Friday, December 14, 2012

Ke Sekaten


“ Bangun bangun. Sudah sampai”. Samar samar terdengar suara membangunkanku. Suara yang sudah  saya kenal sekali waktu itu. Entah pak Maslan, pak Warto atau mas Gek, yang bersama sama dalam satu mobil.  Larut malam, di suatu hari Jumat di tahun 57, ketika rombongan sampai di desa kami, Ngampin Ambarawa. Sehabis lihat sekaten di Yogya. Saya  berjalan terseok menuju rumah yang berjarak kira kira seratus meter dari tepi jalan. Gondo, adik saya digendong salah seorang pembantu lelaki. Gelap gulita. Seorang penjaga malam menjemput dan menerangi dengan obor blarak (daun kelapa kering)  di tangan.


Tiba tiba saya tersadar ada sesuatu yang hilang dari genggaman tangan.
“ Mana telor pindang saya?” Saya berteriak.
Keheningan mendadak pecah. Gaduh sesaat. Seseorang tertawa, saya lupa suara siapa.
“ Wah pasti jatuh di mobil. Untung sopirnya, dapat bonus telor”.
Hampir menangis menahan kecewa saya. Telor yang digodog dengan daun jati, warna merah itu dibagikan sewaktu akan pulang di Yogya tadi. Saya pikir mau saya makan esok harinya. Mungkin buat sangu sekolah besoknya.

Itu kisah sesudah menonton sekaten saya pertama kali. Sekeluarga naik dua mobil suburban Morodadi. Berangkat sore sekitar jam tiga. Saya bersama dalam satu mobil dengan rombongan yang semuanya pria. Pak Maslan, guru, asli dari Medan. Pak Warto juga guru, dari Godean Yogyakarta. Mereka mondok di rumah saya. Mas Gek asli dari Bali, anak angkat bapak & ibu. Yang lain di mobil satunya. Tidak banyak yang saya ingat. Hanya di jalan di sebelah barat alun alun, saya lihat tiga orang berpakaian surjan dan belangkon, bertengkar hebat. Saya pikir, sedang main ketoprak. Tak tahunya mereka tengkar karena masalah parkir sepeda. Pak Warto yang dari Yogya lebih memahami apa yang mereka petengkarkan, menarik saya untuk menjauh. Saya nggak mudeng. Bertengkar kok dalam bahasa Jawa halus. “Menawi mekaten, sampeyan apus apus ta. Gombal”.  Di desa saya orang tidak berserapah menggunakan kata gombal. Biasanya kata “celeng” lebih lugas, karena binatang ini sering masuk kampung merusak tanaman ketela.

Yang masih tersisa dalam ingatan sekaten hanya permainan droemmollen. Juga orang berjualan bolang baling, atau galundeng. Di Ambarawa waktu itu, bolang baling yang dalamnya kosong, tak begitu populer. Orang lebih kenal gelek, juga dari tepung gandung yang digoreng, yang dalamnya solid, kadang  masih setengah mentah. Kalau dimakan bisa melar. Pernah kejadian, seorang tukang andong berlomba makan gelek. Kusir andong dari Banyubiru yang menang,  menghabiskan 12 buah gelek, minum air putih satu kendi. Tragisnya beberapa saat kemudian masuk rumah sakit dan meninggal, perut besar atau waduknya pecah.  Namun gelek tetap saja lebih populer dibanding galundeng di Ambarawa. Bahkan battalion Ambarawa yang bertugas di perbatasan Kalimantan Utara saat konfrontasi, selalu minta dibekali gelek yang dimampatkan kecil kecil. Lebih praktis untuk makan di tengah belantara dibanding nasi.

Ketika mondok di Gerjen di tahun 1969 sampai 1971, mudah sekali menonton sekaten karena lokasinya hanya satu blok dari tempat pondokan. Tak begitu menarik, manusia berdesakan, rebutan makanan gunungan. Adu kuat siapa menang, dia dapat. Agak istimewa sedikit di tahun 73, bersama teman teman sepondokan di Taman Sari pergi ke sekaten. Saya masih sedikit limbung. Pacar ternyata telah resmi kawin saat liburan semester beberapa hari sebelumnya. Kami beli galundeng banyak sekali. Malamnya makan galundeng rame rame di kost kostan. Lebih aman dibanding makan gelek. Galundeng tidak mengembang dalam perut. Dengan galundeng dan tahu goreng dan alunan musik metal, sudah cukup membuat ajojing teman sak pondokan, sampai jam dua malam. Easy going. Laki laki tak perlu patah hati. Patah tumbuh hilang berganti. Mungkin semua sudah lupa kejadian itu. Life must go on. Masih ingat teman teman malam itu. Anton dan Darma, berkeluarga sebelum lulus, nggak tahu dimana mereka sekarang. Khavid jadi ahli THT di Surakarta. Agus Rochadi, dokter militer dan ahli jantung di Jakarta. Prapto jadi guru besar seni, dan pernah menjabat rektor di institutnya.

Beberapa hari sesudah kejadian itu, saya kembali ke sekaten bersama gadis AKUB itu. Belum pacaran. Tetapi dia mau saja diajak jalan lihat sekaten. Tidak beli galundeng. Tetapi lumayan sudah bergandengan tangan. Makan bakso di dekat kostnya di Purwanggan, kerasa terlalu asin. Yang saya masih ingat betul, bertemuarhum Dr. Roesman berdua. Beliau dosen histologi. Tak sempat bicara ditengah lautan manusia. Hanya  melambaikan tangan. Beberapa minggu kemudian, saya jalan kaki siang hari dari Mangkubumen. Dosen ilmu kesehatan masyarakat, dokter Hersusanto, mengajak naik mobil Fiatnya. Saya didrop di tempat kost di Patangpuluhan. Beliau sempat bertanya “Sampeyan nggak lagi sama Emsa ya?”. Saya hanya tersenyum ringan.

Di tahun delapan puluhan, saya sempat mengajak anak anak lihat sekaten. Semakin penuh sesak. Manusia berdesakan, tidak tahu untuk apa. Pengin membawa anak anak naik droemmollen. Saat jalan mau pulang, sekelompok anak muda dengan beringas mendesak kami dengan anak anak kecil. Nggak tahu kenapa. Tak ada alasan berdesakan. Saya emosi, salah satu saya tarik dan saya hardik. Ketika beberapa petugas keamanan mendekat, anak anak muda itu bubar dengan sendirinya. Sejak itu saya tak pernah ke sekaten. Bagi saya tak ada yang mengesankan. Hanya potret kesemrawutan lautan manusia semata. Beradu kekuatan berdesakan. Kadang membawa korban. Mau cari hiburan kok harus menanggung resiko. Tidak manusiawi.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi
 http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/ke-sekaten/10151211548238467

No comments: