Monday, February 23, 2009

Angrek lila


Ada angrek berbunga warna lila, di depan pintu belakang rumah saya di Yogya. Saya tak pernah memperhatikan bunga bunga itu. NYI pasti yang menggantung bunga bunga di tembok yang dilapisi batu kali. Juga tak tahu sejak kapan bunga bunga itu menghiasi dinding. Saya memang tak begitu mengagumi bunga angrek sejak dulu. Namun kali ini ada kesan lain. NYI tidak berada di rumah. Sudah beberapa minggu di Muskat, Oman. Saya pulang ke Yogya dan Ambarawa untuk menghadiri pesta perkawinan kemenakan, Agung.

Ketika duduk di depan komputer, perhatian saya selalu tertuju ke bunga bunga warna lila itu. Pikiran saya melayang ke NYI. Sudah terbiasa berpisah, bahkan berbulan bulan, sejak muda dulu. Selalu berjalan mulus tanpa beban yang menekan. Namun ketika melihat bunga angrek lila itu saya merasa seolah sendirian. Tanpa NYI. Ada ketakutan menyelinap. Kegelisahan seandainya terjadi apa apa, entah saya atau NYI, saya ingin bersamanya di akhir perjalanan fana ini. Angrek lila itu seolah mengingatkan umur sudah memasuki masa senja. Walau selalu berharap ingin hidup selama mungkin, manusia tak tahu apa yang mungkin terjadi sewaktu waktu.

Tak ada masalah kesehatan yang berarti. NYI sudah beberapa lama di diagnosis menderita glaukoma. Tekanan bola mata meninggi. Dalam pengobatan dan kondisi terkendali. Saya rutin menggunakan obat penurun tekanan darah. Tekanan darah meninggi tingkat ringan kadang kadang tingkat sedang. Tetapi kekhawatiran selalu menyelinap. Bunga lila itu seolah mengingatkan kembali agar selalu bersama setiap saat. Kami masih ingin pergi bersama. NYI ingin ke Washington, ke Australia. Saya pernah berjanji mengajaknya mengunjungi Kandy di Srilangka, Guilin di China. Saya pernah bercita cita ingin mengunjungi Budapest. Masih ingat pesan teman Bapak saya dulu yang menjadi duta besar di Hungaria. "Anak muda datanglah ke Budapest. Di sana orang bisa banyak belajar". Saya ingin menyempatkan mengunjungi Budapest. Juga ingin mengunjungi Iguazu, air terjun di perbatasan Brasilia dan Argentina. Tony Smith, guru besar emeritus di Newcastle Australia, cerita tentang kunjungannya ke Iguazu, sewaktu kami sama sama di Buenos Aires di tahun 1996. Tak juga tahu masih berapa lama akan kuat menempuh perjalanan perjalanan jauh.

Bunga lila itu seolah mengingatkan saya. Jika sampai waktunya, saya ingin ditemani isteri dan anak anak saya. Saya ingin dekat di antara mereka, orang orang yang saya cintai sampai akhir hayat saya. Mungkin masih puluhan tahun ke depan. Moga moga saja. Tetapi kekhawatiran selalu datang. Dan memang saya selalu siap setiap saat jika sang Kala akan tiba. Semenjak kehilangan anak yang saya cintai, Moko, saya selalu siap untuk pergi sewaktu waktu. Saya sering tak mengerti mengapa ada orang takut mati. Apa yang perlu ditakuti. Hanya pergi ke ketiadaan. Atau kembali ke alam kelanggengan.

4 comments:

Anonymous said...

Ki.. takut.. sangunya belum banyak. disana harus memberi pertanggung jawaban yg sangat berat atas kelakuan2 disini.
Wah gak bisa mbayangkan.
Belum lagi meniti jembatan sirotol mustakim yg selembut benang dibelah tujuh dan setajam silet pisau cukur diatas api menyala2 bak lava gunung merapi.
Jadi aku termasuk yg takut ki.

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Anonymous said...

Ki....saya tersentuh membaca artikel ini. Mungkin usia saya memang belum 40, dan belum ada penyakit serius yang terdeteksi (kecuali jerawat, panu kadar dan kurap...hik hik hik) tapi siapa sih yang tau kapan kita mesti meninggalkan semua yang kita cintai? Kalau saya ingat2, ketika muda dan belum berkeluarga dulu kok gak ada ya rasa takut semacam ini? Sekarang saya terkadang merasa khawatir harus meninggalkan anak2 tumbuh tanpa ibu...hikz.... Matur nuwun atas artikel yang mencerahkan...mengingatkan saya bahwa masih buaaanyak yang harus saya benahi di sisa waktu yang sedikit... Salam hangat selalu dari Indonesia, kagem Ki dan Nyi tersayang...

Ki Ageng Similikithi said...

Bethoro Indro dan Jeng Ami,
Hidup hanyalah menjalani perjalanan panjang menyusur waktu. Di akhir perjalanan Sang Waktu (Bethara Kala) menunggu. Saya selalu pasrah dan siap setiap waktu. Tugas tugas sudah saya selesaikan. Saya ingin menemani anak saya Moko yang saya belum puas memeluknya sepanjang hidupnya yang begitu singkat. Hanya pasrah. Tak ada keinginan apa apa. Salam