Wednesday, December 19, 2007

Gadis di jendela

Lebih empat pukuh tahun lalu. Gang Mawar di Solo Barat. Saya tinggal di ujung jalan. Setiap kali kulewati gang kecil yang teduh dengan banyak tanaman di halaman rumah sepanjang jalan. Entah berapa ribu kali aku melewati jalan berkerikil itu selama tiga setengah tahun. Banyak kenangan banyak cerita sepanjang jalan itu. Catatan ini hanya sekelumit kilasan peristiwa yang saya ingat.

Rumah indah bercat kuning di pertengahan antara rumahku dan ujung jalan. Ada dua pohon jambu air di depan rumah. Dua jendela menghadap ke jalan di samping pintu. Ada garasi di samping kanan. Tak ada yang sangat istimewa bagiku. Rumah rumah ditepi jalan itu selalu saya lewati, selalu saya pandang sekilas, tanpa diskriminasi. Semuanya sama. Penghuni penghuni yang ramah khas penduduk Solo.

Sampai satu saat sepulang sekolah ada sesuatu yang istimewa. Di jendela itu nampak seorang gadis berwajah tenang, memandang langit menikmati dunia. Hanya kesan sekilas yang menggoda pikiran. Hanya sesaat itu saja. Namun hari hari kemudian perhatian saya selalu tertuju ke rumah itu. Apakah dia akan bersandar tangan di jendela itu. Pertanyaan mengharap selalu datang kala melewati jalan sepi itu. Ada kalanya dia menatap dari jendela, kadang duduk di kursi di beranda. Ternyata ada dua bersaudara, kakak beradik. Keduanya gadis gadis yang nampak bahagia, cantik, ceria dan menarik.

Tak tahu siapa mereka. Tak ada nyali untuk menyapa. Dari seragam sekolahnya, mungkin mereka dari salah satu SMA di barat kota Solo dekat dengan SMA ku. Seragam biru putih. Kami tak pernah saling menyapa. Saya hanya mengangguk sopan jika melihat mereka di depan rumah. Ternyata nyali tak cukup kuat untuk berkenalan. Apa lagi bercerita tentang sekolah. Kadang saya melihat teman teman putrinya kumpul ramai di rumah itu selepas sekolah. Saya tak pernah melihatnya naik sepeda ke sekolah. Walau hati saya selalu mengharap sama sama naik sepeda. Akan saya sapa dan berjalan berjajar ke sekolah. Namun mereka tak pernah saya jumpai naik sepeda. Mungkin di antar jemput pakai mobil.

Saya juga tidak tahu persis orang tua kedua gadis itu. Nampaknya seorang petinggi kantor pemerintahan. Jika tidak mana mungkin ada mobil. Saya tak banyak kenalan di sekitar lingkunganya. Baru setahun di Solo dan kebanyakan teman sekolah saya tinggal di bagian timur dan selatan kota Solo. Satu saat saya bilang ke teman saya Diono dan Martalin mengenai gadis cantik yang selalu berada di jendela menatap langit. Mereka berdua begitu percaya diri akan mendatangi mereka untuk berkenalan. Tetapi saya tak juga mempunyai keberanian cukup untuk melakukannya.

Hanya menatap dan memberikan anggukan sopan jika dia berada di jendela itu. Hari hari berlalu, bulan berganti. Perkembangan tak banyak. Dari anggukan kepala berkembang melempar senyum dan melambaikan tangan. Gadis gadis yang bahagia. Menatap masa depan. Memandang dunia menatap langit lewat jendela. Semua orang akan mengalami masa masa bahagia mengukir masa depan seperti mereka.

Beberapa bulan kemudian saya tak melihat gadis itu di jendela. Berhari hari dan berminggu minggu lewat jalan itu hanya melihat jendela dan pintu yang tertutup. Rumah itu tidak kosong. Penghuninya masih tinggal. Saya merasa sangat kehilangan tak melihatnya di jendela. Tidak ada yang menerima lambaian tangan saya. Tak ada senyum yang bisa saya lihat. Malam malam pikiran saya selalu menerawang membayangkan wajah wajah ceria itu.

Beberapa bulan kemudian saya lihat rumah itu sering kedatangan tamu. Ada mobil parkir di situ sore sore atau malam hari. Namun jendela itu masih saja selalu tertutup. Gadis itu tak pernah nampak lagi menatap ke luar lewat jendela. Ada rasa kehilangan yang tak terungkap.

Suatu saat giliran ronda ada tetangga yang bercerita. Ayah kedua gadis itu diambil pihak kemananan. Diamankan entah dimana. Istilahnya memang manusiawi diamankan. Tetapi arti nyatanya ya ditahan dan direnggut kebebasan pribadinya. Masa masa itu adalah masa tanpa kepastian buat mereka yang menjadi atau dicurigai anggota partai kiri.

Kedua gadis itu pasti kehilangan ayahnya. Keluarga itu pasti kehilangan penyangganya. Pikiran saya selalu bertanya siapa tamu yang bergantian datang dan parkir mobil di rumah itu. Kadang sore hari kadang malam hari. Selalu saja berganti setiap hari. Kedua gadis itu tak lagi sempat menatap langit melihat dunia lewat jendela itu. Saya kehilangan wajahnya yang ceria di jendela. Tetapi kedua gadis itu lebih parah. Mereka kehilangan kasih sayang orang tuanya, kehilangan kemerdekaannya. Menerima tamu yang datang silih berganti hanya untuk bertahan.

Masa masa sesudah peristiwa tahun 1965 menyisakan penderitaan untuk banyak keluarga. Banyak anak kehilangan cinta kasih orang tua. Banyak gadis kehilangan kemerdekaan dan cita cita masa depan. Saya tidak pernah tahu apakah ayah kedua gadis itu kembali lagi. Sampai saya meninggalkan Solo di tahun 1968, jendela rumah itu tetap saja tertutup. Lamunan saya semoga mereka sempat kembali mengarungi perjalanan hidup dengan damai. Mungkin saat ini mereka menikmati kehadiran cucu cucunya walaupun dulu tak sempat lagi menatap langit lewat jendela. Mungkin.

Biarlah masa masa suram itu berlalu. Tak kembali lagi ke bumi pertiwi dan mendera kebahagiaan banyak keluarga dan anak anak muda.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 14 Desember 2007)

No comments: