Friday, January 18, 2008

Kutunggu kau di kaki bukit

Menjelang musim kering di tahun 1973. Hampir petang ketika mereka tiba di dusun itu. Matahari meredup. Sinar keemasan memantul dari permukaan bengawan. Dusun itu terletak di tepi bengawan. Senyap. Hanya suara hewan yang kadang terdengar. Suara lembu melenguh di kandang. Anak anak kambing mengembik mencari induknya. Bau kotoran sapi dan rumput yang dibakar menyebarkan aroma khas pedesaan. Angin bertiup lembut. Sepi dan damai.

Mereka datang bertiga. Bambang, Andi dan Maslan. Di dusun itu mereka harus menyelesaikan tugas lapangan. Tak bisa dihindari untuk syarat tugas akhir sebelum lulus. Mereka tiba di dusun itu naik ojek dari Sragen. Berangkat dari Yogya pagi harinya, naik bis. Tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Jalan berbatu di daerah perbukitan memang tak memberi suasana akrab kepada siapa saja yang datang. Juga dusun itu begitu senyap dan acuh. Seolah berkata jangan ganggu kami. Biarlah semuanya berlalu senyap seperti apa adanya. Tukang ojek mengantar mereka ke rumah tua di ujung desa.

“Mas sampeyan akan tinggal bersama di rumah Bu Manten ?”, tanya salah seorang tukang ojek.

Bambang mengangguk ringan. Tak ada obrolan lebih lanjut. Rumah tua itu berhalaman luas. Ada beberapa pohon nangka yang rindang di halaman. Salah satu tukang ojek, Kelik ternyata putra Bu Manten, si empunya rumah tua. Umur Kelik sekitar tujuh belas tahun. Masih sekolah di salah satu SMA swasta. Pagi sekolah, sore narik ojek. Nampak sangat pendiam. Terkesan sangat enggan bicara.

Mereka disambut Bu Manten. Dingin dan tak banyak bicara. Wajahnya pucat. Usianya kurang lebih separoh baya, belum nampak tua benar. Ada pendapa luas di depan rumah induk. Ada beberapa ruang di samping kiri rumah induk. Mereka tinggal di kamar di samping pendapa itu. Kamar sederhana khas rumah pedesaan. Tetapi terawat bersih. Selama tiga minggu harus tinggal di kamar itu. Sumur dan kamar mandi terletak di belakang, di bawah pohon beringin yang rindang.

Hari hari berikutnya mereka langsung terlibat kegiatan tugas lapangan. Ada berbagai proyek dan kegiatan yang harus dilakukan. Penyuluhan, kerja bakti, kunjungan rumah ke rumah, pertemuan warga, membantu warga menata jalan desa dan masih banyak lagi. Tak ada waktu yang terluang. Kesempatan duduk bersama hanya di sore hari. Di rumah pondokan rumah tua Bu Manten. Malam sering harus mengikuti pertemuan dan rapat warga.

Hari berganti hari, waktu berlalu cepat. Tak ada yang istimewa. Suatu malam Bambang mendengar Kelik mengigau dalam tidurnya. Dia tidur di kamar seberang di rumah induk. Semula biasa saja seperti orang mengigau. Menggumam pelan. Tetapi lama lama semakin jelas berkepanjangan. Selang seling dengan tangis dan jeritan memanggil seseorang. Berlangsung beberapa menit. Kemudian kembali senyap. Ternyata Kelik tak hanya sekali itu mengigau dalam tidurnya. Dia sering sekali mengigau berkepanjangan dalam tidurnya.

Bambang pernah menanyakan ke Kelik, tentang mimpinya. Tak memperoleh jawaban. Bu Manten hanya mengatakan, Kelik memang punya kebiasaan mimpi buruk sejak enam tahun lalu. Bambang, Adi dan Maslan mula mula merasa terganggu ketika malam malam Kelik mengigau berkepanjangan. Kadang begitu jelas seolah Kelik bicara dengan seseorang.

“Kakang, kau bilang kan, akan menungguku di gardu di kaki bukit itu. Mengapa kau pergi ? Mengapa tak mau menungguku ?”” Gumam Kelik bercampur rintihan tangis.

Suaranya sendiri menjawab. “ Dhi, kau menunggu ibu. Itu pesan bapak. Saya pergi menemani bapak”.

“ Ibu tak apa apa. Saya boleh menyusulmu Kang. Tetapi kau tak mau menungguku. Kau tak ada di gardu. Kau pergi tak menungguku. Juga bapak”

“ Dhi saya tak meninggalkanmu. Saya menemani bapak. Kasihan Bapak kan. Kita berbagi tugas ya”.

“ Sakit ya Kang ? Takut ya ? Mengapa sampai hati mereka menyakitimu ?

“ Tak ada yang sakit. Tak ada yang takut. Saya pergi bersama bapak. Jangan menangis Dhi. Laki laki tak layak menangis”.

Di akhir igauannya biasanya Kelik selalu menangis sesenggrukan. Mula mula mereka bertiga selalu berusaha membangunkan dan menenangkannya. Tetapi sia sia. Bu Manten hanya akan memberi segelas air ke Kelik.

“Lik, tidurlah anakku. Besok harus sekolah”.

Hari hari berikutnya mereka terbiasa dengan igauan Kelik. Mereka seolah tak terganggu lagi. Tak juga berusaha menenangkan Kelik. Toh paling paling lima menit akan tenang kembali. Tidur kembali. Suatu petang mereka bertiga menjumpai Kelik di gardu. Di kaki bukit itu. Dia menangis sesenggrukan tak sadar diri. Seperti jika dia sedang mengigau dalam mimpi mimpi yang lalu. Mereka membimbing Kelik pulang ke rumah. Kejadian itu juga berulang beberapa kali.

Bambang, mahasiswa kedokteran . Dia hanya menyimpulkan bahwa Kelik mempunyai gangguan tidur. Gangguan mimpi. Biasalah manusia memang sering banyak mimpi. Dikuasai mimpi. Pendapatnya berubah total ketika di malam terakhir Bu Manten bercerita. Cerita tentang peristiwa yang menakutkan itu. Kejadian tujuh tahun sebelumnya yang seolah tak pernah hilang dari ingatannya.

Waktu itu suasana begitu mencekam sesudah peristiwa 1965. Banyak tetangga yang hilang tak pernah kembali. Pak Manten adalah ketua barisan tani yang menjadi anak organisasi kiri di desa itu. Bu Manten dan pak Manten selalu ketakutan. Jangan jangan akan ada rombongan tak diundang datang. Telah beberapa kali ada serombongan pemuda yang datang ke rumah mereka. Pak Manten dan Bu Manten selalu menyambut mereka dengan hangat dan menjamu sebagai tamu. Hampir semua anggota rombongan itu mereka kenal baik semua. Biasanya mereka akan segara pamitan kembali. Rupanya tak sampai hati mengambil pak Manten, mantan Lurah yang mereka segani

Sampai suatu sore ada rombongan lain. Pemuda dari lain desa dengan sekelompok aparat. Mereka datang dengan truk. Diantar pak Lurah. Dengan sigap kepala rombongan itu mengatakan bahwa pak Manten dipanggil komandan. Diajak ke balai desa di dusun sebelah. Bu Manten terduduk lemas. Kelik menangis tak tertahankan.

“Bapak mau dibawa kemana ? Saya ikut Bapak”

Kakak Kelik, Sardon mencoba memenangkan adiknya.

“Dhi, tak usah menangis. Kau tinggal di rumah. Kau temani ibu. Saya pergi menemani Bapak ya?”

“Kang, tunggu aku ya di gardu itu. Di kaki bukit itu. Jangan pergi lebih jauh”

“ Akan kutunggu kau di sana. Jangan menangis Dhi. Tak ada yang akan memisahkan kita. Kita tak akan berpisah”.

Kelik masih berumur lebih sepuluh tahun waktu itu. Masih manja baik ke orang tuanya, maupun ke kakaknya, Sardon. Sardon berumur empat belas tahun. Hubungan kakak beradik itu sangat rukun dan akrab. Ketika ibunya tenang kembali. Kelik berlari menyusul kakaknya yang pergi bersama rombongan itu. Gardu itu ternyata kosong. Tak ada siapa siapa. Para tetangga hanya terdiam tak ada yang menoba memberitahunya. Kelik menangis berkepanjangan memanggil-manggil bapak dan kakaknya. Mereka telah dibawa pergi. Seorang tetangga memberi tahu Kelik untuk pulang saja. Bapak dan kakaknya, Sardon ternyata tak dibawa ke balai desa. Tetapi dibawa ke arah bengawan. Kelik hanya meraung menangis berkepanjangan pulang ke rumah. Menemui ibunya yang terduduk lemas menangis di ruang tengah.

” Ibu mereka membawa Kakang dan bapak ke bengawan. Mengapa mereka sampai hati membawa ke sana Bu?

Mereka tak sanggup membayangkan apa yang terjadi. Bapak dan kakak Kelik tak pernah kembali sejak sore itu. Banyak orang hilang secara paksa di tepi bengawan itu. Mereka kehilangan orang yang dicintai secara paksa. Sejak peristiwa itu Kelik selalu mengigau dalam tidur, selalu menangis. Kadang duduk terpekur di tepi bengawan. Menatap air bengawan yang telah terkotori. Bukan hanya oleh cemaran lingkungan. Tetapi oleh darah, oleh kebuasan dan keberingasan. Kelik tak mampu menghilangkan ingatan mengerikan itu dari alam bawah sadarnya.

Esoknya Bambang, Adi dan Maslan berpamitan meninggalkan dusun itu. Bambang hanya bisa berpesan ke Kelik supaya bertahan. Sekolah terus membahagiakan ibunya. Kelik hanya mengangguk lemah. Matanya basah. Kata katanya sesak keluar.

“Saya hanya akan menemani ibu, Itu saja ”.

Bambang berpesan, dia juga punya tugas lain. Meskipun tugas menemani ibu nantinya akan selesai.

“Jangan hanya berhenti disitu. Masih ada tugas lain. Tugas untuk hidup terus. Tugas sebagai manusia”

Ketika mereka berjalan meninggalkan desa, matahari sangat cerah. Angin kepagian menyapu sejuk. Bambang berpikir, semua keindahan dan kedamaian ini hanyalah menutupi riwayat keberingasan dan kesedihan keluarga yang kehilangan.

Saya menutup tulisan ini sesudah terhenti beberapa minggu. Sangat berat mengungkap kisah yang disampaikan teman satu kelompok di bangku kuliah, Bambang. Dia pernah mengajukan kasus Kelik dalam diskusi di ko-skap psikiatri. Bambang juga telah mendahului pergi selamanya beberapa tahun lalu. Namun kisah kesedihan di tepi bengawan itu tak akan terkubur begitu saja dari ingatan saya. Pasti juga dari ingatan Kelik dan para keluarga korban. Saya sendiri tak pernah bertemu Kelik. Hanya mendengar dalam diskusi kasus dari almarhum Bambang.

Namun bengawan itu selalu marah sepanjang masa karena ulah manusia, Meninggalkan kutukan dan penderitaan banjir setiap musim hujan. Tercemar erosi, kotoran, darah dan kesedihan. Meskipun kita senantiasa mencoba menyanyikan lagu indah tentangnya “Bengawan Solo”.

Salam damai dan selamat tinggal kesedihan.

Ki Ageng Similikithi (bs2751950@yahoo.com)

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 17 Januari 2008)

2 comments:

Indro Saswanto said...

Tulisan anda yg terbaik diantara yg terbaik. Bahasanya indah lancar penuh makna m'buat pembaca larut didalamnya....
Sejarah pahit buat bangsa..
Semoga kedepan bangsa kita damai tidak gontok2an yg bisa membawa korban sia2..

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih Bung Indro. Salam hangat. Saya hanya ingin menceritakan kisah manusia. Bukan aliran politiknya. Kegagalan kita dalam keberingasan dan kebengisan ini, hanya melihatnya dari sisi aliran politik seseorang. Bukan melihatnya sebagai manusia. Alam meninggalkan kutukan berkepanjangan