Thursday, May 27, 2010

Mangkuyudan - cerita yang tersisa

Matahari condong ke Barat. Sore yang cerah. Angin bertiup lembut di antara dedaunan di halaman. Saya sedang jaga di rumah sakit Mangkuyudan Yogyakarta. Rumah sakit khusus kandungan dan kebidanan. Di pertengahan tahun 1974. Setelah mandi saya ke bangsal. Semua tenang. Tak ada pasien gawat. Juga bayi bayi yang baru lahir, nampak sehat semua. Mereka tidur di samping ibunda masing masing. Damai dan bahagia adanya. Kamar kamar pasien tertata rapi dan bersih. Dinding dan kordin jendela berwarna kuning muda. Seperti janur kuning, daun kelapa muda. Saya benar benar menikmati tugas ko asistensi di rumah sakit ini. Terasa sangat disiplin.

Hanya ada seorang pasien paska operasi yang menderita demam ringan. Tak serius. Terapi langsung bisa diberikan sesuai pedoman. Kebetulan Enny adalah ko asisten yang menangani pasien itu. Tetapi sejak jam empat tadi dia berada di ruang tamu depan. Tunangannya selalu datang menengok tiap sore. Mungkin langkah pengamanan. Dia tahu kalau saya dan Enny pernah punya hubungan istimewa lima tahun lalu saat di tingkat satu. Cerita masa silam. Telah berlalu. Tak bergetar lagi hati ini mengingatnya.

Seusai melihat pasien di bangsal, saya duduk duduk di ruang jaga. Ruangan besar dan bersih, dengan jendela kaca menghadap ke halaman belakang. Ada beberapa meja kerja di sana. Membaca buku teks wajib. Lupa judulnya. Waktu menunjukkan jam setengah enam, ketika Enny memasuki ruangan. “Pasien paska operasinya tadi demam ringan. Sudah diberi antipiretik, tertulis di status”. Tak menyahut sama sekali. Enny langsung ke bangsal. Mungkin melihat pasien yang saya maksudkan. Pikiran saya sedang terpaku di salah satu bab yang ditulis oleh seorang ahli Indonesia. Pofessor Hanifa Wignyosastro. Saya terkagum kagum. Seorang ahli Indonesia, menjadi author di buku teks internasional, yang menjadi bacaan wajib bagi para calon dokter dan calon spesialis di berbagai bagian dunia.

Tiba tiba Enny keluar dari bangsal. Berjalan cepat melewati meja jaga. Bidan dan siswi bidan yang dinas jaga juga duduk di situ. Sambil berlalu dia menggumam jelas sekali “ Pasien-e ora panas. Koas-e sing panas”. Pasien nggak panas. Koasnya yang panas. Terhenyak saya mendengarnya. Kedua siswi bidan berucap “Kok nylekit. Nyindir ya dok”. Saya tak hiraukan. Dikiranya saya panas hati lihat dia dijenguk tunangannya ? Ah nggak terpikir lagi. Saat itu saya juga sedang berbunga bunga dengan mahasiswi AKUB. Lewat jam enam, kembali ke kamar. Saya cerita ke Woto, teman jaga, tentang kata2 Enny. “Nggak usah dipikir”. Kami kemudian makan malam di kamar.

Menjelang jam tujuh aiphone berdering keras. Tersentak kami berdua. “Pasien gawat”. Suara bidan jaga nyaring terdengar di ujung sana. Woto dengan sandal jepit dan jas putih langsung beranjak dan berlari keluar lewat aula. Ruang periksa ada di sayap timur, di seberang aula. Saya tidak suka lewat aula itu di malam hari. Gelap. Ada saja cerita aneh. Suatu saat ada ko as menjerit di ruangan itu malam malam. Katanya lihat bayangan orang berdiri di pojok. Saya berlari lewat koridor luar. Ada lampu terang di sana. Tetapi harus lewat kamar bayi. Saya pernah cerita pengalaman menakutkan di ruang itu.

Di kamar periksa, kami dapati seorang wanita tergeletak lemah. Nampak menderita dan pucat sekali. Mungkin umur mendekati empat puluh. Dalam keadaan pre syok, setengah sadar. Saya langsung pasang infus. Pasien gawat kiriman dari Gunung Kidul. “Pasien rujukan. Ruptura uteri”. Kandungan robek. Bidan memberikan laporan. Dokter jaga, dokter Hasibuan, melakukan pemeriksaan lengkap. Menurut sang suami, pasien merasa mau melahirkan sejak siang tadi. Ditangani seorang dukun di rumah. Karena persalinan tak maju maju, sang dukun lelaki yang nota bene bukan dukun bersalin, mengira ada setan yang menghalangi jalan lahir. Dia dorong janin dengan injakan kaki. Bisa dibayangkan akibatnya. Kandungan pecah dengan perdarahan hebat. Tangan janin teraba di dinding perut. Tak ada tanda tanda kehidupan janin. “Siapkan operasi emergency”, perintah dokter Saribin Hasibuan. Prioritas adalah menyelamatkan si ibu.

Harus ada persetujuan tertulis dari keluarga. Ada tiga orang yang mengantar di luar. Suami, dan ayah ibu pasien. Saya menemui mereka dan menjelaskan. “Tak ada jalan lain. Harus operasi”. Sang suami hanya diam. Ayah si pasien menjawab “ Kita namung ndherek. Tulung anak kulo dok”. Kami hanya ikut. Tolong anak saya. Dia nampak panik. Dia yang cerita tentang apa yang dilakukan dukun itu. Si ibu diam menangis. “Kita berdoa. Kami berusaha semaksimal mungkin”. Hati saya bergetar ketika wanita lanjut usia, ibu pasien itu terisak memegang tangan saya. Kans mungkin hanya paroh paroh. Kondisinya demikian parah. Tak mungkin tanpa tranfusi. Untung dapat darah yang cocok dari PMI.

Jam delapan lebih sedikit persiapan operasi selesai. Operasi dipimpin dokter Hasibuan. Tenang dan teliti sekali dia memeriksa pasien dan memeriksa semua persiapan. “Keluarga sudah diberi tahu dan sudah memberikan persetujuan?”. Kembali dia bertanya sewaktu mencuci tangan. “Sudah ada persetujuan tertulis. Mereka sangat terpukul”. Dokter Hasibuan menggumam “Kita lakukan yang paling baik”. Tak mudah menutupi rasa tegang, walau berusaha tenang. Saya lihat dia berdoa singkat sebelum mulai operasi. Saya bertugas sebagai asisten dua. Operasi berjalan tenang walau menegangkan. Janin tak bisa diselamatkan. Dinding kandungan tidak cuma robek memanjang. Tetapi jaringannya rapuh dan bagian bawahnya rusak berat. Tak mungkin menghentikan perdarahan. Tak mungkin menjahit jaringan yang pinggirnya hancur itu. Diputuskan untuk mengangkat jaringan uterus. Untung pasien multi para, sudah punya anak lima. Tetapi bukan itu alasannya. Semata mata hanya untuk menyelamatkan ibu.

Jam sepuluh operasi selesai. Berjalan lancar. Tekanan darah pasien stabil selama operasi. Pasien mendapat transfusi untuk mengganti darah yang hilang. Pasien dipindah ke ruang perawatan paska operasi. Dalam keadaan stabil. Selesai cuci tangan dan ganti pakaian, kami menyiapkan laporan lengkap. Dokter Hasibuan mendikte dan menjelaskan semua hasil pemeriksaan dan prosedur yang dilakukan. Saya mencatatnya. Semua menurut prosedur. Hanya ada satu yang aneh. Tentang hasil pemeriksaan. Dokter Hasibuan bilang “Vaginanya tidak ada yang rusak”. Saya ragu menulis dan mencoba mengingatkan. “ Kalimatnya nggak benar ini dok”. Dia tak menghiraukannya. Kami kelelahan tetapi merasa lega, operasi berhasil, ibu terselamatkan. Mission accomplished. Sebelum kembali ke kamar saya cek sekali lagi pasien. Belum sadar, tetapi tanda tanda vital bagus.

Jam setengah tujuh keeesokan harinya saya kembali ke bangsal. Tak terasa tegang lagi karena jaga malam telah lewat. Cerita tentang operasi semalam sudah tersebar. Jadwalnya tertulis di papan di depan kamar operasi. Jam delapan ketua tim operasi harus melapor dalam konperensi klinik. Tak begitu menegangkan bagi para ko as. Toh kami hanya membantu (ko asisten). Para calon dokter spesialis itu yang merasa paling tegang. Dipimpin oleh dokter Prono, kepala rumah sakit, dan wakilnya, dokter Pras. Dokter Prono orangnya tinggi besar. Nampak sabar, tetapi nada suaranya besar menggema. Jika ada yang melakukan kesalahan, baru dengar suaranya sudah terkencing kencing. Dokter Pras, bicaranya selalu lantang dan tegas. Orangnya simpatik dan tampan. Tetapi jangan tanya jika ada yang membuat kesalahan. Teman saya Purwo (alm) pernah diusir dari kamar operasi karena rambutnya tak tertutup rapat saat operasi.

Seperti yang saya duga, laporan operasi semalam bermasalah. Ketika dokter Hasibuan, melaporkan hasil pemeriksaan “Vaginanya tidak ada yang rusak”, dokter Pras langsung berdiri dan bertanya lantang. “Vaginanya itu satu pasien ada berapa?”. Dokter Hasibuan saya lihat gemetar dan tegang. Jauh lebih tegang dibanding saat melakukan operasi semalam. “ Vagina ya hanya satu to dok”. Dokter Pras semakin berang. “La kok sampeyan bilang vaginanya tidak ada yang rusak ?. Sampeyan belajar bahasa Indonesia di mana? “. Jika sudah begini agar selamat lebih baik diam. Jika dia menjawab, belajar bahasa Indonesia di Tarutung, tempat kelahirannya, pasti habis dia. Ada saja alasan untuk mengejar. Saya tak kuasa menahan senyum. Tiba tiba dokter Pras melihat ke arah saya sambil menggebrak meja. “Ini bukan ketoprak. Tidak ada yang lucu. Nggak usah cengengesan”. Woto menginjak kaki saya. Pikir saya, siapa yang mau main ketoprak siang siang gini. Konperensi yang menegangkan itu selesai jam setengah sepuluh. Dokter Prono, dokter Pras dan dokter2 lain memberi ucapan selamat ke tim operasi dan terima kasih atas keberhasilan operasi. Terutama ke pimpinan operasi, dokter Hasibuan. Kami semua kembali ke tugas rutin. Saya pagi itu di poli klinik.

Tiga puluh enam tahun telah berlalu. Sore tadi saya mendatangi bekas rumah sakit Manguyudan bersama Nyi. Kedua anak kami lahir di rumah sakit ini, Wisnu dan si bungsu Moko almarhum. Bangunan itu tetap masih asri seperti dulu. Damai dan tenang. Kebetulan sore tadi habis hujan, langit mendung dan hujan rintik rintik. Terasa syahdu mengingat masa lalu. Bangunan utama sedikit berubah, tetapi tak terlalu beda. Hanya pohon kelengkeng di halaman depan sudah tidak ada. Tanah di halaman depan sudah tertutup conblock. “Saya pernah bertugas di rumah sakit ini di tahun 1974” saya memperkenalkan diri ke petugas Satpam. “Saya belum lahir pak. Bapak dokter ya?” Petugas itu ramah menyambut saya. Saya mengambil beberapa foto. Sekarang jadi kampus pendidikan D3 kebidanan.

Dokter Suprono, dokter Prastowo sudah tiada. Mereka tokoh senior pendidikan dokter, terutama bidang kandungan dan kebidanan. Dosen yang saya kagumi. Dibawah kepemimpinan mereka rumah sakit Mangkuyudan menjadi tempat rujukan untuk menurunkan angka kematian ibu, paling tidak untuk Yogyakarta waktu itu. Saya selalu menghormati beliau berdua. Bersama dokter Prastowo, saya kemudian ikut menjadi pengurus himpunan dokter perdamaian Indonesia. Dokter Hasibuan masih aktif sampai sekarang. Saya ketemu terakhir enam bulan lalu di bandara Adisucipto, kebetulan bersama dalam satu pesawat menuju Jakarta. Dia tak ingat insiden ‘Vaginanya tidak ada yang rusak” itu.

Saya merasa bangga bisa ikut dalam tim operasi menyelamatkan seorang ibu dari Gunung Kidul itu tiga puluh enam tahun lalu. Namun itu tak cukup. Perjalanan masih sangat jauh untuk menurunkan angka kematian ibu. Angka kematian ibu di Indonesia, masih termasuk tinggi di Asia. Dokter Fadilah, mantan menteri kesehatan, yang juga pernah bertugas sebagai ko asisten di rumah sakit Mangkuyudan pernah cerita waktu ketemu di bandara Changi dua tahun lalu. “Selama lima tahun terakhir, kami berhasil menurunkan dari 400 kematian ibu per 100 000 kelahiran, menjadi 250 per seratus ribu”. Tetapi itu masih terlalu tinggi. Masih banyak daerah kantong2 kematian ibu di Indonesia. Ada 6 orang isteri teman yang saya kenal yang meninggal saat melahirkan. Lima di antara mereka adalah isteri dokter dan dekat dengan pelayanan rujukan. Bukan tinggal di daerah pedalaman yang jauh dari pelayanan medis. Semua teknologi dan obat obatan tersedia dan terjangkau di masa kini. Kematian ibu harus diturunkan. At any price.

Salam damai dan sejahtera. Tulisan ini khusus saya persembahkan untuk Bung B. Haryo Prasetyo di Ottawal yang kebetulan juga lahir di Mangkuyudan, tanggal ini. Selamat ulang tahun, semoga selalu bahagia, dan menggapai cita cita masa depan. Maaf kalau ada kata yang keliru.

Ki Ageng Similikithi.
Yogyakarta, 27 Mei 2010.

No comments: