Thursday, February 26, 2009

Ceritaku hanya lewat rembulan


Mata mata indah itu begitu berbinar. Hamparan senyum ceria menghias muka muka mungil. Mereka begitu terhanyut mendengar cerita cerita ku. Cerita tentang perjalanan. Cerita tentang alam. Cerita tentang tempat tempat jauh setiap saya kembali dari perjalanan. Yang mereka belum pernah kunjungi. Setiap saya pergi, anak anak saya, terutama almarhum Moko selalu melihat peta. Meniti tempat yang saya kunjungi. Karena memang dia tak pernah bisa ikut dalam perjalanan perjalanan saya. Saya juga belum sempat memenuhi janji mengajak mereka ke tempat tempat yang pernah saya kunjungi. Ketika mereka masih kecil, Aryo, Wisnu dan Moko, saat menjelang tidur malam selalu membayangkan seolah kami terbang di atas tempat tidur. Kemudian membayangkan bersama seolah kami datang ke tampat2 yang saya kunjungi. Saling berebut menyebut melihat sesuatu yang indah dan aneh di bawah sana. Hanya perjalanan dalam khayal dan laminan. Namun penuh imaginasi akan keindahan alam semesta. Begitu membahagiakan.

Saya membayangkan kembali keindahan dan kebahagiaan masa lalu ketika kami masih bersama. Ketika Moko masih dalam pelukan saya dan ibunya. Ketika melihat mata mata indah berbinar mendengar cerita cerita saya tentang alam. Tentang tempat empat yang jauh di sana. Ketika Moko pergi selamanya. Ketika anak anak, Aryo sama Wisnu dewasa, saya memimpikan kembali saat saat bahagia itu. Pulang dari perjalanan adalah kebahagiaan untuk bertemu mereka. Bercerita dan bercanda dengan mereka. Namun perjalanan pulang dari Nepal, 13 Desember 1997, adalah petaka dan kegelapan. Saya tidak menjumpai muka bahagia serta mata yang berbinar. Moko sudah terbujur dingin di pendopo rumah tua orang tua saya di Ambarawa. Perjalanan terakhir dengan petaka. Dia beristirahat di rumah abadinya. Rumah di atas bukit.

Kini tak ada lagi kesempatan bercerita tentang perjalanan perjalanan itu. Tak ada lagi masa masa indah bersama mereka untuk mendengar cerita saya. Saya kehilangan Moko, kehilangan masa masa indah itu. Kehilangan kesempatan untuk bercerita. Saya ingin bertahan dengan bercerita. Walau itu hanya lewat rembulan. Semoga rembulan berbaik hati menyampaikan cerita cerita indah untuk anak saya Moko. Sampaikan ceritaku untuknya yang sudah tiada. Di balik dunia. Saya ingin terus bercerita. Untuk bertahan sampai di akhir perjalanan waktu. Salam damai.

2 comments:

Anonymous said...

Sedih sekali membayangkannya.... walaupun kita sadar semua cuma titipan, tapi rasanya tidak mungkin menghindarkan diri dari pedihnya kehilangan.
Btw...Ki...Mas Rio miriiiip sekali dengan Yang Kakungnya ya?

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih jeng Ami. Iya almarhum Moko banyak yang mengatakan mirip saya persis. Juga Rio. Salam hangat selalu. Bahagia sejeluarga selalu