Saturday, April 11, 2009

Megatruh

Kisah ini terjadi di awal tahun delapan puluhan. Sudah lewat jam delapan malam ketika Toro memasuki kota Solo. Sendirian dia mengemudikan mobil dari Semarang. Sengaja tak mengajak sopir karena ingin mampir ke tempat kakak dan buliknya di Sambeng.. Hujan rintik rintik membasahi kota Solo. Terasa sepi dan damai. Memasuki kota Solo pikirannya berubah. Tak jadi nginap di tempat kakaknya. Dia merasa begitu capek. Jika tidur di tempat kakaknya pasti tak segera bisa istirahat. Ngobrol sampai malam.. Padahal besok dia harus menghadiri pembukaan penataran jam delatan pagi. Penataran untuk para pejabat dinas transmigrasi. Toro menjabat salah satu ketua bidang di kantor transmigrasi propinsi di Semarang.

Lewat Purwosari pelan pelan menelusuri jalan Slamet Riyadi yang asri. Mencari hotel yang enak untuk istirahat malam itu. Sesudah melewati Sriwedari, belok ke kiri. Ada hotel tua di kiri jalan. Nampak megah walaupun bangunannya sudah nampak tua. Halamannya luas dengan berbagai pohon yang rindang di depan. Bangunan utama terletak di tengah, sedangkan di sebelah kiri dan kanan ada bangunan samping memanjang ke belakang dengan kamar berjejer. Toro membelokkan mobil memasuki halaman hotel. Langsung ke petugas resepsionis di bangunan utama.

"Selamat malam Bapak. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita muda, petugas resepsionis menyapa dengan ramah..
" Masih ada kamar single untuk malam ini.?'.
" Mohon maaf pak, semua kamar di depan dan samping penuh semua. Sudah dipesan. Banyak pertemuan dinas minggu ini"
" Satu kamar saja masak nggak ada sih Mbak?"
Seorang petugas lanjut usia membisikkan sesuatu ke resepsionis wanita tadi.. Wanita itu nampak terhenyak sesaat.
"Jika bapak mau, ada pavillion di belakang. Terdiri dari dua kamar. Biasanya tak ada tamu yang berminat, kecuali keluarga di akhir pekan"
"Nggak apa apa. Malam ini saja. Satu kamar"

Toro cepat menyelesaikan administrasi, mengisi formular untuk check in. Lelaki usia lanjut memberitahu lebih baik mobil di parkir di halaman belakang sekalian. Hujan gerimis di luar. Toro memindahkan mobil ke halaman belakang. Ada pavillion tua yang nampak kokoh dan berwibawa. Halaman luas dengan dua pohon kenanga di samping kiri dan kanan. Dia memparkir mobilnya di sudut halaman. Bau bunga kenanga menusuk lembut. Sementara suara binatang malam dan kelelawar selang seling di antara bunyi tetesan air hujan.

Pria usia lanjut itu membantunya menurunkan tas beserta beberapa map berisi dokumen bahan penataran besok pagi. Dia juga belum memastikan dimana tempat lokakarya besok. Tak apalah besok pagi pagi dia akan menyiapkan setelah bangun tidur. Kebiasaannya jika menghadiri penataran di manapun, dia baru menyiapkan bahan bahannya semalam sebelumnya. Tak sempat mempersiapkan jauh jauh hari. Kegiatan sehari hari begitu menghabiskan waktunya.
"Silahkan masuk Den Mas. Kamarnya agak sederhana"
"Terima kasih pak. Bagus pavillionnya. Antik sekali. Bapak namanya siapa".
"Nama saya pak Landung . Saya sudah kerja di hotel ini lebih empat puluh tahun. Sejak jaman Republik. Jika butuh apa apa, silahkan panggil saya. Apakah Denmas asli Solo?"
"Orang tua saya asli Solo pak. Masa kecil saya sampai SR kelas lima di kota ini. Saya sekolah di SR Keputran"

Bangunan pavillion itu terdiri dari dua kamar dan satu serambi depan. Dia ambil satu kamar yang terletak di samping. Ada sepasang kursi tua yang artistik dan satu meja di dalam serambi. Diterangi samar samar oleh lampu listrik dalam lampu ukiran antik. Toro segera merebahkan diri di kasur dengan seprei putih bersih. Baunya harum lembut. Dia kecapean setelah semalaman kurang tidur karena ada acara nganten salah satu temannya di Semarang.

Sayup sayup dia mendengar lolong anjing di kejauhan. Menambah sepi suasana malam yang sejuk. Suara tetesan air hujan di atap seng berdetak teratur. Toro selalu menyukai lolongan anjing malam hari. Masa kecilnya akrab dengan suara lolongan anjing. Orang tuanya banyak memelihara anjing sewaktu dinas di Ambarawa. Tiba tiba terdengar suara lembut wanita menyanyikan lagu macapat Jawa Megatruh. Dia tergagap. Lagu itu telah dia dengar sejak kecil. Ibunya dan neneknya senang melantunkan lagu Megatruh menjelang tidur. Dia selalu mengeluh dan protes. Dia tak pernah menikmati irama lagu itu. Lagu tentang kesedihan. Lagu tentang kematian. Perjalanan sukma saat meninggalkan badan. Dalam filsafat Jawa ada berjenis macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak kelahiran (mijil) sampai kematian (megatruh)..

Di serambi depan Toro tersentak melihat seorang wanita cantik dan anggun duduk di kursi. Berpakaian gaya bangsawan dengan kain parangrusak dan kebaya warna merah. Di rambutnta tersisip bunga kenanga dan melati. Elegan dan cantik sekali. Hanya wajahnya sedikit pucat. Tersirat kesedihan yang mendalam. Wajahnya nampak gelisah seolah menunggu seseorang.

" Apakah ibu sedang menunggu seseorang?"
" Terima kasih dimas. Nama saya Rianti, Raden Ajeng Rianti . Saya menunggu kedatangan Kangmas Bei Donopati. Sebentar lagi dia akan datang menjemputku. Biasanya kangmas selalu datang jam jam segini Dimas. Panjenengan siapa?"
"Saya dari Semarang. Nama saya Suryantoro. Tetapi masa kecil saya di kota ini"
" Apakah Dimas asli Solo. Wajahmu menampakkan kearifan bangsawan Solo?"
" Orang tua saya dari Solo. Dari Brontokusuman. Mengapa ibu menunggu pak Bei malam malam begini?
" Kangmas selalu datang menjemputku jalan jalan. Lewat tengah malam kami kembali ke sini. Pavillion ini langganan kami berdua Dimas".

Tanpa diminta, wanita itu mulai bercerita. Kadang kadang diselingi dengan lirih lantunan megatruh. Toro hanya terpukau mendengar. Terbawa dalam emosi kesedihan irama itu.
"Saya asli dari Pracimantoro. Bertemu dengan Kangmas Bei karena dikenalkan paklik saya yang tinggal di Solo. Sejak itu kangmas selalu datang ke rumah saya. Biasanya akan menginap sampai beberapa malam"
"Apakah ibu jatuh cinta dengan beliau?"
"Iya kami terlibat dalam hubungan cinta yang dalam. Tak ada lelaki lain dalam hidup saya kecuali Kangmas Bei. Dia perkasa dan tampan sekali. Saya mengikuti Kangmas ke Solo dan tinggal di desa Sumber. Orangtua saya mengijinkan saya diambil dan diperisteri Kangmas. Setiap pekan beliau datang ke tempat saya atau kami bertemu di pavillion ini".
"Ibu adalah isteri dari pak Bei Donopati?"
"Kami saling mencintai. Hidupku hanya untuk beliau. Tetapi perkawinan itu tak juga datang. Saya hanya dari desa. Orang tua saya petani miskin di sana Dimas".
"Mengapa tak diperisteri? Mengapa ibu bersedia menjadi teman setia tanpa ikatan?"
" Dimas, sampeyan anak muda, belum tahu hakekat cinta dan pengorbanan. Buatku cinta adalah pengorbanan. Saya mendapatkan segalanya dari kangmas. Kehormatan, harta, kepuasan fisik. Apalagi yang saya harapkan. Perkawinan hanyalah status semata".

Toro merasa percakapan terlalu jauh. Dia mencoba menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Tetapi dia terbawa dan terhanyut dalam percakapan yang mengasyikkan.

"Perkawinan adalah tanda keterikatan cinta dua manusia ibu. Bukan cuma status".
"Sampeyan hanya berteori dari buku Dimas. Kangmas Bei mengorbankan segalanya. Di luar dia disembah sembah orang. Ibarat orang menyembah dan mencium kakinya. Di dalam kamar ini, beliau tunduk dalam pelukan saya. Menyembah saya. Mencium alat kewanitaan saya. Saya bebas duduk telanjang dalam pangkuannya. Alat prianya menari nari lembut dalam rongga wanita saya. Dia tergolek pasrah terlentang menikmati pergulatan yang indah. Bukankah itu kenikmatan hidup dan kehormatan?. Namur saya begitu sedih dan kecewa ketika beliau resmi kawin sama seorang putri bangsawan. Meskipun katanya beliau tak mencintainya. Hanya saya yang dicintai.".
"Ibu, hidup adalah kehormatan dan kebahagiaan. Bukan sekedar nikmat. Apa yang ibu cari dan harapkan dari beliau. Lihatlah ke luar sana. Lihatlah ke depan. Tak ada gunanya menyia nyiakan diri sendiri".

Tiba tiba saja wanita itu berubah marah sekali. Matanya memancarkan kebencian dan kemarahan yang dalam. Dia berdiri bertolak pinggang. Kondenya lepas, dan rambut indahnya terurai sampai ke pinggul. Jari jarinya menunjuk lurus ke muka Toro. Kata katanya tak jelas keluar dari mulutnya yang tak lagi nampak indah. Berbusa karena kemarahan yang sangat. Bahkan seolah wanita itu akan mencakar mukanya. Suara lolong anjing kembali menggema. Toro menjerit keras, dan terbangun dari impian yang mengerikan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Hatinya masih berdebar keras, ketika terdengar suara ketukan di pintu depan. Pak Landung, pegawai hotel usia lanjaut tadi datang mengantar minuman.

"Denmas mimpi buruk rupanya. Anda menjerit keras sekali. Saya bawa teh hangat untuk anda".
"Saya bermimpi buruk sekali pak Landung. Seolah ada wanita cantik yang begitu marah sama saya dan mengusir saya"
" Silahkan tidur kembali Denmas. Saya akan tidur di serambi nanti menemani anda".

Paginya Toro minta sarapan diantar ke kemarnya. Pak Landung melayani dengan ramah. Dia sempat cerita secara singkat.. Pavillion ini dulu adalah langganan seorang bangsawan terkenal di kota Solo dengan pacarnya. Wanita itu berasal dari selatan Surakarta. . Ketika bangsawan itu akhirnya kawin dengan wanita lain, wanita itu agak terganggu jiwanya dan sering datang sendirian dan menyanyikan lagu sedih megatruh di serambi ini. Dia selalu membawa anjing kesayangannya. Dia akhirnya bunuh diri minum DDT dan meninggal di kamar sebelah. Anjingnya rupanya juga dikasih minum DDT. Ikut mati.

"Denmas Bei, nanti masih tidur di sini?"
"Pak Landung, jangan sekali sekali panggil saya pak Bei. Nama saya Toro. Insinyur Suryantoro. Saya tak ada kaitannya dengan pak Bei".

Toro sempat tipon isterinya di Semarang. Cerita tentang mimpinya. Isterinya menjawab ringan, mau ditemani nggak mau. "Saya juga pengin ke Solo sebenarnya. Baik baik ya pah".

Toro berpikir ketika meninggalkan halaman hotel. Moga moga ibu Rianti, atau Raden Ajeng Rianti, hidup damai di alam sana.

Ki Ageng Similikithi

4 comments:

eyang bethoro said...

pembrani juga om toro... kalau saya sudah ngibrit nyari tempat lain. btw gimana baunya jeng mas rianti?

Ki Ageng Similikithi said...

Wah kalau saya sih sekkali sekali boleh lah nyenggol nyenggol peri. tidak masuk dalam kamus penyelewengan tetapi musjriiiik.

Unknown said...

ternyata romantis juga ya. Ceritanya bagus. Tidak hanya pandai dalam ilmu pengetahuan. Thanks for all. Salam.

Ki Ageng Similikithi said...

Indwiani. Salam hangat dan terima kasih sempat membaca cerita saya. Salam persahabatan