Thursday, August 2, 2007

Makna sebuah nama

Nama adalah label atau identitas seseorang. Dengan nama tersebut dia akan dikenal oleh lingkungannya. Dengan nama tersebut dia akan memperkenalkan siapa dirinya. Setiap orang pasti punya nama. Sekalipun yang bersangkutan ingin menyembunyikan jati diri dengan nama samaran, tetapi pasti ada sebuah nama yang melekat sesudah dia dilahirkan. Nama aslinya, nama pemberian orang tua atau kerabat. Bahkan Ken Arok, yang dimitoskan lahir dari batu karang pun, punya nama dan namanya melegenda sepanjang jaman.

Kadang kadang secara sentimental seorang penulis cerita atau puisi, mencantumkan identitas dirinya “Manusia Tanpa Nama”. Itu hanya dalam khayalannya saja supaya nampak sok puetis, sok melankolis dan sok romantis. Jangan terkibul, dia pasti punya nama, entah siapa. Sewaktu saya SMP, saya pernah membuatkan surat atas nama seorang teman di desa sebuah surat cinta. Namanya sebenarnya Wito, dia tak bisa menulis dan membaca. Begini petikannya,

Saya hanya manusia pengelana
Tanpa sanak tanpa saudara
Tanpa harta tanpa nama
Tanpa apa apa
Hanya punya rasa cinta yang membara
Untukmu, hanya untukmu.
Sambutlah salam perkenalanku
Dari pengelana tanpa nama
Yang menanggung rindu.

Pertama kali surat kembali, tak ada jawaban. Kedua kali jawaban yang diterima bunyinya singkat “Gamblisss & gombaaaal”. Ketiga kali, Wanti si penerima surat mulai tanya “Siapa sih nama kamu sebenarnya”. Dia murid SMP sore yang selalu lewat desa kami. Seterusnya saya tak tahu, Wito tak mau lagi minta tolong saya nulis surat. Dia langsung tembak tatap muka. Dia selalu menunggu di ujung desa dan mengantar Wanti pulang sekolah.

Saya ingin mengetengahkan liku liku nama ini oleh karena banyak kebiasaan mengenai tata cara pemberian nama. Di bidang keilmuan ada semacam tata cara yang disepakati dunia internasional mengenai tata cara pemberian nama, entah nama spesies tumbuhan, hewan, atau nama temuan baru senyawa kimia atau obat obatan. Tetapi pemberian nama seseorang kadang sangat bergantung kepada adat kebiasaan masyarakat setempat. Susah untuk menyepakati nomenklatur internasional pemberian nama orang. Masalah ini mungkin pernah dibahas di forum ini.

Di banyak masyarakat, terutama di kalangan Kaukasia di Eropa dan Amerika, orang selalu menggunakan nama keluarga di belakang (http://en.wikipedia.org/wiki/Family_name) . Kebanyakan mereka punya tiga suku nama, nama depan (given name), nama tengah (middle name) dan nama keluarga (family name). Nama keluarga atau nama marga juga sudah menjadi kebiasaan yang kuat di anyak masyarakat Asia, misalnya di kalangan masyarakat Batak dan banyak kelompok etnis lain. Nama keluarga atau marga di kalangan masyarakat Chinese, ditaruh di depan, bukan di belakang.

Di kalangan masyarakat Melayu, mereka tak menggunakan nama keluarga atau marga tetapi menggunakan nama ayah di belakang dengan kata sambung bin atau binti. Sehingga kadang kadang harus menulis banyak bin atau binti di belakang untuk menunjukkan sejauh mungkin jalur nenek moyang yang menurunkan. Ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan nama muslim dan Arab.

Nama Jawa sebenarnya tidak mengenal nama keluarga, walaupun kadang mengandung tiga nama sekaligus. Mungkin nama belakangnya adalah nama ayah atau suaminya (http://en.wikipedia.org/wiki/Javanese_name) Nama depan ayahnya ditaruh di belakang namanya. Contoh, nama mantan presiden kita Abdurrahman Wahid. Wahid adalah nama depan sang ayah, Wahid Hasyim. Sedangkan kakek beliau namanya Hasyim Ashari.

Tidak jarang nama Jawa hanya memakai satu nama. Mantan presiden kita hanya mencantumkan nama Sukarno, kemudian Suharto. Mungkin suatu saat akan ada nama presiden Sukarto. Su dari bahasa Sansekerta, yang berarti linuwih. Kebiasaan nama tunggal ini masih banyak dijumpai. Hanya kadang kadang kesulitan bisa terjadi bila suatu saat harus mengisi formulair pendaftaran di negeri Barat, misalnya pendaftaran visa atau sekolah. Perlu penjelasan sedikit mengenai tradisi satu nama ini.

Untuk yang menggunakan nama Jawa lebih dari satu kata, secara praktis bisa ambil jalan tengah, nama depan untuk given name dan nama belakang untuk family name. Atau jika harus mengisi dengan tiga nama bisa saja Ki Ageng Similikithi, diartikan Ki nama lahir atau given name, Ageng middle name dan Similikithi nama keluarga. Atau mungkin di negeri Belanda ditulis Ki Ageng Similikithi van Ngampin, yang menunjukkan asalnya dari desa Ngampin. Hanya kompromistis saja jika memang diharuskan.

Kebiasaan adat Jawa mengikuti kebiasa patronimik, di mana nama ayah yang menjadi acuan untuk nama belakang. Tetapi masyarakat Jawa terutama kalangan sosial ekonomi bawah dulunya tak selalu bebas memilih nama. Jika mereka memilih nama yang terlalu tinggi atau modern, akan diterima sinis. Ini mungkin sisa adat feodalistik yang mengenal kelas dalam masyarakat. Mungkin sekarang sudah banyak berubah. Mereka kadang memberi nama asal praktis. Ayahnua bernama Dulkamid, isteri bernama Tukinem, anaknya lalu disebut Tukidul. Tergantung perkembangan si anak, nama akan ber evolusi. Sewaktu menginjak dewasa dia akan berganti nama dengan nama dewasa, dan sesudah kawin akan ganti dengan nama tua. Teman saya waktu kecil namanya, Djumadi. Sesudah kawin dia ganti nama menjadi Hadi Winarnyo. Bahkan nama kecilnya tak disebut lagi.

Pernah berkunjung ke French Polynesia, dan bertemu dengan orang2 keturunan Jawa di sana. Ada 5000 orang Jawa, yang sebagian masih ngomong Jawa totok dan tak berbahasa Indonesia. Suatu saat berkenalan dengan seorang wanita esksekutif, penampilannya sangat elegan seperti Doris Kalabaut. Nama Jawanya sederhana, madame Tugiyem, nama keluarganya nama Perancis. Saya sangat menghormatinya, dalam pembicaraan menunjukkan dia sangat berpendidikan. Di Jawa mana ada orang secantik dan se elegan dia masih mau menggunakan nama Tugiyem. Mungkin nama tersebut dianggap kurang representatif. Nyi Ageng nama kecilnya Murlinah, pakai akhiran H. Teman teman lebih sering memanggil Murlina yang dianggaplebih modis.

Pernah saya memakai nama keluarga sewaktu mendaftar program paska sarjana di akhir tahun tujuh puluhan. Nama moyang saya Setrojoyo. Waktu saya isikan nama itu ternyata semua komunikasi resmi lalu menggunakan Setrojoyo. Di lingkungan pekerjaan saya, nama itu asing sama sekali. Akhirnya nama belakang saya saya pakai sebagai nama keluarga. Anak saya almarhum namanya Saworo Tino Triatmoko. Sewaktu di rawat di rumah sakit di Ingrris, Nyi Ageng dipanggil dengan Mrs. Triatmoko, dan saya otomatis dipanggil dengan Dr. Triatmoko. Membingungkan.

Sekali lagi walaupun nama tanpa nama keluarga sering membingungkan, ada kalanya ada untungnya secara praktis. Untuk wantita nama belakang tak perlu ganti ganti, walaupun kawin atau berganti suami. Nama belakangnya tetap saja. Teman kerja saya yang wanita harus mengumumkan pergantian nama belakangnya setiapkali komunikasi formal atau publikasi karena pisah dari suami dan memutuskan mencabut nama keluarga suami dari nama belakangnya.

Mohon agar tulisan ini jangan diterima secara salah. Tak ada maksud menghujat atau memperolok sama sekali. Di kalangan keluarga besar saya, saya mencoba untuk mengajak menggunakan nama keluarga, tetapi ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Kita sudah terbiasa menggunakan nama, tanpa nama keluarga. Makna sebuah nama memang lekat dengan adat istiadat yang sudah turun temurun.

Ki Ageng Similikithi van Ambarawa

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Media, 23 Juli 2007)

No comments: