Monday, November 2, 2009

Siapakah aku ini

Hidup adalah perjalanan panjang. Menempuh arah dan menuju tujuan masing masing. Dalam perjalanan panjang itu pasti bertemu banyak orang. Dengan segala corak dan tujuan hidup masing. Juga bertemu banyak teman. Teman sesaat atau selamanya.. Juga teman hidup yang dicintai. Yang menemani perjalanan sampai waktu berakhir. Bertemu dengan banyak corak manusia, pertanyaan kadang menerpa. Siapakah mereka? Apa yang mereka lakukan. Siapakah aku? Apa yang saya tuju dalam hidup ini? Pertanyaan yang sering datang bersama lamunan.

Pertanyaan sederhana ini datang ke benak saya , pertama setelah membaca sajak Chairil Anwar , di tahun 1964. Setelah pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin tak lengkap. Hanya ingat sepatah sepatah " Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Biar peluru menembus kulitku. Aku tak kan peduli. Berlari Berlari, hingga hilang pedih peri" Saya tak tahu persis apa yang emosi dan pikiran Chairil dibalik puisi itu. Nampak begitu bergelora. Membara penuh semangat hidup.

Musim bunga di tahun 1964. Bunga kopi, bunga mawar semerbak di kebun kami. Hanya beberapa minggu setelah kami menerima pelajaran tentang puisi Chairil Anwar tadi. Di hari Minggu itu kami siswa siswi Taman Siswa jalan jalan ke Gunung Kendali Sodo, di sebelah Timur Laut kota. Bahasa sekarang mungkin outbond. Dulu waktu sekolah dasar, istilahnya gerak jalan. Berjalan kaki sepanjang kurang lebbih tujuh kilometer. Dari desa kami total mungkin 12 kilometer. Dipimpin guru olah raga, namanya pak Beny. Badannya kuat, suka cerita, kadang sampai membual. Katanya pernah dikeroyok perampok lima orang. Satu persatu KO kena ketupat Bangka Hulu. Perjalanan mengasyikkan. Tak terasa lelah walau jalan mendaki sepanjang perbukitan,setelah melewati desa Doplang. Hawa belum panas benar. Awal musim hujan. Udara Ambarawa masih sejuk kala itu. Pak Beny selalu cerita ke sana kemari. Kadang2 teriak memberi semangat sepanjang jalan.

Kami tiba di puncak Gunung Kendalisodo kira kira hampir jam sebelas siang. Dari puncak bukit itu terlihat pemandangan lembah terhampar luas. Lembah Ambarawa di sebelah Barat, dan dataran rendah menuju Semarang ke arah Timur Laut. Begitu menakjubkan. Asri dan damai sekali waktu itu. Saya merasa begitu kecil berdiri di puncak bukit itu. Kami hanya duduk duduk dibawah pohon pohon rindang.Kadang kadang nyanyi bersama. Lupa lagu apa saja yang kami nyanyikan saat itu. Satu yang tak terlupakan. Lagu indah Taman Siswa kami kumandangkan di atas bukit . "Taman Siswa perguruanku. Hiduplahmu semerdekanya. Taman Siswa jantung hatiku. Bersinarlah semulianya. Dari Barat sampai ke Timur. Pulau pulau Indonesia. Nama kamu sangatlah masyhur. Diliputi merah danputih".

Habis nyanyi nyanyi hanya duduk duduk menggerombol. Masing masing asyik ngobrol dan makan bingkisan makanan dengan kelompok masing masing. Pak Beny cerita di kelilingi siswi siswi putri. Hanya seorang siswa laki laki yang ikut dalam kelompok pak Beny, namanya Kadar si kacamata. Dia takut jauh jauh. Tebing begitu tinggi dan terjal. Takut kalau terpeleset. Saya lihat Santi dan mbak Marni di seberang lereng bukit. Santi nampak begitu menawan. Dengan baju hijau muda. Pipinya memerah terkena panas mata hari. Kadang2 dia terpekik ceria. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tiba tiba saja saya ingat puisi Chairil Anwar itu. Aku. Pertanyaan menerpa ringan di antara lamunan menikmati pemandangan alam yang menakjubkan. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Lamunan saya melayang di antara langit dan awan. Menelusur lembah dan bukit yang begitu indah. Pemandangan lembah yang begitu indah terhampar luas di bawah sana. Saya ingin terbang menembus cakrawala itu. Menembus langit itu. Bersama awan. Bersama Santi, kalau bisa. Dengan baju hijau muda dan syal warna lembut. Dia sering memakai syal warna kuning lembut. Untuk mengusir hawa dingin pagi hari waktu itu. Syal itu pasti akan melambai lambai di langit jika dia terbang. Terbang di langit tak bertepi. Dalam lamunan tak berbatas. Edaaan ah. Lamunan keterlaluan. Tetapi melamun sih bisa saja. Tak ada larangan untuk melamun.

Siapakah aku ? Apa yang saya gapai? Saya ingin pergi ke luar dari lembah indah itu. Belajar dan berjuang ke masa depan. Saya ingin belajar di luar sana. Di balik cakrawala. Di seberang dunia. Di luar Indonesia. Ingatan saya melayang ke kakak saya tertua yang saat itu sedang tugas belajar di West Lafayette, USA. Moga moga saya bisa seperti dia. Namanya Hadiwaratama. Lulus ITB tahun 1963, terus tugas belajar ke Amerika.
Sekarang sudah pensiun dari ITB.

Keinginan saya untuk pergi begitu bergelora. Bercampur lamunan lamunan indah.. Hidup memang begitu keras saat itu. Saya harus bangun setiap pagi jam empat. Memerah susu. Kemudian jam enam pagi sudah harus berangkat sekolah jalan kaki. Pulang sekolah juga harus mengurus sapi sapi itu kembali. Masih ada banyak binatang piaraan yang lain, kambing, kuda, ayam dan burung. Meskipun ada pekerja, tetapi kami bersaudara selalu harus terjun mengawasi. Kami punya perusahaan pemerahan susu di desa. Tak pernah memelihara kerbau. Nggak tahu kesan terhadap kerbau selalu negatip. Di antara kerasnya hidup sehari hari, hanya lamunan itulah pelarian yang indah dan mengasyikkan. Dengan pertanyaan, siapakah aku dan apa yang ingin saya gapai dalam hidup ini.

Beberapa tahun kemudian, pertanyaan serupa juga sering hinggap di benak saat kuliah di fakultas Kedokteran, di Mangkubumen Yogyakarta. Kebetulan seorang guru besar yang kami banggakan juga suka cerita. Kadang membual. Ceritanya selalu dimulai dengan kata kata "Saya ini". Setiap pulang dari luar negeri selalu cerita. "Saya ini minggu kemarin ke Hawai. Ada konperensi". Pernah saya ceritakan, adik kelas saya Narko pernah disuruh keluar dari kelas. Baru sang guru besar mulai bicara "Saya ini", Narko teriak dari belakang "Si Gembala Sapi". Berang benar guru besar itu. "Keluar kamu, anak kampung. Sana pergi ke Sentolo saja". Kesulitan kesulitan semasa kuliah selalu menghantui. Tetapi mendengar cerita sang guru besar tadi, selalu membesarkan hati. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Kami selalu terpukau mendengar ceritanya. Walau beberapa mungkin sedikit membual. Tetapi itulah yang memompa semangat saya. Mencari apa yangakan saya gapai dalam hidup ini.

Di tahun delapan puluh saya mendapat kesempatan tugas belajar di Newcastle, UK dengan beaya Rockefeller Foundation. Menyelesaikan program doktor. Kembali ke Indonesia tahun 1983, dan bertugas sebagai dosen. Merambat dari bawah. Beberapa kali saya sempat berbincang dengan sang guru besar senior tadi. Gaya bicaranya tak pernah berubah. Selalu menggugah semangat anak muda untuk berpacu ke depan. Di akhir tahun delapan puluhan, saya masih ingat pembicaraan terakhir ketika beliau dirawat di rumah sakit. Beberapa minggu sebelum meninggal. "Ki saya sudah tua. Pengin istirahat dan hidup tenang. Saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan dalam hidup ini. Saya merasa tenang jika orang mengingatnya."

Ketika menjadi dosen senior, terutama saat terlibat dalam program doktor, saya banyak belajar tentang pertanyaan Siapakah aku ini?. Apa yang saya tuju dalam hidup ini ? Tak jarang mereka mereka yang diberi kewenangan akademis begitu besar untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang calon, begitu terbuai dengan ungkapan Siapakah Aku ? Ini lho aku yang berkewenangan besar. Menentukan nasib anda. Menentukan lulus atau tidak. Menentukan perjalanan karier anda di masa depan. Jika ada calon yang menjawab keliru dalam ujian lisan, tidak hanya disanggah, kalau perlu di cerca sampai terjatuh terbirit birit. Mungkin manusiawi. Orang kadang kadang begitu mengagumi diri sendiri. Siapa aku ini?
Sampai almarhum Gepeng almarhum, tokoh komedi Srimulat itu, terkenal dengan kata sindiran "Untung Ada Saya".

Dalam kewenangan dan kekuasaan luar biasa orang gampang terlupa "Siapakah aku ini"?. Banyak contoh di sekitar kita. Ada anggota DPR lupa, siapa dia. Harusnya menggodok undang undang kok malah buat foto mesum. Memangnya bintang film porno?. Guru yang seharusnya mendidik dan melindungi muridnya kok malah mencabuli siswi yang masih di bawah umur. Lupa siapa sebenarnya dia. Ada pejabat publik yang top di Republik ini, lupa diri siapa dia, malah colek mencolek dengan caddy cantik di kamar hotel. Edan ya memang enak sih colek mencolek. Apalagi kalau bukan sama nyonya. Nyolek isteri sendiri kadang kadang malah bisa digampar pakai bantal. Jangan ganggu orang tidur. Siapa salah mencolek caddy. Alasan sih bisa dibuat. Operasi intelijen. Intelijen kok malah nyoleki wanita caddy. Enak dhong.

Siapakah aku ini ? Dalam masa masa tua ini, jika pertanyaan itu datang dalam lamunan, saya hanya menjawab pasrah. Sederhana sekali. Saya bukan siapa siapa. Hanya pelanglang dunia maya. Menjelajah dunia tak bertepi, tak berbatas. Menembus langit melanglang dunia. Menyapa siapa saja yang bertemu dalam perjalanan maya itu. Mungkin meninggalkan catatan kecil. Asal terbaca oleh mereka yang berkelana. Jika masih ada waktu suatu saat mungkin membuat catatan tentang sesuatu. Tentang makna hidup dan perjalanan hidup. Tentang cinta dan kedamaian.

Ki Ageng Similikithi.

6 comments:

paromo suko said...

.....Saya bukan siapa siapa. Hanya pelanglang dunia maya. Menjelajah dunia tak bertepi, tak berbatas.....

Ki,
si Jambul kecil yang berdiri di lereng bukit Kendali Sodo sudah berjalan mengelilingi batas-batas cakrawala, dan yang ada sekarang adalah ki Ageng Similikithi yang sedang melajutkan kembaranya ke seluruh sudut dunia maya

saya berharap ada di salah satu tepinya, untuk dapat ikut merekam jejak perjalanan waktu andika Ki,
perkenankan.

Ki Ageng Similikithi said...

Matur nuwun Kanjeng Romo. Mugi mugi tansah kaparingan kasarasan saged ngulondoro ing jagad moyo.

Setiap saya menjelajah dunia maya, ingatan saya melayang ke masa kecil, masa anak anak. Saya membayangkan menjelajah langit melihat dunia. Lha kok sekarang bisa melihat dan berkomukasi langsung di manapun manusia berada. Moga moga anak cucu kita bisa menyalurkan imaginasi dan cita2 menjelajah dunia mulai lewat dunia maya.
Terima kasih

eyang bethoro said...

kali ini AKI melayang lagi kebukit ambarawa nun jauh disana yang membawa memory2 indah yg tak mungkin terulang kembali.
saya ikut terhanyut ki dan saya teringat 41 th yl saya menelusuri jalan ambarawa salatiga via banyubiru dengan sepeda fongres. asuik juga, sebuah kenangan yang tak terlupakan.
salam.

Ki Ageng Similikithi said...

Eyang Bethoro, Saya kembali ke Gunung Kendalisodho ada 2 kali. Pertama sesudah kawin dan isteri saya sedang hamil di tahun 1976. Kemudian di akhir delepan puluhan sama anak anak saya. Kebetulan masih lengkap waktu itu. Saya tak kuasa lagi ke sana. Pasti ingat anak saya Moko yang telah pergi. Dia memeluk saya waktu itu di sana, dia masih umur 10 tahun kurang. Tak menyangka umurnya begitu pendek

eyang bethoro said...

ikhlas Ki.. ananda telah tenang disana. ananda Anak yang manis.. belum punya dosa. Insyaallah ananda dalam pelukan Allah Swt.
kita bersiap2, hanya dengan bekal yang cukup kita akan berjumpa dengan mereka..si burung2 kecil yang telah mendahului kita.

Ki Ageng Similikithi said...

Matur nuwun Eyang Bethoro. Rasanya masih sering terbawa perasaan ini. Salam damai