Monday, December 10, 2007

Pelecehan seksual, perkosaan dan hukum proaktif

Pelecehan seksual, perkosaan dan hukum pro aktif

Salam sejahtera untuk semua. Beberapa hari tak sempat membuka Koki. Ada acara pertemuan yang begitu padat di Bangkok. Akhirnya akhir pekan ini kembali di Manila. Ada berita menarik yang disiarkan CNN, BBC atau Al Jazeera. Bukan berita besar, tetapi sempat menarik perhatian media dan kalangan internasional karena kontroversinya.

Berita tentang korban perkosaan di Arab Saudi yang malah mendapat hukuman tambahan dicambuk dua ratus kali. Tulisan ini tak bermaksud mendiskreditkan pihak manapun. Hanya ulasan awam semata. Saya bukan ahli hukum. Hanya berdasarkan atas rasa keadilan. Tak bisa dihindari di banyak negara penerapan hukum sering tak selaras dengan rasa keadilan. Terutama jika itu menimpa pihak yang tak berdaya di mata hukum.

Kembali ke berita kasus perkosaan di Saudi yang menggemparkan itu. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/7098480.stm). Wanita muda ini, tak disebutkan kewarganegaraannya, menjadi korban perkosaan oleh sekelompok pria yang menemukan dia bersama dengan kawan prianya dalam satu mobil. Keputusan pengadilan menghukum pelaku perkosaan. Tetapi si koban juga dijatuhi hukuman cambuk 90 kali, oleh karena melanggar hukum segregasi pria dan wanita, dan telah menimbulkan rangsangan syahwat terhadap pelaku sehingga perkosaan berlangsung. Berusaha naik banding, si korban malah mendapat tambahan hukuman menjadi 200 kali cambuk dan kurungan enam bulan. Alasannya karena membocorkan beritanya ke dunia luar. Penasehat hukumnya juga mengalami skorsing.

Di banyak negara berkembang hukum memang tak selalu akrab dan melindungi korban perkosaan dan pelecehan seksual. Sering korban pelecehan seksual dan perkosaan selalu dalam kesulitan berhadapan dengan prosedur hukum formal karena banyak hal. Dalam prosedur penyidikan dan pemeriksaan, tak jarang korban mengalami trauma karena proses yang sering harassing dan intrusive. Tetapi prosedur dan pertanyaan2 ini mungkin diperlukan untuk membuktikan bahwa memang terjadi peristiwa perkosaan dan bukan hubungan seksual atas kehendak bersama. Misalnya, apakah anda merasakan kenikmatan seksual sewaktu kejadian berlangsung ? Apakah vagina anda bereaksi berkontraksi sewaktu ada penetrasi ? Bagaimana pakaian anda waktu itu, apakah memakai pakaian yang merangsang ? Saya tak punya kompetensi untuk mempertanyakan penyidikan yang telah menjadi standard operating procedure.

Tetapi sulit menghindari kesan bahwa substansi hukum juga sering membedakan apakah korban berpenampilan, berpakaian, dan berperilaku yang bisa merangsang napsu pihak pelaku. Dengan kata lain, seolah korban perkosaan dipersalahkan jika dia sebelumnya telah berpenampilan, berperilaku atau berpakaian seronok dan meangsang napsu pelaku. Sebaiknya pelaku perkosaan atu pelecehan mendapat peluang keringanan atau excuse jika korban yang diperkosa atu dilecehkan, berperilaku, berpenampilan dan berpakaian seronok. Ini juga yang mungkin tidak membuat jera para pemerkosa atau pelaku pelecehan seksual.

Wanita yang berjalan sendirian di jalan, terutama di malam hari, tak jarang mengalami pelecehan dalam bentuk siulan siulan krang ajar, sampai colekan colekan yang merendahkan. Jika anda mengalami kejadian seperti ini, apakah anda berani lapor ke pihak keamanan ? Pasti ragu kan oleh karena bentuk pelecehan ini sudah dianggap hal yang biasa. Padahal dalam hukum pidana kita, orang bisa dihukum karena ‘’perbuatan yang tidak menyenangkan”.

Saya masih ingat di salah satu hotel di Almaty, Kazakhtan, dalam satu misi resmi salah satu anggota tim wanita dari Ukraina yang sangat jelita, ditawar oleh seseorang. How much I should spend if I want to sleep with you ? I have one hundred dollars. Teman wanita ini tak menanggapi, hanya menjawab acuh” That would be impossible”. Dia tak tergetar dengan pertanyaan yang melecehkan tersebut. Katanya kalau marah, malah tambah rumit. Hindari saja.

Kembali ke perangkat hukum yang cenderung menyalahkan dan memberatkan korban perkosaan dan pelecehan yang berpenampilan, berpakaian dan berperilaku seronok (kebanyakan wanita). Pikir pikir hukum formal juga harus memberi sanksi bagi mereka mereka (kebanyakan pria) yang mudah terangsang jika melihat lawan jenis berpenampilan, berpakaian atau berperilaku seronok. Ini akan lebih adil dan berimbang. Hukum berimbang dan proaktif.

Mereka mereka yang suka melakukan berbagai tingkat pelecehan, seperti siulan siulan kurang ajar, colak colek, langsung bisa dijerat dengan pasal ‘’pelecehan seksual’’ atau pasal ‘’melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan”. Demikian pula yang jelas jelas memaksakan kehendak dan perbuatan seksual, tanpa persetujuan kedua belah pihak, bisa dijerat dengan pasal ‘’perkosaan” atau pasal “memaksakan kehendak tanpa persetujuan kedua belah pihak”. Ingat dalam dunia politik tanah air, perbuatan ‘’memaksakan kehendak” juga dapat ditindak secara hukum.

Nah orang orang yang gampang terangsang seksual ditempat umum, mestinya bisa ditindak atau dijerat dengan pasal hukum. Ini secara proaktif untuk mencegah pelecehan dan perkosaan. Jika perlu penggunaan kaca mata hitam ditempat umum dilarang. Hanya menjadi sarana lirak lirik. Boleh pakai kaca mata gelap ditempat umum tetapi hanya malam hari.

Yang menjadi masalah adalah bagimana mendeteksi seseorang terangsang syahwat di tempat umum, jika yang bersangkutan tidak/belum melakukan tindakan pelecehan apa apa. Dalam mencegah penyebaran avian flue dan SARS di bandara2 dipasang detector yang bisa mendeteksi orang yang menderita demam. Mungkin detector yang bisa mendeteksi orang yang terangsang syahwat, juga bisa dikembangkan dan dipasang ditempat umum seperti di bandara, stasiun kereta, stanplaat bis, bis malam, cinema, coffee shop, mall dll. Tempat2 yang mempunyai resiko tinggi meningkatnya syahwat. Begitu ada orang yang syahwatnya naik melampaui batas, detector ini akan berbunyi ‘’theeeeeeng”, seperti bunyi dawai kecapi yang tegang. Ini untuk pria. Jika yang terekam adalah pihak wanita, detector akan berbunyi ‘’Pussss ngeooooong”, seperti suara kucing meringik lirih. Walaupun tak ditindak dengan hukum formal, orang2 yang bersyahwat luar biasa ini akan berpikir seribu kali untuk mengumbar syahwat di tempat umum.

Jika dengan perangkat detector ini para pesyahwat luar biasa ini belum jera juga, maka bisa dikembangkan semacam alat bandul magnetic. Bandul ini bisa di setel secara remote. Walaupun syahwat meninggi, karena ada bandul magnetic yang memberati, tak mungkin alat alat persyahwatan itu bisa berdiri tegak. Jika dengan bandul magnetic ini tetap saja pelaku melakukan kejahatan perkosaan, mungkin bisa dipertimbangkan tindakan pengebirian (kastrasi) secara hukum. Toh pengebirian hukum terjadi setiap hari oleh para aparat. Apa salahnya melakukan pengebirian secara hukum. Ini bisa dilakukan dengan suntikan hormonal, tak perlu tindakan fisik operasi pemotongan apa apa.

Ini hanyalah angan angan untuk mencegah pelecehan seksual dan perkosaan. Di bidang lain, kaidah hukum juga telah berlaku sangat proaktif. Misalnya di bidang politik, keamanan, dan pemberantasan terorisme. Axis of evil dipakai untuk mengisolasi negara yang tak disukai. Mengapa tidak diberlakukan proaktif mencegah pelecehan dan perkosaan ? Hanya axisnya sedikit diubah tempatnya, dari mata kea lat syahwat.

Nggak tahulah. Jamane jaman edan.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 10 Desember 2007)

2 comments:

PakTeh said...

salam, bapak. saya juga rasa sex harrassment semakin menjadi-jadi di seluruh alam. agaknya dunia semakin hampir kiamat.

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih komentarnya. Yanglebih menyedihkan jika norma hukum dan sosial juga memberikan peluang ke arah yang lebih parah