Thursday, August 2, 2007

Senyum dari balik tirai kelambu.

Di satu sore yang cerah, saya dalam perjalanan dari Ambarawa ke Yogya. Di awal tahun tujuh puluhan. Acara rutin hampir setiap tiga atau empat minggu. Pulang balik Yogya Ambarawa. Saya masih ingat benar itu hari Minggu, setelah semalam saya pulang tidur di rumah saya di Ngampin. Saya selalu merindukan rumah tua kami dengan kebun yang luas dan hawa yang sejuk. Bau bunga kopi dan kenanga itu selalu menarik saya untuk kembali. Walau hanya sejenak ada keinginan untuk mereguk baunya yang lembut. Tak cuma bau bunga itu yang membuat rindu. Ada banyak bau yang mendatangkan rasa kangen. Bau rumput kering atau bau gas metana kotoran sapi yang terbakar, bau uap air hujan yang keluar dari tanah. Biasanya tak lebih sebulan saya mesti pulang ke desa. Menenangkan diri dan memutus rasa rindu yang mendalam atas suasana pedesaan yang sunyi.

Melewati daerah indah di Bedono, Banaran, Pringsurat, Pingit, Secang sampai kemudian di Magelang, hati saya selalu berbunga bunga. Walau telah melewati jalur ini ratusan kali. Lamunan menerawang ke depan, seolah itulah perjalanan hidup saya nanti. Sampai di alun alun Magelang, turun ganti bis yang langsung menuju Yogya. Ada bis Mustika warna merah. Masih ada beberapa tempat kosong. Saya mengambil tempat duduk di sebelah kanan agak ke belakang. Setiap kali lewat alun alun Magelang, selalu ingat sewaktu SR dulu pernah minum susu campur tape ketan di rumah makan di pojok dekat masjid. Tak perlu menunggu terlalu lama oleh karena bis segera berangkat. Si kernet masih saja teriak, “”Yogya, Yogya””.

Di sebelah saya duduk seorang gadis, Nampak letih dan gelisah. Kami sempat berkenalan, ternyata dia kuliah di Fakultas Hukum, sama sama di UGM. Namanya mbak MIR Katanya dia naik bis dari Semarang siang itu. Dia duduk di tingkat empat, sama dengan saya waktu itu. Saya kuliah di kompleks Ngasem dan dia di Pagelaran Keraton. Bicaranya banyak. Dia cerita tentang teman temannya yang kuliah di kompleks Ngasem. Hampir semua yang disebut saya tahu satu persatu. Umumnya sekelas atau dari angkatan di atas angkatan saya. Saya agak kaget waktu dia menyebut Emsa. Katanya dia kenal baik. Batin saya berkata, “Jangan kau sebut nama itu. Saya tak ingin tenggelam dalam lamunan malam ini”. Kami sempat ngobrol kesana kemari. Kadang bicaranya agak terlalu keras untuk ukuran Yogya.

Kami turun di dekat Bausasran.. Waktu telah lewat jam delapan malam. Biasanya saya turun di stasiun bis THR (Taman Hiburan Rakyat). Sekali ini sekalian ngantar oleh karena bawaannya nampak banyak. Kami naik becak berdua menuju ke tempat kostnya di jalan Gajah Mada, dekat bioskop Permata. Saya sempat duduk sebentar di ruang tamu. Tak lama, tak lebih sepuluh menit. Bicara biasa saja. Tak ada topik bahasan yang istimewa. Saya cepat cepat pengin terus pulang ke tempat kost di Patangpuluhan.

Sesaat saya pamitan, tiba tiba sekilas nampak bayangan seseorang di balik tirai kelambu, di balik pintu. Tirai itu warna hijau. Cahaya temaram listrik dua puluh lima watt tak mampu memancarkan sinar untuk menatap sosok di balik tirai itu. Namun saya tetap tak tergerak untuk bertanya. Rumah kost pasti banyak penghuni. Tak layak laki laki mengendus mencari keterangan. Laki laki harus tahan harga. Apa lagi ini teman yang baru saja kenal. Jaga image bo !

Tiba tiba muncul seorang gadis dari balik tirai kelambu, dari balik pintu itu. Tersenyum manis, meski tak jelas benar dalam sinar temaram itu. Tetapi instink saya memberikan sinyal, ini bukan barang biasa. Tiba tiba, mbak MIR berkata memecah kesunyian “Kenalkan ini adikku. Kuliah di ABA”. Saya terpana, tak bisa berucap apa apa. Tangan saya gemetar menyambut jabatannya. Sapaanya begitu lembut “MUR”. Saya hanya sempat bilang “Ki”. Kemudian kami sama sama terdiam. Pengin bicara lebih banyak, tetapi lidah terasa kelu. Tak ada nyali tak ada konsentrasi. Pikiran nanar tak menentu. Sudah terlanjur pamit. “Main lagi ke sini ya” ucapnya lirih. Saya pulang dengan rasa gelisah .

Dalam perjalanan pulang hati saya tak bisa tenang. Kenapa tadi MIR nggak bilang kalau punya adik yang begitu manis. Sampai di tempat kost, ngobrol ramai sama teman. Saya cerita ada kenalan baru istimewa. Semua ketawa, kalau cuma kenalan banyak stoknya di pasar Ngasem. Tetapi saya terkenang senyumnya yang menawan lembut itu. Suaranya berbisik lirih. Pengin kembali lagi. Pengin cepat cepat ketemu lagi. Minggu itu saya juga tak tenang di ruang kuliah. Terkenang senyumnya. Terkenang rona wajahnya. Terngiang bait Teringat Selalu, lantunan Tetty Kadi di tahun enam puluh tujuh. Kok benar ya, tak hanya terjadi dalam alunan musik. Ternyata bisa juga terjadi sungguhan. Kayalan selalu melayang.

“” --- Sekilas nampaklah engkau di balik pintu. Tersenyum dikau menusuk hatiku. Apa daya sejak saat itu. Nurani terganggu di setiap waktu. Teringat slalu pada senyummu. Ingin kubertemu ----””

Beberapa hari kemudian, sehabis pulang kuliah saya bersama teman Achdy, kembali berkunjung ke jalan Gajah Mada. Satu siang yang ceria oleh karena mbak MIR juga pinter cerita. Achdy yang tokoh mahasiswa pandai berbahasa santun. Saya tak banyak bicara. Tetapi saya bisa melihat tuntas wajahnya, yang tak jelas dalam temaram listrik PLN malam itu. Banyak keluhan terhadap PLN, terhadap mutu pelayanan listriknya. Sudah banyak yang menyampaikan keluhan dan saran. Biarlah saya mengenang temaram listrik PLN yang romantis. Gadis manis samar samar di balik tirai kelambu itu. Ingat yang positip saja. Yang indah saja. Yang negatip kalau dituruti, sampai kapanpun susah berubah.

Siang itu saya bisa melihat jelas wajahnya yang manis. Senyumnya yang ceria. Namun saya belum banyak bicara. Belum banyak cerita dengan dia. Hanya lamunan melayang ke awang awang. Berandai andai ke masa depan seolah cinta telah terjalin mapan. Ge er bo ! Orang geer memang kadang menikmati kebahagiaan luar biasa. Asal nggak terlalu ge er, semuanya sah sah saja.

Perjalanan memang masih jauh. Tak semua bisa saya ceritakan di sini. Hanya pertemuan pertama itu yang ingin saya ceritakan. Hanya wajah manis yang menyembul dari balik tirai kelambu itu yang saya ingin saya kenangkan kali ini. Senyum ceria itu tak pernah lekang. Tak pernah hapus dari ingatan. Tiga puluh lima tahun berlalu. Prahara kadang datang mendera, tetapi badai selalu berlalu. Karena senyum ceria itu. Senyum dari balik tirai kelambu. Dari balik pintu.

Salam manis
Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Love Talk Kompas Cyber Media, 1 Agustus 2007)

No comments: