk di kereta atau bis antar kota. Banyak disiarkan oleh berbagai saluran televisi. Tak ada maksud untuk menghujat atau menjelekkan sama sekali. Hanya ada rasa kekecewaan dan keprihatinan melihat pemandangan demikian setelah kita merdeka lebih dari enam puluh tahun. Tak banyak perubahan. Tak banyak perbaikan.

Ingatan saya melayang ke tahun tahun enam puluhan dan tujuh puluhan. Sewaktu mencari bis di standplat Djohar di Semarang, atau di Gemblegan Solo, untuk pulang ke Ambarawa. Selalu harus berebut, berdesakan, saling dorong, untuk dapat naik dan mendapatkan tempat duduk di bis. Waktu itu memang masih ada keterbatasan sarana angkutan umum jalan raya. Mungkin ini bisa dijadikan alasan mengapa calon penumpang mesti berebut, adu kuat, adu fisik, dan adu cepat untuk naik ke bis atau ke kereta api. Tetapi kadang hal serupa pun terjadi walau penumpang nggak penuh, baik bis atau kereta. Sudah menjadi kebiasaan yang lajim bahwa naik kendaraan umum harus selalu berebut adu kuat seperti mau tawuran.

Seolah ada semacam rasa ketidak amanan dan ketidak percayaan, bahwa antre secara tertib akan menempatkan mereka di barisan belakang. Sehingga yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuat, cepat akan dapat tempat. Undang undang lalu lintas yang telah diberlakukan dengan segala perdebatan di forum parlemen yang terhormat itu ternyata tak bisa mengubah atau menggantikan peran hukum rimba yang berlaku. Hukum rimba ini semakin sulit ditinggalkan ketika para aparat yang mengawasi ketertiban terlibat konflik kepentingan. Bagian penjualan karcis terlibat kolusi dengan para calo. Petugas pengawas enggan menjatuhkan sanksi bagi sopir atau perusahaan yang melanggar ketentuan, atau memang sengaja menutup mata.

Para calon penumpang terlanjur kehilangan kepercayaan akan efisiensi pengelolaan dan pengaturan penumpang di standplat atau stasiun kereta api. Namun di sisi lain para pengelola juga akan selalu menyalahkan ketidak disiplinan calon penumpang, para sopir, kenek dan pengusaha bis. Kebiasaan yang lajim dalam masyarakat kita, kalau masih bisa menunjuk hidung pihak lain mengapa mesti introspeksi. Apapun yang benar, kesemrawutan yang kita lihat di standplat dan stasiun sewaktu calon penumpang berebut naik adalah kombinasi dari ketidak disiplinan, kesemrawutan pengelolaan dan pengawasan lalu lintas. Hasil akhirnya sama. Semrawut, tak aman dan tak manusiawi. Bukan sekali dua kita membaca berita adanya korban jiwa karena kesemrawutan seperti ini. Penumpang meninggal terjatuh dari atap kereta. Penumpang bis terjatuh saat berebut akan naik kendaraan.

Bayangkan jika anda melihat tayangan televisi yang menunjukkan penumpang pada berdiri di atap kereta api, apa yang anda pikirkan ? Jika para penumpang berlari lari, berdesakan berebut akan naik kereta atau bis ? Bukankah ini pemandangan yang tak wajar sama sekali. Entah karena sistem yang nggak bener atau disiplin manusia yang jelek. Mengapa pemandangan seperti ini masih saja terlihat selama puluhan tahun terakhir, walaupun perundangan makin lengkap, sarana dan prasarana semakin bagus ?

Saya mencoba merenungkannya dari sisi lain. Dari sisi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sistem pendidikan kita yang robust paska kemerdekaan mungkin telah berhasil meningkatkan intelektualitas formal masyarakat. Tingkat pendidikan rata rata warga negara jauh lebih tinggi dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir. Tingkat baca atau melek huruf juga sangat bagus. Tetapi sistem pendidikan kita mungkin tak banyak merubah intelektualitas riel anggota masyarakat. Juga tak banyak mengubah komponen perilaku (behavioral component). Tingkat baca meningkat, tingkat pengetahuan meningkat, tetapi tingkat disiplin, kemampuan menaati ketertiban, kemampuan toleransi dan menghargai sesama masih rendah. Tak hanya dalam disiplin antrean bis dan kereta, manifestasi ini sering kita lihat dengan meledaknya amuk massa, tawuran dan segala bentuk kekerasan sosial.

Dalam tingkat makro juga tak bisa diingkari akan adanya kepincangan ini. Beberapa lembaga pendidikan tinggi bisa masuk dalam rangking atas di dunia. Tetapi banyak kalangan intelek kita yang masih juga percaya akan dunia klenik dan perdukunan. Terutama jika sedang mengejar jabatan basah. Hampis semua lulusan, bahkan lulusan Sekolah Rakyatpun, yang pernah menjalani pendidikan tentang Panca Sila. Tetapi kita tak bisa mengingkari kejadian pelanggaran hak asasi merajalela. Mulai dari kejahatan dan pembunuhan massal sekitar 1965, pembersihan etnis dan pembunuhan di Kalimantan, huru hara berdarah 1968, dan lain lain yang makan banyak korban.

Seorang pendidik, kakak saya Ki Hadiwaratama, ahli Fisika Teknik pensiunan ITB, yang sekarang mencoba mendalami aksara Jawa Hanacaraka, mempertanyakan akan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengapa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa banyak terseok dalam kehidupan sosial sehari hari. Sistem pendidikan kita seolah tak mampu mentransformasi mesyarakat ke arah masyarakat modern, disiplin, ber-etos kerja tinggi, bertoleransi tinggi. Pertanyaan yang harus selalu menjadi renungan dan pemecahan dari para pemikir, pendidik dan tokoh tokoh soaial. Bukan hanya semata tugas para pendidik di lembaga2 pendidikan. Tidaklah bijak para pemimpin politik dan masyarakat lebih banyak mengobarkan semangat kebebasan tetapi mau benar sendiri, mau menang sendiri, apa lagi mengobarkan semangat kebencian.

Ah terlalu jauh saya merenung. Pertanyaan saya hanya sederhana saja. Mengapa selama empat puluh tahun, masih saja calon penumpang itu berebut adu kuat untuk antre bis dan kereta. Mengapa hukum rimba itu tetap saja yang dominan ? Sebenarnya tak perlu waktu puluhan tahun untuk menertibkan antrean itu. Tak perlu juga membentuk Komando Operasi Tertib (Kopkamtip) untuk menertibkan. Jika saja kita sebagai warga bisa menanamkan disiplin, toleransi, taat ketentuan pada diri masing masing. Dan para pengelola sistem publik lebih mementingkan kepentingan dibanding kepentingannya sendiri, saya yakin kita akan bisa menciptakan masyarakat yang disipiln dan tertib.

Salam damai dari Yogya

Ki Ageng Similikithi`

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber media, 19 Oktober 2007)

No comments: