Wednesday, July 9, 2008

Rambut memutih



Bulan lalu, saya nginap tiga malam di tempat anak saya Wisnu di Jakarta. Ada acara pertemuan di sana. Sekalian menengok cucu, Laras sama Kinar. Laras umur tiga tahun, Kinar baru beberapa bulan. Saya bersama NYI. Jarang ada kesempatan nginap di tempat anak dan bercanda dengan cucu. Setiap saya pulang selesai acara sore hari, Laras selalu datang di kamar kami. Apa saja menjadi bahan pertanyaan. Topik pertanyaan yang paling hangat adalah warna rambut. "Mengapa rambut Ki putih ? Rambut Laras hitam, papah hitam, mamah juga hitam?" Pertanyaannya selalu dengan membelai rambut saya. "Kalau digosok terus bisa hitam kali" NYI berkata sambil lalu. Di hari kedua dia masih suka menggosok rambut saya. Hari ketiga dia bilang, " Digaruk juga nggak bakalan hitam. Katanya papah karena KI sudah tua". Perilaku Laras, persis sama dengan cucu pertama, Rio yang mulanya juga gemar bermain dengan rambut saya. Akhirnya dia bilang, "Kakek Oman, opanya teman saya rambutnya juga putih. Orang tua memang rambutnya suka menjadi putih". Habis itu dia tak pernah lagi bermain dan mempermasalahkan warna rambut saya.

Rambut memutih memang alami. Sebuah perjalanan yang harus dilewati. Sejak sepuluh tahun lalu rambut saya mulai memutih, semakin lama semakin merata. Di umur awal empat puluhan, saya sering mencabut rambut satu dua yang berganti warna. Tetapi semakin lama semakin merata, tak ada gunanya untuk dicabut. Toh masih lebat dan berombak. Tak ada minat untuk mengecatnya. Saya nggak tahu mengapa, tetapi rasanya kok aneh bagi saya untuk mengecat rambut. NYI selalu usul untuk mengecat rambut saya. Namun sampai kini belum pernah sekalipun saya mencobanya. Katanya sih biar kelihatan masih muda. Kalau kelihatan tambah muda, ya emangnya mau apa ? Saya takut kalau habis dicat nanti warna hitam luntur, dan warna malah menjadi kemerahan. Sering saya lihat para pria usia lanjut kok rambutnya suka memerah. Tak mungkin dicat seperti gaya anak muda. Paling ya bekas cat penghitam rambut.

Setiap orang mungkin mempunyai reaksi yang berbeda menghadapi proses perubahan warna rambut. Alamiah dan selalu sah sah saja. Bukan sekedar perubahan warna semata. Di balik itu sebenarnya adalah proses penuaan itu sendiri. Proses penuaan memang tak bisa dihentikan. Berjalan alamiah bersama dengan perjalanan sang Kala. Mungkin suatu saat kita merasa takut membayangkan bahwa di akhir perjalanan di sana, Sang Kala sedang menunggu. Jika dia datang menyalami, itulah akhir perjalanan kita. Tak pernah saya merasa risau akan Sang Kala yang menunggu di akhir perjalanan. Jika toh suatu saat dia muncul menyampaikan salam, saya akan menyapanya dengan akrab, dengan senyum bahagia.

Ee pembicaraan kok jadi melebar. Kembali ke masalah rambut memutih. Sejak masa muda saya selalu menyenangi rambut saya yang lebat dan hitam. Kecuali waktu masih kanak kanak, rambut saya selalu kaku berdiri. Guru saya selalu memperolok, katanya kalau dilempar batang pisang pasti saya nggak bisa berkutik lagi. Seperti kalau orang memburu landhak, selalu dilempar dengan batang pisang. Rambut saya selalu menjadi beban waktu itu. Sampai kelas tiga SR saya masih sering gundul plonthos, untuk menghindari mitos keliru tentang landhak.
Saya mulai mencintai rambut saya semasa duduk di bangku SMP. Rambut selalu saya sisir rapi, pakai minyak. Banyak jenis minyak rambut pernah saya pakai waktu itu. Mulai dari cem-ceman minyak kelapa, minyak wangi merk Orang Aring, minyak pomade merk Yaparco, dan merk Yardley. Terakhir sejak lulus dokter saya beralih ke cream merk Brylcream sampai sekarang. Tak juga tahu sebabnya. Tetapi kadang risih pakai pomade atau gel, kalau berkeringat minyaknya merembes membasahi dahi. Teman saya di fakultas dulu, setiap jam sebelas pagi dahinya berkilat (kinclong) karena pomadenya mulai meleleh. Suka diolok teman teman, dia tak pakai minyak rambut, tetapi minyak bathuk (dahi). Guru besar ilmu kimia selalu memanggilnya dengan Kinclong.

Sewaktu SMA, model rambut sangat khas di Solo. Jambul tinggi di depan, kiri kanan harus halus sampai mepet kepala. Kalau perlu di"cathuk". Saya nggak tahu tekniknya, tetapi di press dengan sisir logam yang dipanaskan, supaya bisa mepet sekali di kiri kanan kepala. Sayang foto kami bertiga dengan Martalin dan Diono, teman sewaktu kelas satu SMA, tak bisa saya temukan. Bertiga kami dengan model rambut berjambul di atas, dan kiri kanan di press mepet. Rasanya gimana gitu. Kalau kepala bergerak, menoleh ke kiri atau ke kanan, jambul rasanya ikut bergerak. Jika berjalan jalan di emper toko, kaca etalase rasanya selalu mengingatkan apakah jambul masih berdiri tegak atau sudah lunglai. Potong rambut cepak gaya militer juga tak populer waktu itu. Karena masalah keamanan. Saya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ada seorang pemuda berambut cepak, pakai jaket biru usang kayak jaket militer, ditangkap PePeKuPer dan di suruh berdiri di muka markas tentara di jalan Slamet Riyadi semalam suntuk. Tak ingat apa itu Pepekuper, ada kata penguasa, perang, dst.,nggak tahu lagi saya. Pokoknya wajah garang pakai kumis. Hindari mereka kalau mau selamat.

Perjalanan waktu tak pernah berhenti. Masa masa dengan model rambut yang membanggakan telah lama lewat. Empat puluh tahun berlalu. Seperti lirik lagu indah Jamal Mirdad " Walau seribu tahun memutih rambutku. Hatiku tetap selembut salju". Tak hapal syair lagu indah itu. Tetapi pesannya begitu dalam. Saya juga tak akan risau akan rambut yang memutih itu. Tak risau akan penuaan yang datang memburu. Tak risau akan perjalanan waktu. Saya tetap akan menjelang dengan senyum bahagia jika masa itu tiba, Sang Kala akan menyapa. Rambut memutih apalah artinya. Silver in my head? Mungkin gold in my pocket. Sokur kalau ada stainless steel somewhere. Kalau nggak ya nggak apa apa. Kan hidup hanya berjalan menyusur waktu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community, Minggu 6 Juli 2008

(http://community.kompas.com/index.php/read/artikel/621)

2 comments:

paromo suko said...

dulu ada ungkapan : rambut sama hitam, isi kepala bisa berbeda
sekarang saya punya yg lebih kontemporer:
rambut beda warna, pendapat kita sama
yaitu
biarkan apa adanya

Ki Ageng Similikithi said...

Hanyalah warna rambut. Apa artinya. Enampuluh tahun memutih rambutku. Hatiku tetap selembut salju sehangat Merapi dan Merbabu
Salam damai dan sejahtera pak Paromosuko