Wednesday, August 1, 2007

Perang Bubat – acara adat perkawinan

Peristiwa itu telah berlalu lebih dari enam ratus lima puluh tahun lalu. Namun kepedihan yang tertinggal tak pernah hapus dari ingatan sampai kini. Perang Bubat. Perang yang sebenarnya tak perlu terjadi. Perang antara tentara bhayangkara Majapahit semasa pemerintahan raja Hayam Wuruk dan perdana menteri Gadjah Mada, dengan delegasi dari kerajaan Sunda di bawah maharaja Linggabuana, di pesanggrahan Bubat, Jawa Timur pada tahun 1357( http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Bubat#Kesalah-pahaman ).

Sebenarnya kedua belah pihak akan merayakan pesta adat perkawinan antara putri prabu Linggabuana yang jelita, Dyah Pitaloka Citraresmi denga maharaja Hayam Wuruk dari Majapahit. Namun kesalahpahaman yang bercampur kesombongan dan ambisi delegasi Majapahit di bawah perdana menteri Gadjah Mada, menyebabkan acara pesta menjadi ajang peperangan yang berakhir menyedihkan. Prabu Linggabuana beserta para pengikutnya gugur dalam pertempuran itu. Dyah Pitaloka bunuh diri dengan pakaian pengantinnya. Raja Hayam Wuruk yang tampan larut dalam kesedihan berkepanjangan dan mengrimkan delegasi tingkat tinggi ke kerajaan Sunda untuk meminta maaf

Konon saat itu raja Linggabuana minta agar raja Hayam Wuruk sebagai calon menantu dan pengantin lelaki datang menyambut rombongan pengantin putri di pesanggrahan Bubat. Tetapi perdana menteri Gadjah Mada bersikeras bahwa putri Dyah Pitaloka statusnya adalah puteri yang akan dipersembahkan ke raja Majapahit, sehingga raja Hayam Wuruk tak perlu menyambut ke Bubat. Sebenarnya raja Hayam Wuruk telah datang di Bubat namun tak mampu mengatasi kesalah pahaman tersebut dan tak mampu mencegah pertumpahan darah. Mungkin memang disengaja oleh sang perdana menteri, yang sengaja membawa pasukan bhayangkara dalam jumlah besar.

Raja Hayam Wuruk sebenarnya telah meminang secara resmi sebelumnya dengan mengirim delegasi tingkat tinggi dan surat resmi ke kerajaan Sunda. Dengan besar hati raja Linggabuana menyepakati bahwa acara perkawinan akan diselenggarakan di Majapahit, Bahkan beliau sendiri yang akan mengantarkan putrinya oleh karena merasa sebenarnya masih ada hubungan saudara di antara kedua keluarga. Tragis, karena kesalah pahaman ini berakhir dengan banjir darah. Hampir semua anggota delegasi kerajaan Sunda gugur, tak mampu melawan pasukan pengawal (bhayangkara) dari kerajaan Majapahit yang jauh lebih besar jumlahnya. Hubungan antara keluarga kerajaan Majapahit dan perdana menteri memburuk karena peristiwa Bubat, sampai wafatnya sang perdana menteri beberapa tahun kemudian. Raja Hayam Wuruk mengeluarkan ketetapan resmi bahwa kerajaan Sunda tidak di bawah kekuasaan Majapahit.

Saya tak berpretensi sebagai ahli sejarah. Saya mencoba mengingatkan peristiwa tragis itu dari kacamata, pikiran maupun perasaan awam. Tak ada maksud untuk menghujat ataupun memandang sederhana peristiwa menyedihkan yang menyisakan kesedihan bagi kita semua, terutaa di daerah Sunda. Saya membaca kisah Bubat dengan kesedihan yang mendalam.

Di luar intrik politik waktu itu, sebenarnya situasi yang mendorong terjadinya peristiwa perang Bubat sebenarnya juga sering terjadi dalam kehidupan kita sehari hari saat ini. Masalah protokol acara perkawinan. Adat kebiasaan dan protokol dalam acara perkawinan yang ada di kalangan masyarakat modern kita saat inipun sangat beragam. Keragaman atau perbedaan ini kadang berakar pada adat istiadat yang di anut di satu daerah, di satu kelompok etnis, tradisi keluarga yang dianut turun temurun, atau bahkan kesukaan dan kebiasaan dukun manten semata yang begitu berperan. Bukan hal yang janggal . Keragaman ini juga dijumpai di banyak masyarakat Asia dan selalu berkembang dari waktu nke waktu. Jika pihak keluarga pengantin tidak berhati hati dalam merencanakan dan menyepakati acara perkawinan, potensi pergesekan dari kedua belah pihak selalu saja ada.

Kadang para tetua dalam keluarga tidak menyadari bahwa yang kawin sebenarnya adalah kedua pengantin, dan berkeras pada tradisi dan kebiasaan masing masing. Konflik sampai ke tingkat perang Bubat sih nggak terjadi, tetapi perang bisik bisik selama acara dan sesudah pesta perkawinan sering terjadi. Ini bisa mempengaruhi hubungan baik antara keluarga ke dua mempelai di masa datang. Anda semua pasti sering menghadiri acara pernikahan dan pesta pekawinan, terutama di musim kawin di bulan Desember. Pernahkah anda melihat sedikit gesekan selama acara perkawinan tersebut ?
Seumur umur saya hanya mengalami perkawinan sekali saja. Keluarga isteri saya termasuk pragmatis, nggak pengin ritual macam macam. Ini memperkecil kemungkinan gesekan. Hanya satu masalah (kecil) terjadi tetapi nggak berkepanjangan. Dukun pengantin yang dipilih pihak keluarga Nyi Ageng, menyediakan pakaian pengantin, yang bagian depan sabuk kain yang lebar (saya lupa namanya apa itu), terenda nama sang dukun secara demonstratif “MUKMIN”. Saya minta ganti tetapi nggak ada pilihan lain. Dari pada gagal kawin saya terima pakai pakaian itu, tetapi di foto foto kawin kami, di bagian depan kain saya terlihat jelas nama MUKMIN. Padahal nama saya bukan Mukmin.

Waktu saya harus melempar daun sirih, bulik saya almarhum yang bertugas menggandeng saya keliru memberikan gelintingan rokoknya ke saya , bukan gulungan daun sirih yang telah disiapkan. Beliau memang perokok berat. Saya sempat nggremeng. Beliau tergesa gesa menggantinya dengan daun sirih, juga sambil mengumpat kecil menyadari kekeliruannya, “ Edanane”. Beliau tak biasa berbisik lirih. Tak banyak yang mengamati, situasi tetap terkendali. Sehabis acara ke dua bulik saya nggak bisa menahan gelak malah bilang “ Jangan kecil hati Ki, ini pertanda akan banyak rejekimu nanti “

Pada waktu menghadiri acara perkawinan salah satu keponakan di Solo, lima belas tahun lalu ada sedkit insiden. Dalam kebiasaan keluarga kami, orang tua pengantin lelaki tidak menghadiri riual adat kawinnya. Hanya pada waktu acara resepsi pesta dimulai orang tua mempelai lelaki baru datang dan disambut secara adat oleh orang tua mempelai perempuan. Ini melambangkan bahwa anak laki2 kalau sudah kawin harus mandiri, tak boleh lagi mengandalkan bantuan orang tua.

Dalam acara perkawinan itu, sepupu saya adalah orang tua pengantin lelaki. Sewaktu dia tiba di awal acara resepsi, sesudah ritual kawin selesai, orang tua pengantin wanita tidak keluar menyambut secara adat. Tetapi mengutus adiknya, yang nota bene seorang sinden yang cantik dan elegan. Sepupu saya berang dan menolak wakil keluarga pengantin wanita, minta agar orang tua pengantin sendiri yang menyambut. Pembawa acara agak grogi sebentar, lalu mengalihkan perhatian dengan ura ura (menyanyi lagu Jawa). Insiden tak berlanjut. Orang memang lain lain. Kalau saya sih malah kebetulan, sinden bo !

Saya sendiri sudah mengawinkan kedua anak lelaki saya. Sokur tak ada insiden antar keluarga kedua belah pihak. Salah satu besan saya, mertua anak kedua saya adalah kakak kelas di bangku kuliah. Malah sempat ngobrol dengan teman teman lama sesudah acara selesai. Saya selalu mengingatkan adik saya yang membantu mengkoordinir acara adat perkawinan tersebut, jangan terlalu mendesakkan tradisi keluarga dalam acara. Hubungan dengan besan sangat bagus dan dekat. Toh anak anak dan cucu saya juga akan senang dan bahagia.

Pesan singkat dari tulisan ini adalah agar kita selalu menyepakati acara adat perkawinan antara ke dua pihak keluarga pengantin. Jangan sampai adat salah satu pihak terkalahkan. Semua perbedaan adat dan kebiasaan bisa dirundingkan.
Salam damai dan bahagia. Ki Ageng Similikithi

Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media 1 Juli 2007

No comments: