Thursday, September 27, 2007

Plesetan - jamane jaman edan

Beberapa waktu ini saya sering merenung memikirkan perjalanan hidup, tentang filsafat hidup. Konon semakin tua orang harus semakin bijak menyikapi sesuatu. Petuah Jawa bilang 'Aja dumeh". "Aja kagetan lan aja gumunan". Jangan takabur. Jangan gampang terkejut dan terheran heran. Sikapilah segalanya dengan tenang dan bijak. Namun tak gampang selalu bersikap bijak dan tenang di dunia nyata yang begitu hiruk pikuk.

Dalam kehidupan filsafat Jawa, banyak petuah mulia yang dirangkai dalam kata kata mutiara yang indah. Maksudnya ya supaya semua orang tertarik dengan keindahan kata kata tersebut dan mengamalkan isi petuahnya di dunia nyata. Tetapi manusia selalu saja beragam. Apa yang indah dalam dunia filsafat tak selalu dibawa dalam dunia nyata. Dalam lingkungan kebudayaan populer masa kini kadang kadang petuah petuah bagus yang dirangkai dalam kata kata indah tersebut sering di-plesetkan, dibelokkan secara sengaja sehingga arti melenceng dari arti sebenarnya. Hanya beberapa contoh berikut ini.

"Sugih tanpa bondho", terjemahannya "kaya tanpa harta". Maksudnya supaya orang juga bisa merasa kaya karena karya dan karena kebajikannya, bukan semata mata karena harta dan kekayaan. Tetapi kadang orang melencengkan artinya. Kalau harus kaya tanpa harta, ya mungkin lebih baik nyolong atau korupsi. Orang berlomba menumpuk harta dengan jalan korupsi dan penyelewengan. Tak jauh jauh, dalam UUD 45 dikatakan bahwa 'Perekonomian Indonesia disusun berdasarkan atas usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan dan gotong royong". Tetapi apa nyana, banyak penguasa dan pejabat melakukan penyelewengan dengan memberikan kesempatan kepada anggota keluarganya untuk berbisnis ria melalui kewenangan yang dipegangnya. Mulai dari penguasa nomer satu sampai yang paling bawah sekalipun.

"Alon alon waton kelakon", atau pelan pelan asal kesampaian, sebenarnya dimaksudkan agar orang melakukan sesuatu secara hati hati. Tidak grusa grusu dan tergesa gesa. Tetapi mungkin ini banyak diselewengkan sebagai alasan untuk bermalas malasan. Saya selalu diolok olok oleh teman2 dari Jakarta, orang Yogya sukanya naik andhong, alon alon waton kelakon. Tetapi di bidang saya saya tak pernah merasa kecil dengan olokan tersebut. Bagian yang saya pimpin di Yogya dulu toh bisa tampil di dunia global dengan prinsip tersebut. Semua langkah dipertimbangkan secara seksama. Di bidang kesehatan angka harapan umur di Yogya paling tinggi di Indonesia. Juga angka kematian bayi di bawah satu tahun (infant mortality rate).

"Tut Wuri Handayani" merupakan petuah bagi pendidik untuk tidak mendikte anak didik. Tetapi selalu mendorong anak didik untuk maju ke depan. Anak didik tak harus mengikuti sang guru dari belakang semata mata. Ini adalah prinsip pendidikan Sokratik yang telah di terapkan ribuan tahun sebenarnya dalam pendidikan filsafat di padepokan2 Jawa masa lalu. Di abad modern ini kata kata ini begitu indah dan diterapkan di semua lini di luar pendidikan. Kalau para pelatih atlet lari kita menerapkan petuah ini bagi pelari pelarinya, mana mungkin atlit kita akan menang. Sampai kiamat kita nggak akan menang marathon atau balapan lari.

Petuah lain yang saya juga nggak begitu mendalami artinya yalah "Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake" . Terjemahannya 'menyerbu tanpa balatentara, menang tanpa harus mengalahkan". Maksudnya sebenarnya kita bisa saja memenangkan suatu perbedaan dengan bijaksana, tanpa lawan kita merasa dikalahkan. Mungkin dalam dunia modern sekarang maksudnya tak jauh dengan "Win win solution". Jelas maknanya.
Tetapi plesetan sering mengatakan "Nglurug tanpa bala, kalah tanpa ngasorake". Menyerbu tanpa kawan, kalah tanpa memenangkan sesuatu. Pelatih pelatih bola supaya menghindari jauh jauh petuah ini dan tidak menerapkannya dalam pola permainan sepakbola modern.

Bebera waktu saya mengantar seorang tamu pejabat putri dari salah satu negara di Asia Tengah. Makan malam kemudian lihat ball room. Ada beberapa pertunjukan yang sangat menarik. Salah satunya adalah tarian samba yang sangat ritmis. Ada beberapa penari putri yang gerakannya sangat indah dan susah diterangkan. Saya sampai tertegun, kok bisa gerakan tubuh begitu indah, meliuk liuk kaya ular mengikuti irama musik. Walau saya berupaya tegar "Aja kagetan lan aja gumunan", tetap saja saya tertegun dan terheran heran menyaksikannya. Kok bisa ya? Penarinya memang bukan penari Jawa yang lemah gemulai. Penari2 tersebut adalah penari2 yang akan ikut kejuaraan Asia. Jarang bisa lihat kesempatan seperti itu. Bukan dosa besar, walau pakai embel embel Ki Ageng-pun, ternyata harus banyak belajar untuk tidak gumunan dan tidak kagetan menghadapi tanda tanda jaman.

Jamane jaman edan, bo!.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cybermedia 25 September 2007)

No comments: