Monday, January 28, 2008

Untaian mawar merah

Jam menunjukkan hampir pukul 11 malam ketika kami sampai di rumah. Malam Minggu. Beberapa untaian mawar merah kami bawa pulang. Kenangan kami menerawang bersama mawar warna merah kelam itu. Warna sendu. Nyi sibuk mencari vas bunga warna putih yang dibeli beberapa waktu lalu. Untaian untaian mawar itu akhirnya tersusun rapi. Di meja di ujung ruangan. Hening membisu. Merah kelam. Ada beberapa warna putih di antaranya. Saya tak tahu apa nama bunga warna putih itu. Namun warna merah kelam itu begitu dominan. Kesunyian yang dalam membawa angan kami menerawang bersamanya.

Kami barusan keluar tadi jam sembilan. Berjalan menikmati udara malam. Melihat langit dan bintang. Menelusuri Roxas Boullevard, Macapagal Avenue, melewati Asia Mall yang megah dan sibuk. Pulang lewat Aristocrat, di taman Rajah Suleiman. Banyak orang berlalu lalang, berkumpul menikmati udara malam. Restoran Aristocrat masih nampak penuh manusia. Banyak turis nampak berjalan kaki di trotoir di muka taman. Beberapa kereta kuda nampak berbaris. Saya selalu berhati hati lewat daerah ini. Nampak asri tetapi kadang mencelakakan. Seekor kuda binal pernah meloncat ke atas kap mobil saya. Untung di bayar asuransi.

Saya harus memperlambat mobil dan berhenti menunggu ketika sekelompok turis tawar menawar dengan seorang anak penjual bunga. Mereka menutup simpang jalan. Saya hanya bersabar dan berpikir mengapa mereka nggak menepi. Kelompok turis berlima itu berlalu meninggalkan anak kecil yang terperangah di persimpangan jalan. Transaksi kelihatannya gagal. Hati saya berdesir ketika anak lelaki umur kira2 sepuluh tahun itu membalik ke arah kami. Wajahnya begitu mirip almarhum. Waktu berlalu begitu cepat. Ketika saya berbelok ke kanan, sebuah kereta kuda menerjang si anak malang penjual bunga itu. NYI menjerit lirih. Saya melihat wajah anak itu sekali lagi. Dia bangun dengan wajah sangat terkejut. Untaian untaian mawar itu terserak di persimpangan jalan.

Kelompok turis itu hanya berlalu, tak berusaha menolong. Tukang kereta juga tak berusaha turun. Si anak susah payah mengumpulkan kembali untaian untaian bunga yang terserak. Saya membelokkan mobil ke kanan mencari ruang parkir. NYI bilang pelan, wajahnya seperti almarhum Moko. Saya terdiam. Saya tak berani mengatakannya. Membuka luka lama dan rasa rindu yang mendalam. Akhirnya kami berusaha melihat anak itu kembali. Sesudah memarkir mobil dengan aman, kami berjalan ke simpang jalan. Persimpangan celaka, dimana dulu mobil saya juga dipecundangi seekor kuda binal.

Simpang jalan itu sudah kembali normal. Kendaraan lalu lalang seperti biasa hari Sabtu malam. Orang berjalan menikmati hawa dingin malam hari. Kami tanyakan di mana anak penjual bunga yang ketabrak kereta kuda tadi ? Tak ada yang menjawab. Seolah peristiwa kecelakaan itu sudah menjadi bagian hidup keseharian di persimpangan jalan itu. Anak anak berjualan di simpang jalan. Mengharapkan sesuatu untuk membantu orang tuanya. Bencana dan keberuntungan seolah menyatu dalam nasib dan jiwa. Mereka hanya sekedar mengikuti perjalanan waktu. Mencoba untuk bertahan hari itu.
Akhirnya kami menemukan anak kecil itu. Umurnya mungkin antara sepuluh sampai dua belas tahun. Perawakan agak tinggi agak gemuk. Matanya seolah begitu lekat dalam ingatan kami. Kami berusaha menahan perasaan.

“Berapa untaian mawarmu anak muda ? Dia menjawab dengan penuh harap, matanya berbinar. Saya berkesan ada harapan dan keraguan di matanya. Mencoba meyakinkan kami. “Saya punya banyak untaian mawar segar tuan. Silahkan mau ambil berapa”. NYI mengambil semua untaian mawar merah yang dia punya. Ketika NYI memberikan uang untuk membayarnya, dia berkata “Saya tak punya uang kembalinya”. NYI menyahut singkat “ Itu untuk anda”. Saya menukas “ Hati hati di persimpangan jalan. Di sini berbahaya”. “ Terima kasih sekali Mom & Tuan”.

Kami cepat beranjak dari tempat itu. Masuk ke restoran Aristocrat. Penginnya cuma minum kopi. Tetapi malah pesen Halo Halo, es teller campur khas Filipina. Kami bicara lirih. Angan angan kami melayang dalam kerinduan yang dalam. Kerinduan masa masa indah bersamanya. Waktu telah berjalan. Sampai nanti di akhir perjalanan waktu, kenangan indah itu akan tetap berada di hati kami masing masing. NYI sembahyang tahajud sementara saya menulis catatan ini.

Untaian mawar merah. Sampaikan salam dan kasih sayang kami kepadanya. Dimanapun dia berada. Di alam yang tak berbatas waktu. Hanya doa, cinta dan kerinduan kami yang selalu menemuinya. Bukan pula kesedihan yang kami sebarkan. Kami mengenangnya setiap waktu, saat saat indah bersamanya yang telah lama berlalu.

Salam mawar merah.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 28 Januari 2008)

No comments: