Wednesday, December 26, 2007

Bulan Tertutup Selendang

Salam dari Yogya. Sudah dua hari ini di rumah. Akhir minggu lalu tiba di Jakarta, isirahat di rumah anak tiga malam. Sempat lihat lihat kebun raya Bogor dan taman Safari. Seumur umur belum pernah mengunjungi ke dua tempat itu. Sengaja saya minta dijemput sopir di Jakarta. Pengin jalan darat Jakarta Yogya. Mampir di Pekalongan sebentar. Nostalgia masa lalu. Banyak yang telah berubah. Dalam perjalanan Pekalongan ke Yogya lewat jalur Sukorejo Parakan, waktu telah menunjukkan lewat jam sepuluh malam. Jalan sempit naik turun antara Weleri Sukorejo. Mendung dan gelap gulita di luar. Nyi asyik tidur. Berkali kali saya mengingatkan sopir untuk hati hati. Jalannya sering terlalu kencang untuk jalan sempit berkelok kelok seperti itu. Tak ada bintang terlihat di atas sana.

Ingatan saya melayang ke masa masa tiga puluh tahun lalu. Di pertengahan tahun tujuh puluhan. Jalan di kegelapan malam seperti ini sering saya lakukan sewaktu pulang praktek dokter. Waktu itu baru beberapa waktu lulus dokter. Ijin praktek belum keluar. Masih menggantikan dokter senior lain yang tidak bisa melakukan praktek pribadi karena menjalani pendidikan spesialis. Salah satu yang saya gantikan adalah dokter yang prakteknya di daerah Gunung Kidul. Di antara perbukitan yang sepi di malam hari. Prakteknya dua hari sekali di daerah itu. Antara jam setengah enam sore sampai kira kira jam sembilan malam. Jika ada panggilan ke rumah pasien mau tak mau harus disanggupi. Jarak dari rumah kontrakan saya ( di Suryodiningratan) kira kira makan waktu hampir sejam naik skuter. Jika tak ada panggilan pasien, biasanya jam sepuluh malam pasti sudah sampai rumah. Jika ada panggilan pasien, sampai rumah biasanya lewat tengah malam.

Di hari hari lain, saya juga buka praktek, tetapi lebih dekat, sedikit di luar kota Yogya. Biasanya siang sampai di rumah dari kantor jam tiga siang. Jam empat atau setengah lima harus sudah berangkat lagi ke tempat praktek. Anak saya baru satu waktu itu, masih umur setahun lebih. Siang hari antara jam satu sampai jam tiga, kerja di poliklinik pabrik di Sleman. Dua kali seminggu. Rutin selama empat tahun. Tak mungkin mengandalkan gaji untuk mencukupi kebutuhan sehari hari. Di awal tahun delapan puluh saya harus berangkat ke UK untuk ambil program doktor. Pulang ke Yogya tahun delapan puluh tiga, tak pernah lagi sempat buka praktek pribadi.

Banyak pengalaman yang menarik selama menjalani praktek dokter. Yang ingin saya ceritakan hanyalah sepenggal pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Sehabis mengunjungi pasien di rumah mereka. Saya sendiri tak pernah tahu apa makna kisah itu.
Suatu malam, waktu hampir menunjukkan jam setengah sepuluh ketika pasien terakhir meninggalkan ruang praktek. Semua sudah terlayani dengan baik. Tak ada kasus aneh atau peristiwa istimewa. Saya sudah siap siap untuk pulang ketika perawat memberi tahu bahwa ada panggilan pasien. Dua orang pemuda mengatakan bahwa ayahnya sakit berat. Perut kesakitan luar biasa sejak siang hari. Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit atau ke klinik ? Nggak mungkin katanya karena nggak ada kendaraan. Untuk mbonceng sepeda, kondisinya nggak memungkinkan.

Rumahnya katanya nggak jauh, hanya menyeberangi tiga perbukitan. "Dekat kok, hanya dibalik bukit bukit itu". Tetapi perawat menjawab bahwa sudah kelewat malam. Perawat mengatakan, katanya desa itu berjarak kira kira sepuluh kilometer, naik turun bukit. "Kalau sempat ya besok saja di bawa ke sini. Kalau nggak di bawa ke rumah sakit". Namun melihat kekhawatiran di wajah ke dua pemuda itu, saya menyimpulkan kalau ayahnya benar benar memerlukan pertolongan malam itu juga. Akhirnya saya putuskan untuk mendatangi pasien itu. Perawat sengaja tak saya ajak oleh karena dia nampak sudah sangat kecapaian. Saya naik skuter mengikuti kedua pemuda naik sepeda. Tak bisa berjalan cepat. Sepeda harus dituntun jika menaiki bukit.

Cuaca cerah malam itu. Bulan bersinar temaram. Kami berjalan pelan di jalan sepi diantara perbukitan, tegalan dan semak belukar. Suara belalang malam menambah rasa sunyi yang mencekam. Akhirnya kami sampai di desa yang dituju. Hanya beberapa rumah, berjajar rapi di kaki sebuah bukit kecil. Tak ada listrik. Hanya lampu lampu minyak yang menerangi beranda rumah. Tak semua rumah memasang lampu penerangan. Listrik belum masuk desa waktu itu. Rumah pasien sangat sederhana di ujung jalan. Sewaktu saya masuk, beberapa orang duduk menunggu di ruang tengah, di amben (bhs Jawa, mungkin kata lainnya sofa) beralaskan tikar. Kepulan asap tembakau memenuhi ruangan, menambah sesak ruang berdinding bambu itu.

Saya mendapati pasien,seorang pria usia lanjut, yang sangat menderita, kesakitan hebat karena koliek. Saya lakukan wawancara dan pemeriksaan secara cermat. Kecurigaan saya adalah koliek usus, mungkin karena salah makan. Biasanya kasus seperti ini jika tidak ada riwayat syok anafilaksi saya berikan suntikan yang mengendorkan kontraksi dan mengurangi nyeri. Saya selalu menyiapkannya sebagai salah satu obat emergency. Pasien setuju diberi suntikan. Malah dia minta agar di suntik, oleh karena rasa mualnya sangat mengganggu jika harus minum obat. Saya berikan suntikan dosis penuh dan saya tunggu beberapa saat pengaruhnya. Tak ada lima belas menit kemudian, pesien sudah kentut dan merasa nyeri banyak berkurang. Saya minta untuk kontrol esok paginya ke rumah sakit dan saya berikan surat pengantar untuk pemeriksaan dan tindakan lebih lanjut. Paling tidak malam ini tak menderita nyeri dan bisa beristirahat.Tak banyak saya sempat bicara dengan keluarganya. Isterinya berjualan di pasar Piyungan. Kedua anak muda itu masih sekolah. Mereka mengantar sampai ke pinggir jalan sewaktu saya pulang. Tampak begitu lega dan berbahagia melihat suami dan ayahnya sudah membaik.

Waktu telah menunjukkan pukul sebelas lewat sewaktu saya meninggalkan rumah itu. Pelan pelan naik skuter ok jalan tak rata, permukaannya di tutup batu kali. Belum sempat mempercepat jalan skuter, di tikungan jalan ada seseorang menghentikan saya. "Dokter, sudah selesai ya ?" Saya memang pakai baju putih kalau praktek. Mungkin dia tahu kalau saya dokter. Saya berhenti tanpa mematikan mesin skuter. Seorang wanita muda, tak jelas roman mukanya. Nampak agak gugup dan gelisah.

"Dokter saya mohon pertolongannya ya dok. Anak saya satu satunya sudah tiga hari tidak mau makan. Kadang kadang kejang".

" Di mana rumahnya Bu ? Mengapa nggak dibawa ke Puskesmas ?
"Sudah ditangani sendiri sama mBah dukun di rumah. Belum ada perkembangan dok. Kejangnya semakin sering. Tolonglah anak saya ya dok"..

Hati saya tersentuh melihat kegetirannya. Tak ada alsan untuk menolak, walau malam telah larut. Saya hanya ingat Nyi sama anak saya di rumah. Saya merindukan mereka. Pasti sudah menunggu sejak tadi. Biarlah saya mengunjungi anak wanita tadi. Kalau toh terus pulang, sudah kelewat malam. Tak banyak beda dari sisi keterlambatan waktu. Tetapi banyak sekali artinya bagi pasien itu.

Wanita itu begitu bersemangat menaiki sepeda di depan, dan saya mengikutinya dari belakang. Kadang kadang dia bercerita tentang suaminya yang mengembara mencari nafkah di Jakarta. Saya tak banyak menghiraukan ceritanya. Kadang2 ceria, kadang2 nampak sedih dan khawatir.

"Gimana ya Dok, anak saya sembuh ya ?'
"Iya Bu, anak ibu semoga cepat membaik "

Selendangnya nampak melambai lambai tertiup angin malam. Bayangan wanita itu nampak tegar di atas sepeda, dalam cahanya bulan temaram. Bayangan saya seolah seperti wanita wanita perkasa diatas kuda dalam cerita. Tetapi dia hanyalah seorang ibu bersahaja yang sedang dirundung rasa khawatir karena anaknya yang sakit. Saya akan berusaha menolongnya. Hanya saya heran kok kuat sekali dia mengayuh sepeda naik turun bukit. Dua pemuda tadi selalu menuntun sepedanya di tanjakan. Ibu ini begitu tegar dan bersemangat. Seolah ingin cepat sampai membawa saya melihat anaknya. Saat menuruni bukit kedua, nampak di ujung jalan ada rumah. Hanya remang remang dalam bayangan sinar bulan. Ada lampu minyak di rumah itu. Beberapa puluh meter kea rah kiri dari rumah itu ada lampu petromaks menerangi sekelompok orang yang sedang main bola voli. Pikir saya hampir tengah malam mengapa mereka masih main voli ?

Kami hampir sampai di rumah itu. Wanita itu nampak menoleh kearah saya dan tersenyum lepas. "Terima kasih lho Dok mau datang ke rumah saya" Dia turun dari sepeda dan menyingkapkan selendangnya. Cepat cepat memasuki rumah. Tiba tiba seseorang datang mendekat. Nampaknya dia salah satu dari keompok yang main voli tadi. Saya terhenyak ketika dia mulai menyapa.

"Mengapa malam larut begini datang ke sini ?
"Saya dokter akan melihat pasien anak ibu yang naik sepeda tadi".
"Tak ada pasien di sini dok. Lebih baik kembali saja".
Beberapa temannya ikut mendatangi dan memberikan minuman air putih.

Pikiran saya agak jelas. Wanita itu tak nampak di antara mereka. Bayangan rumah itu ternyata sebuah komplek pemakaman kecil. Nampak senyap tak ada siapa siapa. Orang orang itu kembali lagi bermain voli. Saya terhenyak di depan pemakaman. Cepat cepat kembali naik skuter saya. Pikiran saya tak berhenti berpikir siapa wanita itu? Siapa yang main bola voli itu ? Di jalan beberapa kali saya bertanya ke orang yang sedang ronda arah jalan raya. Hampir sejam kemudian saya mencapai jalan besar. Saya melaju kea rah Yogya.

Sampai rumah sudah menjelang pagi. Nyi sudah tertidur. Makan malam sudah dingin. Tak ada napsu makan. Pikiran saya tertuju ke wanita tadi. Siapapun dia, dia pasti sangat sedih kehilangan anak bayinya. Kesedihan yang dibawa sampai mati. Di alam sana pun dia masih memikirkan anaknya yang sakit. Mengapa nasib begitu mendera tak kenal ampun.

Esok sorenya saya biasa datang ke praktek. Pasien koliek semalam ternyata datang duluan dan menjadi pasien pertama saya. Sudah sehat seperti sedia kala. Dia banyak cerita tentang penyakit2 di desanya. Katanya ada wanita muda yang bunuh diri menggantung dengan selendang beberapa waktu lalu. Dia baru saja melahirkan ditolong dukun. Beberapa hari sesudah lahir bayinya meninggal karena kejang kejang Pikiran saya ini pasti tetanus neonatorum, karena tali pusat di potong dukun dengan sembilu (bilahan bamboo yang tajam).

Wanita tadi begitu sedih dan murung selama berminggu minggu setelah kehilangan anaknya. Belum empat puluh hari kematian anaknya, dia bunuh diri di belakang rumahnya. Dengan selendang yang dipakai untuk menggendong bayinya sampai ke pemakaman. Mungkin dia menderita depresi paska kelahiran, yang sering tak terdiagnosa oleh pelayanan rutin. Tetapi bunuh diri kadang datang beruntun di daerah Gunung Kidul. Mungkin tertinggi di Indonesia Tak tahu sebab pastinya. Perlu banyak penelitian.

Apa pun sebabnya, saya selalu sedih mengingat wanita tadi. Mengingat wajahnya yang penuh gelisah dan rasa khawatir. Wajah yang penuh harap pertolongan dokter. Sayang semuanya terlambat. Kesedihan dan kedukaan kehilangan anak bayinya di bawa sampai ke alam sana. Ya Tuhan berikanlah dia kedamaian di alam sana bersama anak bayi yang sangat dicintainya.. Air mata saya menetes mengakhiri kisah yang sudah lama berlalu ini.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 26 Desember 2007)

No comments: