Sunday, January 6, 2008

Bunuh diri di Gunung Kidul dan mitos pulung gantung?

Sambil terisak, beberapa perempuan berkerudung yang sebagian besar berusia setengah baya itu memandikan jenazah EA (17) yang terbujur kaku, di dalam sebuah bilik khusus berdinding dari bentangan empat lembar kain batik. Puluhan pelayat yang datang sejak tengah hari, juga masih setia menunggu. Mereka duduk menyebar, ada yang di bawah tenda, pepohonan, dan kayu-kayu rangka bekas rumah yang rusak oleh gempa bumi 27 Mei 2006. Di salah satu sudut pekarangan yang lain, sebagian lelaki sibuk mempersiapkan segala peralatan untuk pemakaman. Suasana duka begitu terasa di rumah Karto tumiran (80-an), warga Dusun Pugeran, Patuk, Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta, Sabtu (30/6) sore.Lantunan ayat suci yang terdengar dari sebuah pemutar tape memecahkan kesunyian kawasan pegunungan yang berjarak sekitar 17 kilometer arah timur Kota Yogyakarta. Kabar meninggalnya EA, siswi kelas II sebuah SMK negeri di Kota Yogyakarta, cukup menggemparkan. Tubuh gadis itu ditemukan kakeknya, Karto Tumiran, sekitar pukul 10.00, dalam keadaan tergantung pada kerangka pintu rumahnya
(http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/02/utama/3646390.htm).

Tulisan di atas adalah cuplikan berita yang dimuat di harian Kompas di pertengahan tahun 2007. Sebagai berita mungkin sudah basi. Tetapi masalah bunuh diri di kabupaten Gunung Kidul tak akan pernah basi. Masalah terjadinya kasus bunuh diri yang sering terjadi berurutan di daerah Gunung Kidul, sudah di ketahui sejak beberapa puluh lalu. Menyisakan banyak misteri, banyak pertanyaan untuk kalangan profesi dan ilmiah, dan meninggalkan kesedihan untuk keluarga yang ditinggal. Angka kejadian bunuh diri di kabupaten Gunung Kidul sebesar 9 per 100 000 penduduk per tahun, jauh lebih tinggi dari kejadian di Jakarta yang hanya kurang dari 2 per 100 000 per tahun. Yang lebih menyedihkan, di tahun tahun terakhir peristiwa bunuh diri ini banyak mengenai anak anak sekolah, seperti gadis EA cucu dari mBah Karto Tumiran tadi. Wanita yang saya ceritakan dalam tulisan saya yang lalu, melakukan bunuh diri karena depresi sesudah persalinan dan kehilangan bayi yang baru dilahirkannya.

Apa sebenarnya yang terjadi ? Jelas bunuh diri merupakan fenomena yang sangat kompleks yang melibatkan banyak faktor penyebab, termasuk faktor psikologis, biologis, sosio kultural. Saya tak berpretensi sebagai ahli antropologi atau ahli psikologi/psikiatri yang mempunyai kompetensi menganalisis masalah ini secara tuntas. Saya hanya ingin mengingatkan kembali mengenai masalah bunuh diri, dan perlunya upaya pencegahan, terlebih di Gunung Kidul. Diperlukan analisis yang mendalam mengenai faktor faktor yang berperan dan diperlukan pengembangan program yang komprehensif untuk mencegah kejadian bunuh diri. Selama puluhan tahun masalah bunuh diri di Gunung Kidul ini telah menjadi bahan diskusi dan analisis. Seharusnya kejadian ini dapat ditekan serendah rendahnya.

Di masa lalu di kalangan masyarakat Gunung Kidul, terutama yang tinggal di pedesaan, ada mitos pulung gantung. Pulung artinya wahyu. Di waktu malam hari masyarakat sering melihat sinar merah yang bergerak di atas bukit yang kemudian akan turun di salah satu rumah penduduk. Banyak anggota masyarakat yang masih percaya bahwa penghuni rumah yang kejatuhan pulung gantung, dia ditakdirkan untuk meninggal dengan cara menggantung diri. Jika salah satu penghuni rumah tadi percaya akan mitos ini atau jiwanya dalam keadaan tidak stabil, maka dengan serta merta dia akan melakukan bunuh diri oleh karena percaya bahwa ini sudah menjadi takdirnya.

Jika warna sinar tadi kebiruan maka dipercaya bahwa yang kejatuhan akan mendapatkan wahyu, misalnya dapat lotere, kepilih PILKADA, dan sebagainya. Mitos ketiban wahyu (kejatuhan wahyu) yang ditandai dengan jatuhnya sinar dari angkasa di atap rumah memang dikenal dalam kepercayaan Jawa. Tetapi umumnya bersifat positip, tanpa membedakan warna sinarnya. Di Gunung Kidul, mitos ini agak lebih canggih, kalau warna biru kehijauan, wahyu positip. Kalau warna merah, suratan takdir untuk bunuh diri. Ya kalau mau percaya mitos sebenarnya nggak perlu yang canggih2. Terima saja apa adanya, apapun warna sinar yang jatuh, anggap itu wahyu.

Saya sendiri pernah melihat dengan mata kepala sendiri akan adanya sinar ini, sewaktu praktek ko asistensi kesehatan masyarakat di Mangunan, Gunung Kidul. Sinar warna kebiruan itu hanya berjarak kira kira dua tiga ratus meter dan nampak jelas di atas bukit. Cuma statis dan tak bergerak, besarnya tak sampai sebesar bola sepak. Kesan saya ini adalah fenomena alam biasa, suatu fenomena fisika atau biologis. Tak tahu pastinya. Mungkin kumpulan gas metana, mungkin binatang yang mengandung fosfor.

Di Ambarawa di tahun enam puluhan, saya pernah melihat ulat hidup sebesar ibu jari tangan, yang dari jarak seratus meter di malam hari nampak memancarkan sinar kebiruan yang amat tajam. Binatang itu pasti mengandung fosfor seperti halnya kunang kunang. Di malam hari kotoran sapi yang dibakar kadang menampakkan sinar kebiruan karena gas metana. Saya mengenal fenomena gas metana ini di Ambarawa dan di Beringin di tempat kakek saya. Bau kotoran sapi yang mengeluarkan metana kadang2 tercium dari jauh, sebelum kita memasuki desa. Baunya sangat khas dan agak harum adiktif.

Banyak kalangan yang juga menyangsikan fenomena pulung gantung ini sebagai penyebab bunuh diri. Dalam analisisnya seorang peneliti dari UGM menyimpulkan bahwa kasus kasus bunuh diri di Gunung Kidul lebih erat berkaitan dengan kemiskinan, kekeringan dan kesulitan hidup sehari hari. Kasus kasus bunuh diri lebih banyak terjadi di daerah daerah yang sangat kering, miskin dan sulit. Di tahun enam puluhan Gunung Kidul memang terkenal tandus dan rawan kelaparan. Tetapi perbaikan ekonomi selama beberapa tahun terakhir ternyata tak juga mampu mencegah kejadian bunuh diri. Masih banyak faktor psikologi dan psikiatrik yang tak membaik hanya semata mata dengan perbaikan ekonomi.

Apapun penyebabnya perlu dikembangkan program pencegahan. Sebagian besar pelaku bunuh diri juga menderita masalah psikiatrik depresi yang mudah dikenali oleh keluarga dan lingkungannya. Dan sebagian besar pelaku bunuh diri pernah menyatakan hasrat untuk bunuh diri atau menunjukkan gejala yang gampang dikenali sebelum melakukan bunuh diri. Orang orang seperti ini, juga termasuk yang percaya mitos pulung gantung tadi perlu mendapatkan pendampingan secara psikologis dari lingkungannya. Jika merasa kejatuhan pulung gantung, yang bersangkutan perlu diyakinkan bahwa itu adalah fenomena alam biasa dan tak menakdirkan yang bersangkutan untuk bunuh diri. Jika ada yang menderita mania luar biasa yang tak wajar, percaya akan dipilih jadi bupati setelah melihat sinar kebiruan di kandang sapi, katakan saja itu sinar dari metana tahi sapi bukan wahyu untuk jadi bupati. Jagi bupati tak cukup bermodalkan wahyu dari tahi sapi.

Pendidikan terhadap masyarakat akan kesehatan mental juga memegang peran penting, terutama untuk guru guru, jika target intervensinya adalah anak anak sekolah. Sering tindakan guru menyebabkan stress yang berlebihan pada anak didik. Banyak kebiasaan yang nggak pas sering dijumpai di kalangan masyarakat. Kalau ada anggota keluarga yang menderita depresi, sering cepat cepat dinikahkan supaya sembuh. Padahal dalam banyak hal, perkawinan kadang malah menambah depresi.

Sekali lagi tulisan saya hanyalah menggugah akan masalah bunuh diri, terutama di Gunung Kidul. Mungkin ada Kokiers yang ahli psikiatri yang mau nyumbang tulisan.

Salam sejahtera moga moga dapat wahyu di tahun baru.

Ki Ageng Similikithi

(dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 2 Januari 2008)

2 comments:

Indro Saswanto said...

Wah ....... kalau dapat WAHYUningsih bisa repot Ki ......
Salah2 malah ketiban pulung gantung.....?!!

Ki Ageng Similikithi said...

Ketiban atau nibani itu hanya masalah hikmah atau nasib. Perlu disyukuri cak