Friday, May 7, 2010

Sudah punya calon?

Jam dua siang siang di awal tahun 74. Saya selesai asisteren operasi di kamar bedah RS Bethesda, Yogyakarta. Sejak jam 11 tadi. Capai dan lapar, buru buru ke kamar ganti. Tiba tiba Purwo masuk dan bicara keras. “ Ki ana wedokan nggoleki kono”. Ada perempuan cari kamu. Saya nggak percaya. Dia suka berolok olok dan angin anginan. Saya hanya bergumam. Tak perlu dilayani. Beberapa saat kemudian dia masuk lagi. “ Edan, dienteni wong ayu kok jual mahal”. Dia nampak serius. Jarang dia bersikap begitu. Saya terkesiap. Tak ada janji. Tak ada agenda ketemu teman apa lagi wanita.

Saya keluar masih dengan pakaian putih. Ada seorang gadis duduk di bangku panjang. Dia memakai terusan warna biru. Rambutnya terurai indah. Wajahnya memerah. Nampak gelisah. Dia diantar temannya. Ingatan saya berputar cepat. Oh ya, mahasiswi AKUB yang saya kenal beberapa waktu lalu. Belum sampai tahap serius. Masih surat suratan biasa. Belum tersirat pesan pesan romantis.

“ Ki apa kabar?”. Dia menggenggam tangan saya dengan erat. Saya masih terkejut. “Hi Lin, kapan datang ?”. Dia nampak kikuk dan tergesa. “ Baru tadi pagi. Saya di Yogya hanya beberapa hari. Sabtu pulang lagi”. “Kenapa tergesa?” Saya bertanya sekenanya. Belum hilang rasa terkejut saya. “ Hanya mengurus ujian. Datanglah ke rumah sebelum hari Sabtu”. Saya hanya mengangguk ringan. “O iya, kenalkan teman saya Roni”. Roni teman satu kota dan satu kuliah dengan Lina. Hanya beberapa menit. Tak ada lima menit. Lina tergesa pamitan. “Datang ke rumah sebelum Sabtu ya”.

Mereka berjalan menjauh sepanjang koridor rumah sakit. Saya tertegun memandangnya. Kecewa nggak bisa menahannya lebih lama. Hati saya tergetar ingat tatapan matanya. Menembus dalam ke lubuk hati saya. Ada rasa aneh berdesir di rongga dada. Tiba tiba Purwo keluar dengan pakaian dan topi putihnya. Dia nggak tugas jaga. Pasti mau berlagak dengan pakaian itu. “ Jangan sok jual mahal sama wanita Bung. Jaman sekarang emansipasi, wanita berhak memilih”. Dia memang suka bicara. Mengenai apa saja. Selalu di atas angin. “ Kau calon dokter Ki, sama wanita harus gentle. Jangan sok jual mahal”.

Kalau nggak di counter sejak awal, pasti satu sore dia akan ceramah bagaimana harus bersikap gentle terhadap wanita. Semalam berjam jam berceramah ke teman yang lain, Jito, tentang tata krama berpacaran. Hanya karena Jito tak sengaja cerita sudah mengapeli gadis berbulan bulan, baru berhasil menggenggam tangan. “ Bibirmu perlu operasi plastik bung. Mungkin jaringan bokong yang ada dibibir itu”.

Saya tak ingat apa saja yang dikatakan Purwo di koridor itu. Pikiran saya masih tertuju ke Lina, mahasiswa AKUB yang saya kenal beberapa bulan lalu. Saya bilang ke Purwo sekenanya. “ Dia calon isteri saya. Ibu saya sudah setuju”. Purwo yang tadi bersuara lantang, mendadak terdiam. “ Sungguh? Serius?” Tanyanya tak percaya. Dia terdiam beberapa saat. Saya tak tahu kenapa. Purwo berpenampilan menarik. Tinggi dan berpenampilan tampan. Bolak balik ganti pacar. Terakhir pacaran sama adik kelas. Anak seorang dokter ternama. Oomnya Purwo juga dokter bedah terkemuka. Saya dengar Purwo ditinggal pacarnya. Pria yang nyamperin pacar Purwo naik mobil Fiat. Desas desus beredar keras “ Si Purwo kesrempet Fiat”. Tetapi tak urusan. Tak mungkin patah hati dia. Nilai jualnya tinggi. Kalau mau ganti pacar tiap minggu pasti bisa.

Kembali ke kamar istirahat. Kami tak banyak bicara. Hanya sekali Purwo bertanya. “Kau serius itu calon istrimu”. Saya menjawab sekenanya “Iya sudah mantap. Mau cari yang kayak apa lagi”. Hari Jumat sore saya menyempatkan ke rumah Lina di dekat bioskop Permata. Hanya bertemu sejenak. Belum terasa istimewa. Tetapi dia menggenggam tangan saya erat sekali saat saya pamit. Desir aneh merambat di rongga dada.

Dua minggu kemudian kami co-schaap di Bagian Anak di RS Pugeran Yogya Selatan. Tak dalam satu rombongan dinas jaga dengan Purwo. Seperti biasa dia selalu vibrant dan banyak bicara. Di suatu siang saya menerima seorang pasien anak menderita demam berdarah. Masih kelas satu SD. Kiriman dari RS Bantul. Masih ingat benar wajah anak kecil itu. Lucu dan tampan dengan senyuman khas walau wajahnya memucat. Tak menangis waktu saya pasang infuse. Wanita muda yang mendampingi nampak tak tega. Dia meneteskan air mata melihat si pasien terpasangi infus. “ Anda siapa zoes?”. “Saya kakaknya Dok”, jawabnya setengah menangis rintih. “Tak apa apa. Kondisinya stabil. Anda masih kuliah ? “. Saya mulai percakapan basa basi. Wajahnya nampak kuyu seperti memendam kesedihan yang dalam. “ Saya di Ekonomi Bulaksumur”. Kaget saya. Berarti sama sama atau satu tahun di bawah saya. “ Jangan panggil saya Dokter. Kita mungkin teman satu angkatan”. “ Wajah anda sedih sekali. Jangan khawatir adiknya segera sembuh”.

Setelah tahu kalau satu angkatan, kami larut dalam pembicaraan yang akrab. Dia memanggil nama saya. Saya memanggil namanya Lili. Wajahnya cantik sekali. Perawakannya semampai seperti peragawati, Okky Asokawati. Baru sadar saya jika pernah melihatnya di acara ratu kampus. Dia salah satu nominasi ratu kampus. “Lili anda pemenang ratu kampus beberapa bulan lalu?”. “ Ah hanya sekedar ikut. Runner up”. Kami terlibat dalam pembicaraan akrab. Bahkan dia cerita baru ada masalah. Baru saja putus ditinggal pergi sang pacar. Lulusan Fakultas Teknik Bulak Sumur. Batin saya, insinyur bloon, pacar secantik Lili kok ditinggal pergi. Kami terlibat sendau gurau ringan. “Ki carikan dhong kalau ada teman”. “ Wah stok pejantan, disini masih banyak. Diobral”

Paginya saya ketemu Purwo. “Bung pasien saya kakaknya cantik sekali. Runner up ratu kampus. Katanya baru saja putus. Kosong bung”. Purwo yang biasanya begitu perkasa dan percaya diri, tak begitu antusias. Mungkin kehilangan pacar kesrempet Fiat itu membekas benar dampaknya. “Serius Bung. Kalau anda minat, nanti jam dua datang ke kamar 101. Dia pasti menunggu adiknya setelah pulang dari kampus”.
Siang itu saya dinas jaga. Jam setengah dua saya masih di bangsal dengan Santo, teman satu grup jaga. Hanya ada beberapa pasien yang perlu pengamatan tiap jam. Terutama pasien demam berdarah dan diare. Saya lihat Lili menunggu adiknya di kamar 101. Saya menghampirinya beberapa saat kemudian. Adiknya sudah jauh lebih baik. Makannya juga hampir normal kembali. Belum sempat ngobrol dengan Lili. Hanya bicara tentang kemajuan adiknya, ketika pintu diketok.

Purwo berdiri di muka pintu. Aneh luar biasa bagi saya. Biasanya dia begitu gagah dan percaya diri. Pakai jas putih dengan kerah setengah berdiri. Tangan selalu tercekak dipinggang atau digendong dibelakang untuk meningkatkan wibawa. Kali ini dia datang tanpa pakaian seragam dokter. Wajahnya jauh dari percaya diri. Senyum kecut menghias bibir. Wagu ingah ingih. Tangannya tidak dipinggang, juga tidak di punggung. Tetapi kedua tangannya saling tumpang di muka selangkangan. Seolah ketakutan burungnya akan hilang. Baru sekali ini saya melihat penampilannya begitu jauh dari percaya diri. Saya ingat bajunya warna kotak2 hitam dan putih.

“ Hi Bung selamat siang. Ada keperluan khusus?”. Saya bertanya basa basi. Dia semakin merunduk mendengar pertanyaan saya. Sementara Lili nampak kebingungan melihat sikap saya. Masih ingat benar jawabannya “ Lho katanya saya tadi disuruh ke sini?”. Ini kesempatan saya di atas angin. Biasanya saya selalu kalah atau mengalah. Di kamar pasien ini, sayalah yang punya otoritas.

“ Anda pengin kenalan dengan Lili kan ?. Bilang saja terus terang, nggak usah senyam senyum kayak gitu”. Lili tersipu dan tak tahu apa maksud percakapan ini. Saya juga belum sempat memberitahu kalau ada teman yang pengin kenalan. “Lili, ini teman saya namanya Purwo. Dia pengin sekali kenalan dengan anda. Saya sudah cerita ke dia siapa anda”. Mereka bersalaman malu malu. Seperti pacaran jaman Siti Nurbaya. Saya berseloroh. “Bung kalau memang berani anda bilang terus terang to the point. Jangan buang waktu”. Kami terlibat pembicaraan singkat hanya sebentar. Saya kemudian pamitan ke kamar. Tak lama kemudian, Purwo masuk menyusul. “ Ki saya ganti jaga malam ini”. “Terima kasih kalau mau jaga. Tetapi hari anda jaga sendiri saya nggak mau ganti”. Pikir saya dia yang butuh, pasti mau dia. Purwo paginya cerita kalau Lili dan dia sepakat untuk serius. Hanya bertemu sekali. Langsung sepakat ke pokok masalah. Mau berhubungan serius. Adik Lili hanya empat hari di rawat. Lili tak lagi datang ke rumah sakit. Purwo juga jarang datang tugas. Waktu ketemu dia bilang. “Saya pengin istirahat dulu. Mundur beberapa bulan lulus dokter tak apa apa. Demi Lili”.

Saya dan Lina kawin duluan. Sebulan sesudah lulus dokter di tahun tujuh lima. Sampai sekarang. Saya tak banyak ketemu Purwo sesudah itu, tetapi dia dan Lili kawin beberapa bulan sesudah kami. Purwo juga lulus dua bulan sesudah saya. Lili nampak begitu jelita mendampingi saat dia di sumpah. Kami tak banyak bertemu lagi. Saya bertemu Purwo di tahun 1984 setelah pulang dari Inggris. Saya mampir ke rumahnya di daerah Priok. Anaknya dua gadis gadis kecil yang jelita seperti ibunya. Lili masih main tennis waktu itu. Tak ketemu. Pertemuan saya terakhir di tahun sembilan puluh. Dia nampak tak setegar dulu. Mungkin kelelahan karena pasiennya begitu banyak. Beberapa tahun kemudian saya menerima berita mengejutkan Purwo telah tiada. Selamat jalan kawan. Damai yang abadi.

Saya menulis catatan ini dengan rasa heran. Di jaman itu hampir empat puluh tahun lalu, tak ada cell phone, tak ada facebook, tak ada twitter. Tetapi anak anak muda bicara lugas apa adanya kalau cari pasangan. Anda sudah punya calon? Apakah minat hubungan serius dengan saya?. Di jaman kemajuan teknologi komunikasi jaman sekarang, anak muda cari pasangan, bolak balik kok hanya titip salam. Salam kenal. Salam manis. Salam sayang. Salam rindu. Kakehan salam boo. Kapan kenanya.
Salam hangat buat anda anda yang masih mencari pasangan. Jangan banyak basa basi. Langsung ke pokok masalah. Sudah punya calon ? Anda minat serius dengan saya ?
Ki Ageng Similikithi

2 comments:

paromo suko said...

praktek aaaahhh.....

Ki Ageng Similikithi said...

Kanjeng Romo,

Awake dhewe wis telat . he he he. Jane yahuut lo