Friday, December 14, 2012

Pipa Kundt


Awal tahun 1969. Siang hari panas menyengat. Minggu minggu pertama kuliah di Fakultas Kedokteran UGM.  Kami harus  praktikum fisika di  Sekip. Selesai  kuliah di  kompleks Mangkubumen di daerah Yogya selatan, bersepeda ke pinggir kota di utara. Tak ada waktu istirahat. Tak ada waktu makan siang. Beriringan naik sepeda di bawah terik matahari.  Tak banyak bicara, sibuk dengan pikiran masing masing. Mungkin juga belum kenal dekat dengan teman baru. Sampai di laboratorium, masing masing grup menempati nomer meja. Sesuai petunjuk mata praktikumnya.  Sejenak kemudian, dua orang teman mendekat sambil memasang jas putih. Yang satu tinggi besar. Satunya sedang sedang saja.

“Orang ini tampang Muhamad Ali”, batin saya. “Nama saya Muhamad Munawar. Sampeyan Budi ya?” Mood  sedang bagus, langsung saya jawab singkat dan akrab  “Budiono Santoso”. Masih ingat di SMP saya pernah dimarahi guru habis habisan. Seorang teman putri menyebut nama memperkenalkan diri, saya jawab “Saya nggak tanya”. Dia menangis lapor guru, saya yang kena setrap. Cengeng.
“Dari Manahan Solo ya?” , si Muhamad Ali bertanya. “ Dari Saint Josef. Saya tinggal di Badran. Saya tahu namamu sejak pengumuman ujian yang lalu”.  Munawar dari SMA Margoyudan. Saya diberitahu guru fisika saya, Pak Mudjono, kalau juara 1 untuk jurusan Ilmu pengetahuan Alam, namanya Munawar dengan nila rata rata 9.2. Saya dari St Josef, bersama Hwie Swan (Susi Widjayanti) dari SMA Warga, juga teman tentir, dibelakang Munawar dengan nilai rata rata 8.8.

“ Nomer mahasiswa saya empat tujuh lima nol”, teman yang satunya memperkenalkan. “ Namamu siapa?”. Saya masih kikuk. Masuk perguruan tinggi semua identitas jadi nomer mahasiswa. Ada semacam dehumanisasi di perguruan tinggi. Di SMA semua guru hapal nama murid.  “Namanya Suhartono, dia pendekar dari Selatan. The man from the South.  Saya tahu persis siapa siapa dalam rombongan praktikum ini”.

Itulah awal pertemuan saya dengan Muhamad Munawar  empat puluh tiga tahun lalu. Kami bertiga siang hari itu bersama Suhartono Noto dalam satu rombongan praktikum fisika. Kami dapat giliran percobaan pipa Kundt, untuk mengukur panjang gelombang bunyi berdasarkan frekuensi dalam tabung kaca yang telah ditebari serbuk kayu (http://alifis.wordpress.com/2010/10/29/eksperimen-3_frekuensi-bunyi-kundt/).  Kami membaca dengan cermat petunjuk praktikum. Muhamad Munawar mempunyai ketelitian luar biasa, mengerti secara detail teori gelombang bunyi. Saya dan Suhartono memperoleh briefing secara lugas darinya. Jari manisnya selalu terangkat setiap dia menerangkan eksperimen itu. Gaya bicaranya lugas, penuh percaya diri, sedikit semau gue alias wak wakan.

Guru fisika saya di SMA, juga menerangkan dengan fasih tabung pipa Kundt, tetapi karena tak melihat barang eskperimennya, pengertian saya tak mengendap sama sekali. Baru kemudian ketika  membaca buku teks karangan SEARS,  Mechanics, Heat and Sound, saya mengerti gamblang eksperimen itu. Pembicaraan siang itu  akrab, sambil bereksperimen. Eksperimen berjalan lancar. Munawar dan Suhartono, nampak menikmati sekali, penuh konsentrasi. Suhartono mencatat secara teliti hasilnya. Tulisannya tangannya bagus.

Sementara bereksperimen, sesekali saya dengar nyanyian kecil Munawar, lagunya berpindah pindah, dari Tirtonadi ke Bengawan Solo. Ciri khas pemuda Solo tahun enampuluhan. Selalu kagum dan bangga dengan penyanyi atau nyanyian tentang Solo. Saputangan Merah Jambu (S. Warno), Cincin Kenangan (Christine), dan pasti lagu lagu yang dinyanyikan almarhum Djoko Susilo. Saya pikir waktu itu, jangan jangan Munawar ini  lebih hapal lagu Tirtonadi dan Bengawan Solo, dibanding Indonesia Raya. Tak sempat tanya saya.  Tetapi kemudian di pondokan saya sering mendengar nyanyian kecilnya, lagu lagu  top waktu itu. Yang paling sering Hey Jude dan Delilah.

Hampir  jam 3 ketika kami menyelesaikan eskperimen itu. Hawa panas membuat rasa dahaga menyekik kerongkongan. Munawar mengajak kami minum di kantin sambil menulis laporan. Bergegas kami ke sana. Saat mau masuk, tiba tiba pak Bon  menghardik “Tidak boleh menulis laporan di kantin”. Saya terhenyak sejenak. Munawar yang berbadan tinggi besar menjawab, “Kami mau minum pak”. Pak Bon diam saja. “Bajinguk, ndarani ora kuat mbayar cao”. Kami menikmati cao berwarna cerah, sambil menyelesaikan laporan. Sore itu kami bersepeda sama sama pulang ke selatan. Saya tinggal di Gerjen. Munawar di Ngabean. Agak lupa Suhartono tinggal dimana. Hawa tak sepanas siang tadi. Angin segar sore hari menemani perjalanan sambil ngobrol di jalan.

Empat puluh tiga tahun lewat. Sore itu dia berdiri tegak di ruang rawat inap di depan saya. Saya selesai menjalani kateterisasi jantung di rumah sakit miliknya. Rumah Sakit Jantung Bina Waluya. Tak sebesar dulu, perawakannya lebih langsing dan atletis. Panjang lebar dia menjelaskan mengenai Bioresorpsable Vascular Scaff folding, jenis stent baru yang barusan di pasang di arteria koronaria saya. Gaya bicaranya lebih kalem, British gentleman style. Tidak wak wakan seperti dulu. Juga tidak lagi merokok. Dia adalah tokoh kardiologi intervensi yang handal di Asia saat ini. Murid muridnya datang belajar langsung darinya (hand on training) tidak hanya dari berbagai penjuru di  Indonesia, tetapi juga dari berbagai negara Asia. Bersama isterinya yang anggun, Futikah Munawar, dia merintis membuka rumah sakit jantung swasta yang pertama di Indonesia. Meskipun dokter di kantor WHO dulu menganjurkan saya periksa ke Bangkok atau Penang, saya  merasa lebih mantap di sini,  ditangani teman sendiri. Ketika dia menjelaskan tentang stent jenis baru itu, ingatan saya malah melayang saat dia menjelaskan tentang pipa Kundt.

Ingat lagu anak anak yang sering dinyanyikan Laras, cucu saya. Persahabatan bagai kepompong. Mengubah ulat menjadi kupu kupu. Kami semua  menjadi kupu kupu. Terbang di antara taman yang indah. Menjelajah dunia demi kemanusiaan. Persahabatan yang langgeng.
Salam damai dan bahagia untuk Bung Munawar dan bu Futikah Munawar.

http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/pipa-kundt/10151173329343467 

No comments: