Thursday, September 6, 2007

Melati malam hari


Minggu lalu saya cerita tentang bunga. Tentang emosi dan perasaan berkait dengan bunga. Cerita kali ini tentang melati. Melati di malam hari yang selalu menghembuskan bau lembut. Di malam yang sunyi, di malam yang syahdu. Seolah menyapa dunia, menyapa manusia lewat bau. Lewat perasaan yang terkait dengan aroma lembut itu. Tak peduli siapa atau peristiwa apa yang terjadi di sekelilingnya. Melati di malam sunyi selalu menyapa mesra. Salam persahabatan. Salam perdamaian dan kasih sayang. Bersama tiupan angin malam. Cerita ini juga berkait kisah “Senyum dari Balik Tirai Kelambu” (http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=38755§ion=95) Pertemuan pertama dan perkenalan dengan gadis MUR. Yang senyumnya begitu mempesona. Tiga puluh lima tahun lalu.

Ada beberapa komentar lewat email sesudah cerita itu. Kok ceritanya nggak tuntas ? Bagaimana kemudian si mbaknya yang tersenyum dan muncul dari balik pintu itu ? Gimana sih kok didiamkan saja ? Lha mau diapakan ? Baru ketemu pertama kali, masak suruh macam macam. Asal gempur ? Sori mek sori !. Nggak nyeni. Nggak ada romantisnya. Juga perlu tahan harga dong. Dan cerita itu memang sengaja hanya ingin mengenang momen itu saja. Saat dia tersenyum dan muncul dari balik pintu. Senyum yang tak pernah lekang karena perjalanan waktu. Senyum yang selalu merekah. Terutama di bulan muda yang cerah.

Kira kira seminggu setelah perkenalan itu, malam malam saya kembali mengunjunginya. Kunjungan yang ketiga. Kali ini saya datang bersama dengan teman karib satu kost, almarhum Aji. Aji meninggal beberapa tahun lalu karena kanker paru. Dia seorang doter gigi. Kami datang berdua naik motor. Ke pondokan di jalan Gadjah Mada, di dekat bioskop Permata.

Menunggu sesaat di ruang tamu. Ruang temaram dengan listrik dua puluh lima watt. Suasana romantis, mungkin karena tataannya atau karena lampu temaramnya. Ini salah satu nilai positip PLN. Membuat banyak ruang kost temaram dan romantis bo ! Ternyata masih ada positipnya juga walau banyak kritik dan keluhan. Tirai itu masih juga seperti minggu kemarin, warna hijau. Ada rumpun melati di muka kamar tamu, sebelah kanan pintu. Berbunga segar dan terawat apik. Melati itu seolah tersenyum, mengucap selamat datang anak muda. Salam persahabatan.

Sesaat kemudian dia muncul. Dari balik kelambu. Lagi dengan senyumnya yang ceria. “ Hai, apa kabar?” Sejenak Ajie terkejut mendengar sapaan akrab itu. Entah apa pikirannya waktu itu. Sewaktu pulang dia bilang, “Kok kalian kelihatan sudah demikian dekat. Hati hati bung, jangan jangan mau jadi serius. Tahan harga dulu ”. Ah, saya hanya mengikuti perjalanan sang waktu. Biarlah segalanya berjalan alamiah. Tak ada yang dikejar dan tak ada yang ditunggu. Cinta dan persahabatan kadang tak berbatas tegas. Hanya waktu yang menentukan. Keduanya bersatu dalam jiwa.

Kami terlibat pembicaraan akrab. Mengalir seperti air. Spontan nggak ada yang dipaksakan dan nggak ada skenario. Ibarat orang pidato, tanpa teks. Aji dari Solo. Pria Solo selalu pintar bercerita. Bercerita tentang taman Jurug di tepi bengawan Solo, tentang taman Sriwedari, tentang taman Tirtonadi dan lain lain yang khas tentang Solo dan nggak ada di Pekalongan.

MUR asli Pekalongan dan kuliah di AKUB di Purwanggan. Mendengar tentang Solo, kelihatannya dia gembira luar biasa. Apa lagi mendengar yang nggak ada di Pekalongan. Tentang keraton, di Pekalongan nggak ada sunan, nggak ada keraton. Kalau Kyai banyak. Tentang lagu Bengawan Solo dan Tirtonadi, layaknya lagu kebangsaan orang Solo. Seperti anak mendengar dongeng. Heran, pada hal teman MUR katanya banyak berasal dari Solo.

Sebagian yang diceritakan Aji, hanyalah kenangan bagi banyak orang Solo. Taman Tirtonadi, sudah nggak ada bekasnya, dipakai untuk standplaat bis. Taman Sriwedari, hanya tinggal gedung wayang orang saja. Nggak tahu sekarang. Solo memang selalu cepat berubah dan banyak berubah dari waktu ke waktu. Kota romantis. Datanglah ke Solo jika anda sedang berkasih.

Cerita habis tentang Solo. Cerita tentang Ambarawa nggak menarik untuk melancarkan awal perkenalan dengan seorang gadis. Apa mau cerita tentang sapi sama kambing ? Nggak marketable. Mau cerita tentang bunga kopi ? Susah menggambarkannya. Tentang Rawa Pening ? Nggak se romantis Bengawan Solo. Penuh eceng gondok. Mana ada lagu tentang Rawa Pening? Pikir pikir, toh saya juga sempat di Solo tiga setengah tahun. Bolehlah. Di tahun 1970, saya kenalan sama seorang mahasiswi asal Semarang. Dengar cerita tentang lembah Ambarawa yang indah, malah mencibir dia. Dua kali datang, habis itu kapok saya. Sebagai pria kelahiran Ambarawa, hati saya tertusuk ilalang.

Kami pamitan menjelang jam sepuluh malam. Dia tanya, Sabtu malam acaranya kemana ? Saya bilang sambil lalu, mau ke Bulak Sumur, ada fashion show di University Club. Sewaktu mau pulang , baru tahu kalau tutup bensin sepeda motor Aji, hilang dicuri orang. Motor memang di parkir di tepi jalan. Banyak orang lewat dan kami asyik ngobrol. Besoknya terpaksa ke pasar Beringharjo, pasti ada tutup bensin bekas pakai atau bekas curi di tukang loak. Kalau mau serius cari pacar tetap memang harus investasi. Ini bagian dari investasi jangka panjang.

Sabtu petang jadi ke Bulaksumur, bersama teman satu kost yang lain, Dharma. Aji punya pacar di Solo, dia pasti balik ke Solo setiap akhir pekan. Bimbang mau ke tempat MUR. Pantangan malam Minggu ke tempat gadis, jika belum menjurus ke arah hubungan serius. Singkat cerita, saya pergi bersama Dharma lihat fashion show. Seumur umur hanya lihat show lewat televisi (hitam putih waktu itu). Pikiran saya nggak tertuju sepenuhnya ke acara show. Walau sebenarnya sangat mengasyikkan. Pikiran saya selalu ke gadis MUR, mengapa dia tanya apa acara Sabtu malam ? Jangan jangan ini isyarat kalau masih prei malam Minggu ya, belum ada yang ngapeli.

Entah berapa gadis dan pria model melenggak lenggok di catwalk. Ada dua hal yang saya masih ingat benar. Seorang mahasiswi Kedokteran Gigi, yang tinggi semampai memperagakan pakaian malam dengan anggun. Dengan punggung terbuka. Teman saya Dharma dan penonton2 lain, begitu tergiur, berdiri pengin mendekat ke cat walk. Saya tarik untuk duduk kembali. Pakaian malam dengan punggung terbuka, memang nampak anggun. Tetapi nggak pas. Banyak nyamuk demam berdarah di Yogya waktu itu.

Hal lain yang menarik, sewaktu seorang mahasiswa Kedokteran adik kelas saya dua tahun naik panggung, penonton bersorak ramai. Entah karena lucu atau aneh. Mahasiswa dengan rambut kribo, seperti Ahmad Albar, berjalan melenggak lenggok lenggok kayak perempuan di cat walk. Gayanya memang boleh. Tetapi laki2 goyang pinggul belum biasa waktu itu. Nggak seperti sekarang, mau goyang pinggul, mau goyang pantat, mau laki, mau perempuan, siapa peduli. Kami pulang lepas jam sembilan malam. Pondokan saya di Patangpuluhan. Tetapi sengaja pulang mutar lewat jalan Gadjah Mada. Jangan jangan dia di beranda depan. Siapa tahu. Ada beberapa gadis duduk duduk di beranda depan. Namun tak ada nyali untuk mampir.

Esok petangnya saya datang ke sana. Dengan harapan. Dengan cerita tentang acara malam Minggu di Bulaksumur. Tentang lenggak lenggok di catwalk. Cerita tak menarik. Tak seperti cerita tentang Solo. Kami duduk di luar. Berdampingan di bangku kayu. Ada rumpun melati. Ada bunga mosaenda. Sirih Belanda. Tak banyak bercerita. Hanya menikmati bisikan angin dan sapaan melati. Malam itu terasa sunyi mengekang. Saya tak sanggup bercerita segar. Hanya bertukar kata demi kata. Pikiran melayang entah kemana.

Lepas jam sembilan saya pamit. Dia masih banyak diam. Mengantar di pintu pagar. “Kalau nggak ada acara datanglah ke sini hari Sabtu petang”. Saya terkaget kaget. Tetapi batin bernyanyi. Ada acara tetap malam Minggu. Nggak hanya tiduran kamar kost. Sepi. Tak ada radio. Tak ada TV. Agak ramai sedikit kalau tetangga belakang rumah yang sakit skizofrenia itu sedang kumat.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Saya senantiasa datang setiap Sabtu petang. Dia selalu keluar dari balik kelambu dengan senyum ceria. Saya selalu tertegun sejenak. Dan kemudian larut dalam sapaan melati malam hari di muka kamar tamu. Tiga puluh lima tahun telah berlalu. Senyum itu tetap saja menyambut. Melati tetap saja harum di malam hari. Sayang bau itu kini berganti melambangkan kesedihan, melambangkan kehilangan si bungsu yang sangat kami cintai.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 3 September 2007)

No comments: