Monday, May 17, 2010

Jeng Srie, nuwun sewu, aku ora bali

Menjelang akhir tahun 1971. Minggu sore yang cerah. Habis hujan ringan siang harinya. Hawa sejuk menyegarkan. Saya menunggu bis di tepi jalan, di desa Ngampin, Ambarawa. Harus pulang ke Yogya. Angin bertiup ringan dengan aroma bau bunga kopi yang lembut. Rasanya malas, dalam suasana yang sejuk dan damai seperti ini, harus berangkat ke Yogya. Di kejauhan saya lihat Bapak saya duduk di halaman depan rumah, mengamati. Tiba tiba terdengar klakson mobil menyentak kesunyian. Bis Mustika mendekat dari arah Timur. Bis warna merah campur kuning menyolok. Jurusan Semarang Yogya. Si kernet berteriak lantang. Magelang ! Yogya !. Saya melambaikan tangan. Yogya ! Bis berhenti tepat di muka pintu kebun.

Saya berbalik melambaikan tangan ke arah Bapak di kejauhan, sebelum beranjak mendekati bis. “ Masih ada tempat duduk?”. Malas berdiri, meskipun hanya sampai Magelang. “Masih banyak tempat. Mari naik mas”. Si kernet membalas. Dengan sigap saya loncat, masuk lewat pintu belakang. Ada beberapa tempat duduk yang masih kosong. “Maaf ya mbak”, sekedar basa basi saya minta permisi untuk duduk berdampingan dengan seorang wanita muda di barisan kursi sebelah kiri. “ Silahkan, masih kosong”. Saya langsung duduk ketika gadis itu menyapa “ Lho sampeyan ya San ?”.
Saya terhenyak. Hanya teman SMP yang memanggil saya dengan panggilan itu. Saya tatap wajahnya. Lupa lupa ingat. Teman waktu sekolah di Taman Siswa Ambarawa lebih lima tahun lewat. “ Srie ya?” jawab saya tergagap. Belum hilang rasa kaget saya. Dia tahu saya terkejut. “Iya, Srie Lestari. Lupa ya?”. Saya mencoba menjelaskan dan menutupi rasa malu . “Lupa sih enggak. Hanya terkejut saja. Lama sekali kita tak pernah jumpa”. Dia mencoba menjelaskan “ Kita ketemu terakhir kali saat perpisahan sekolah. Pertengahan tahun 1965. Habis itu masing masing menghilang”.

Srie adalah teman satu sekolah di Taman Siswa Ambarawa. Sesudah lulus dia meneruskan ke SMA di Salatiga atau Semarang. Sedangkan saya ke Solo. Lulus SMA dia kuliah di Fakultas Sastra UGM , jurusan Sastra Nusantara. Saya meneruskan kuliah di kompleks Ngasem, Fakultas Kedokteran UGM. Kami asyik ngobrol dalam bis. Cerita tentang pengalaman masing masing selama enam tahun terakhir sesudah meninggalkan Ambarawa. Kami sama sama duduk di tahun ketiga di UGM. Kami cerita tentang teman teman semasa SMP dulu. Santi tak bisa melanjutkan sekolah sesudah tamat Taman Siswa. Peristiwa 1965 sangat menghantam keluarga Santi. Bapaknya ikut hilang. Srie tahu persis kalau saya sama Santi ada rasa istimewa dulunya. Cinta pertama, cinta monyet.

Srie tak banyak berubah sejak dari SMP dulu. Pembawaannya tenang dan kalem. Omongannya selalu teratur kalimat demi kalimat. Dalam bahasa Jawa yang halus. Sore itu dia memakai terusan warna kuning lembut dengan sweeter jambon. Kalem sekali. Cocok dengan warna kulitnya, kuning langsat. Kulitnya halus terawat. Rambutnya hitam lurus sampai ke pinggang. Ada jepitan rambut warna ungu terpasang menahan rambut yang melambai lambai tertiup angin. Dia tak terbiasa tertawa lepas berderai, tetapi senyumnya selalu menghias wajah lembut dalam setiap ungkapan kalimat demi kalimat. Saya menikmati ceritanya. Menikmati ucapannya di antara senyuman senyuman lembut. Ketika saya berkomentar tentang warna sweeternya yang lembut cocok dengan parasnya, dia tersipu. Balik berkomentar. “Baju anda warnanya pas sekali. Kalem”. Saya ingat memakai baju ungu muda. Tetapi ada sulaman benang warna keemasan menyolok di dada jika kena lampu malam hari. Ndesit. Minggu kemarin diolok olok teman teman pondokan, katanya baju penganten, pakai emas. Moga moga dia nggak lihat warna keemasan menyolok di dada kiri dan kanan ini.

Kami terus mengobrol sampai memasuki kota Yogya. “Saya turun di Gondolayu. Saya tinggal di Jalan Jendral Sudirman”. Dia memberikan catatan alamatnya. Saya juga baru ingat kalau saya tak lagi tinggal di Gerjen. Sudah beberapa minggu saya pindah ke jalan Pajeksan, di dekat Malioboro. Buru buru saya membalas “ Saya juga turun di Gondolayu. Saya tinggal di Pajeksan, Malioboro”. Menjelang maghrip saya antar Srie turun dari bis ke kompleks perumahan Bank Agung. Hanya mengantar sampai pintu masuk. Kami bersalaman erat di pintu itu. Terasa dingin ketika tangan kami bersalaman. Jabat tangan ringan. Sekedar ungkapan persahabatan. Kami janji akan bertemu hari Sabtu malam. “Jika anda ada waktu luang, kita bisa bertemu Sabtu malam besok”. Wah berarti belum ada yang ngapeli dia. Orang Jawa bilang “rindik asu digitik”. Lebih cepat dari lari anjing yang kena sabet. Cepat cepat saya menukasnya. “ Boleh Sabtu malam saya ke sini”. Pikir saya dari pada malam Minggu sendirian di kamar, berselimut sarung. Lebih baik mengunjungi teman lama. Senyumnya yang kalem di antara untaian kalimat kalimat halus berbahasa Jawa. Tak biasa saya jumpai di kalangan teman2 putri di kampus. Teman putri satu kampus datang dari seluruh penjuru tanah air. Kebanyakan bercakap dalam bahasa Indonesia. Pergaulan dan percakapan kami selalu lugas apa adanya.

Sabtu petang di akhir minggu saya mengunjunginya. Dia tinggal dengan bapaknya dan ke dua adiknya di kompleks perumahan. Ibunya di rumah Ambarawa. Memang mereka sekeluarga asli Ambarawa. Saya berkenalan dengan Bapaknya dan kedua adiknya. Mereka juga berbahasa halus sekali. Mungkin keluarga itu memang sudah terdidik dan terbiasa dengan pembawaan yang halus. Bercerita tentang masa lalu saat masih di Ambarawa, terutama saat bersama di Taman Siswa. Malam itu saya disiplin, pamit pulang jam sembilan malam. Srie mengantar saya sampai pintu depan. Saat bersalaman, dia bilang “ Jika ada waktu datanglah setiap akhir pekan Ki. Kita bisa ngobrol”. Saya mengiyakannya. “Pasti saya akan selalu datang”. Malam malam Minggu berikutnya saya selalu datang. Menikmati ceritanya. Gaya bicaranya yang halus teratur. Dalam bahasa Jawa dengan tata bahasa yang bersih. Di antara senyuman lembut yang indah. Seperti mendengarkan cerita roman karya Any Asmara, Kumandanging Katresnan, roman klasik berbahasa Jawa yang terbit di tahun lima puluhan.

Surat surat di antara kami saling terkirim. Juga dengan bahasa Jawa yang halus. Saya merasa dekat sekali dengannya. Merasa segan dan hormat akan kelembutan sikap dan kata katanya. Ingin selalu dekat dengannya. Mendengar kata katanya berbisik halus di antara senyuman lembut. Di satu malam yang indah. Habis hujan waktu itu. Langit terlihat kelam tanpa bintang. Kami duduk bedua di pavilion depan. Tak ada siapa siapa. Berdua berdampingan. Dia bercerita dengan tenang. Dengan senyuman indah di antara kalimat yang keluar teratur satu per satu. Saya menggenggam tangannya yang sejuk. Kami duduk berhimpitan di kursi panjang. Ada rasa kekaguman yang dalam. Rasa sayang dan hormat saya tak terkira. Pikiran dan perasaan saya mengembara ke langit sana. Tak ada keberanian, tak ada kemampuan, tak ada daya. Untuk membelai, untuk memeluk, apalagi mencium wajah lembut dan halus itu. Senyumnya tetap tersungging, meski dia nampak gelisah. Wajahnya semakin memerah cantik. Hanya rasa kagum yang platoonik membayang dalam pikiran saya. Ketika dia berujar “Kemana Ki kita menuju”. Dalam bahasa Jawa yang halus. Saya hanya mampu menjawabnya singkat “ Kita berjalan ke depan. Bersama sama entah sampai mana”.

Malam itu saya pulang menyusur sepanjang jalan Mangkubumi dan Malioboro. Ingatan saya melayang pengalaman cinta pertama kali dengan Eny dua tahun sebelumnya. Yang dengan penuh gelora memeluk dan mencium saya dengan tiba tiba di kegelapan di bawah pohon jambu itu. Beda sekali. Srie selalu lembut dan kalem. Dan saya tak bernyali untuk memulainya. Hari hari berlalu, minggu minggu berlalu, bulan bulan terlewati. Kami tetap setia bertemu di setiap akhir pekan. Entah di Yogya. Entah di Ambarawa. Pertemuan pertemuan yang asyik dengan cerita. Tutur katanya selalu membuat saya terkagum kagum luar biasa. Senyumnya selalu membuat saya terpesona. Tetapi setiap saat hanya membuat saya terpana tanpa daya. Tak ada nyali. Tak ada daya untuk bermain cinta. Ingat pengalaman berhubungan dengan Eny dua tahun lewat. Tak ada cerita jika bertemu. Tak ada ungkapan tata bahasa pujangga. Diam seribu bahasa. Langsung sergap sampai lumat. Edaan.

Hampir setahun saya selalu mengunjungi Srie. Selalu berbincang dengan asyik dan lembut. Dia juga selalu mendengar cerita cerita saya. Tentang kuliah. Tentang losmen. Saya kebetulan tinggal di losmen. Sambil mengurusi losmen, sekalian kerja, ada tambahan uang saku dan kuliah. Tetapi tak pernah ada janji di antara kami berdua. Tidak pernah ada ungkapan cinta. Saya lupa bulannya. Saya sudah duduk di tingkat empat di tahun 1972. Beberapa minggu lagi kami akan stuy tour akhir tahun ajaran ke Bali. Suatu siang sesudah ujian saya ajak teman sekelas, asal Ambarawa, almarhum Purwo, mengunjungi Srie di Gondolayu. Seperti biasa, Purwo selalu merokok. Tetapi dia tak banyak cerita. Hanya mendengar saya berbincang dengan Srie. Gaya pebicaraan kami mungkin agak aneh di mata Purwo. Dia kebanyakan diam, tak seperti biasanya.

Pulang dari tempat Srie, kami makan soto. Purwo tak banyak bicara. Dia hanya komentar. “Srie gadis cantik Ki. Tapi nggak cocok buat kamu. Ada sesuatu yang aneh di antaramu”. Saya hanya menggumam kalau kami belum kata kata yang mengikat. “Nggak usah bohong bung. Tetapi jangan diteruskan. Sama sama orang Ambarawa. Tak baik jika ada apa apa nantinya”. Hari Sabtu malam terakhir sebelum saya ke Bali, saya menemui Srie dan pamitan. Sewaktu saya akan pulang dia berpesan “ Nek kondur seka Bali, tindak rene ya”. Kalau pulang dari Bali, datang ke sini ya. Kami bersalaman erat di pintu gerbang. Kata kata itu masih teringat. Rupanya itu terakhir kali saya mengunjunginya. Di Bali, saya satu rombongan dengan EMSA teman satu klub belajar. Dia hangat dan ceria. Selalu dekat dengan saya. Purwo pernah berteriak ke kami di pantai Kuta. “Jangan lengket lengket. Nanti bisa kebablasen jatuh cinta”.

Pulang dari Bali, saya tak sempat mengunjungi Srie. Saya mengaguminya. Menghormatinya. Tetapi saya yakin kalau perasaan saya tidak sampai mencintainya. Dan kami selama sebelas bulan terakhir memang tak pernah menyatakan cinta. Tak pernah bermain cinta. Suatu malam di bulan Mei menjelang ulang tahun saya menerima kiriman. Ketika saya buka. Ada bahan baju warna ungu indah. Kalimat ucapan selamat ulang tahun. Dalam bahasa Jawa halus yang indah. “Kondur seka Bali kok ora tindak nang nggonku Ki. Awake dewe mlaku bareng mung tekan semene ya?” Pulang dari Bali kok tidak datang lagi. Perjalanan kita hanya sampai sekian ya ?”. Saya tak bisa membalas panjang lebar. Hanya ungkapan terima kasih tiada tara dan permintaan maaf “ Nuwun sewu Jeng Srie, aku ora isa sowan”.

Sejak saat itu saya tak pernah berjumpa lagi. Hanya di akhir tahun delapan puluhan saya bertemu sepintas. Srie dengan dua orang putranya mengantar sang suami urusan program paska sarjana di kampus. Kami hanya bersalaman tetapi tak sempat cerita panjang lebar. Dia tinggal bersama dengan keluarganya di Jawa Tengah Selatan. Saya ajak mampir di kantor saya, dia menolak dengan halus. “Saya menemani anak anak di halaman sini”. Dia nampak berbahagia sekali dengan kedua putra putrinya.

Salam damai dan bahagia untuk mama Srie. Maaf jika ada kata kata yang keliru. Ki Ageng Similikithi

2 comments:

bethoro indro said...

cuman berani ngintip dan cekikik an

Ki Ageng Similikithi said...

Di intip ya mung cekel cekelan tangan. ora wani maju terus