Tuesday, October 23, 2007

Arsitektur kota, baliho, spanduk dan umbul umbul.

Salam dari Phnom Penh. Kebetulan menghadiri rapat di ibu kota Kampuchea. Entah ke berapa kali mengunjungi kota yang indah ini. Bulevard di jalan utamanya nampak tertata asri, terutama Russian Boulevard. Bangsa Kamboja di masa lalu telah melahirkan arsitek2 unggul.. Bayangkan karya karya arsitektur kolosal mereka, seperti Angkor Wat dan Angkor Tom. Tak pernah lekang oleh waktu dan bertahan sepanjang jaman, paling tidak selama seribu tahun.

Saya selalu mengagumi karya aristektur kolosal. Karya cipta manusia yang penuh imaginasi dan intelektualitas. Jika anda berdiri di salah satu halaman candi Angkor, saya lupa yang mana, anda akan merasa kecil. Bangunan bangunan klasik itu sangat anggun, megah dan berwibawa. Mesin mesin berat yang dipakai untuk membantu renovasi, nampak kecil dan tak banyak daya berdiri dibawah bangunan bangunan kolosal itu. Pesan saya ke anak anak muda. Kunjungilah Angkor, di sana anda akan melihat puncak kejayaan arsitektur klasik Asia di luar Cina.

Saya juga menyenangi arsitektur tata ruang luar (landscape architecture), bagaimana menata letak suatu bangunan agar harmonis dengan alam sekitar. Bangunan klasik Asia selalu diletakkan dalam lingkungan begitu pas seolah menyatu dengan alam. Di manapun itu. Jika anda sempat berdiri di keraton Boko di sebelah selatan Prambanan, dan melihat kea rah utara, nampak pas sekali penempatan candhi Prambanan, candhi Sewu di bawah gunung Merapi. Begitu indah dan mengagumkan.

Saya membayangkan sang arsitek waktu itu dalam merencanakan bangunan bangunan tersebut, pasti dengan imaginasi luar biasa. Juga jika anda memandang titik lokasi candhi Gedhong Songo, titik titik lokasi itu seolah merefleksikan sesuatu. Diam tak bergeming sepanjang masa. Mungkin sang arsitek dulunya membayangkan lokasi bintang di langit.

Monumen Yogya Kembali di Yogya. Bukan hanya kebanggaan warga Yogya. Tetapi juga kebanggaan nasional melambangkan kembalinya Yogya ke tangan Republik. Saya pribadi tak bisa menyalurkan kebanggaan rasa nasionalisme ini menjadi kebanggaan akan karya seni arsitektur. Monumen tersebut dirancang dengan bentuk gunungan melambangkan asal mula cerita kehidupan dalam mitologi Jawa. Tetapi karya arsitekturnya tak memberikan pesan imaginer ini. Tak menggambarkan kebesaran dan keindahan alam. Jika anda melihat lokasinya dari udara, bangunan itu terkesan seolah menjadi benda asing di lingkungan alam sekitarnya

Arsitektur tata kota di Jawa juga selalu khas dengan adanya alun alun, pohon beringin, bangunan pendopo dan gedung pemerintahan di belakangnya.. Banyak arsitektur tata kota yang indah di Jawa. Temanggung, Banjarnegara, Magelang, Purworejo, Wonosobo hanya beberapa contoh kota ciri tata kota yang khas. Jika anda memasuki satu kota di Jawa pasti akan di sambut dengan gapura masuk yang masing masing kota akan berbeda.

Dalam tahun tahun terakhir setiap kali mengamati simbol dan cirri masing masing kota di Asia, saya selalu terusik dengan budaya pop masa kini yang mengganggu keasrian tata kota. Ciri arsitektur tata kota tertutup oleh iklan luar atau outdoor advertising. Bayangkan yang namanya spanduk, baliho (billboard) maupun umbul umbul yang selalu menutup keaslian keindahan tata kota. Gapura selamat datang ke satu kota kadang ditutup oleh baliho besar atau spanduk, lambang budaya konsumerisme masa kini.

Banyak ragam pesan visual yang terpampang, entah itu iklan komersial, pesan politik dari salah satu partai, pesan pendidikan untuk masyarakat. Tak semua isi pesan itu negatip sebenarnya. Tetapi sosok dan ukurannya agar mudah dibaca oleh massa yang menjadi target, telah demikian mengganggu keaslian ciri kota yang bersangkutan.

Salah satu contoh, beberapa tahun lalu, spanduk besar bergambar BH dengan merek tertentu banyak menghiasi jalan utama kota kota di Indonesia. Seolah memberi ucapan selamat datang bagi para pengunjung yang masuk kota kota itu. Belum lagi pesan pesan visual yang menyolok di billboard di tepi jalan utama masuk kota. Seolah kota kota itu menjadi milik produk produk komersial yang diiklankan. Bayangan untuk menikmati cirri arsitektur kota yang bersangkutan telah terenggut secara semena mena oleh gambar iklan.

Kadang ironis. Dalam pergaulan internasional ada semacam konvensi untuk mengurangi kebiasaan merokok, kota kota dan media massa kita dipenuhi dengan iklan merokok. Indonesia memang satu satunya negara di ASEAN yang tidak menanda tangani konvensi untuk mengurangi rokok, FCTC (Framework Convention of Tobacco Control, http://www.who.int/tobacco/framework/en/)

Rasa gemas selalu mampir ketika tepian jalan utama masuk kota dipenuhi dengan umbul umbul. Yang paling sering adalah umbul umbul milik partai politik. Seolah kota kota itu menjadi milik salah satu partai politik. Beberapa tahun lalu di masa jaya Orde Baru bahkan batang pohon di tepi jalan pun kadang kadang dicat dengan warna tertentu yang menjadi lambang partai. Keaslian alam pepohonan diperkosa oleh ambisi partai. Pohon beringin yang menjadi ciri arsitektur kota kota di Jawa direnggut begitu saja oleh kekuasaan menjadi lambang politik..

Fenomena dominasi iklan luar ini tak hanya menjadi masalah bagi kota kota di Indonesia. Dewan kota Sao Paolo melarang outdoor advertising terutama lewat billboard ok dianggap sebagai polusi visual (The Economist, 13 Oktober 2007). Gabungan pengusaha iklan jelas protes dan menempuh upaya hukum melawan larangan ini. Apapun hasilnya pemerintah pemerintah kota selalu menghadapi masalah dilematis oleh karena iklan iklan ini menjadi salah satu sumber pemasukan.

Jika tak mungkin dihilangkan tidak-kah ada alternatif lain untuk menempatkan iklan luar ini di lokasi yang tak mengganggu ciri arsitek tata kota ? Tak mudah untuk mencari alternative kompromistis. Tetapi kota kota yang saya selalu kagumi di Jawa, kebanyakan kota kota yang relatif kecil sehingga dominasi baliho, spanduk dan umbul umbul ini belum begitu merusak keindahan kota.

Salam damai, Ki Ageng Similikithi (Dimuat di Kolom Kita Kompas, 22 Oktober 2007)

No comments: