Friday, December 14, 2012

Pejalan malam



Hujan renyai telah berhenti. Suasana sepi malam itu ketika saya selesai melakukan pengecekan kembali daftar tamu yang menginap di losmen.  Tahun 1972, lupa entah kapan persisnya.  Saya tinggal di losmen Bahagia, jalan Gandekan Yogyakarta, sejak  pertengahan tahun 1971. Sambil kuliah mengurus losmen. Lumayan dapat kamar gratis dan tambahan uang saku. Manfaat lain bisa mempraktekkan bahasa Inggris  oleh karena banyak wisatawan asing yang menginap di losmen dengan 20 kamar itu.
Hari itu adalah hari terakhir saya menghadapi ujian ulangan semesteran. Tak ada beban lagi, pikiran rasanya ringan melayang ke mana mana. Salah satu mata pelajaran saat ujian pertama kemarin mendapat nilai mati oleh karena saya memakai tinta warna hijau. Maunya  mulai menggunakan pulpen Parker 21, pemberian ayah saya. Pulpen itu pemberian sepupu dari Amerika di tahun 1963 untuk ayah saya.   Sial rupanya, saya pakai pertama hasilnya mematikan. Saya menghadap  dosen bersangkutan, minta maaf atas kerjaan ujian  yang menggunakan tinta warna hijau. Tak ada masalah. Ujian lagi saja, jawabnya ringan. Ujian itu sudah saya selesaikan siang hari itu.

Waktu menunjukkan lewat jam sebelas malam ketika saya mau masuk kamar. Semua tamu telah beristirahat di kamar masing masing. Pegawai juga sudah siap siap berangkat tidur. Pikiran saya melayang tanpa beban. Tak mungkin bisa tidur. Tiba tiba saja keinginan itu muncul. Jalan jalan di malam sunyi, memandang langit dan bintang. Kegemaran saya sejak kecil, berjalan jalan di antara perbukitan dan lembah yang indah di Ambarawa. Kebiasaan yang saya dapatkan sejak Sekolah Rakyat. Kami selalu dibiasakan gerak jalan, entah lewat persawahan di lembah, atau mendaki bukit bukit sekitar desa kami. Bukit bukit sepi dan lembah indah menghampar di kaki gunung Gadjah Mungkur. Gunung Gadjah Mungkur dan Telomoyo, pasangan mesra abadi sepanjang jaman. Seperti halnya Sindoro dan Sumbing, Merapi dan Merbabu. Sudah lama tidak melakukan jalan jalan di punggung perbukitan sejak kuliah di Yogya. Tak banyak waktu yang tersisa.

Saya kenakan  jas hujan dengan tutup kepala, sekedar menahan hawa malam. Meski tidak hujan lagi. Langit bersih dan bintang bintang samar samar nampak di atas sana. Menyusur jalan Malioboro ke selatan, lewat alun alun, belok ke kanan ke arah jalan Wahid Hasyim. Hapal sekali jalan ini, entah berapa kali saya melewatinya. Emsa teman dekat saya tinggal di jalan ini. Jalanan sepi, tak ada dentang lonceng becak ataupun suara mesin mobil atau motor. Semua telah pulas tertidur di rumah masing masing. Saya menikmati perjalanan saya dengan langkah pelan, tak tergesa, sambil menikmati pemandangan langit dan bintang. Lewat perempatan Taman Sari, belok ke arah Barat, menuju Patangpuluhan.  Beberapa hari ini terpikir untuk pindah dari losmen, selesai ujian semester. Pikiran tak pernah tenang. Masalah kadang datang tiba tiba mengganggu ketenangan.  Cukup dua belas bulan saja saya ngurusi losmen itu. Ada pondokan yang masih lowong dengan halaman luas di tepi jalan di Patangpuluhan.

Niat berjalan dari perempatan Patangpuluha ke utara saya batalkan. Tak tahu sebabnya. Saya kembali menyusuri jalan Tamansari ke arah Timur, lewat plengkung kulon, masuk kampung Nagan. Di siang hari kampung ini begitu rindang. Banyak pepohonan di halaman rumah penduduk. Lewat rumah sakit Mangkuwilayan,  masuk ke alun alun Selatan. Berhenti sejenak duduk di pinggir alun alun. Memandang langit dan bintang. Begitu indah dan magis, membayangkan bagaimana bintang bintang itu terbentuk dulunya. Tak ada suara manusia, tak ada desing mobil atau motor. Semua tertidur pulas. Waktu telah menunjukkan lewat tengah malam. Sesaat kemudian jalan lagi memasuki plengkung Gading. Warung makanan dan minuman semua telah tutup tak ada penghuni atau pembeli di sana.

Lewat plengkung Gading, tiba tiba seorang polisi turun dari  sepedanya. Bertanya identitas saya dan  tujuan saya. Saya pejalan malam pak,  kuliah di Mangkubumen. Tak banyak dia bertanya, kecuali mau cari apa malam malam gini? Menikmati keheningan malam, melihat langit dan bintang. Tak ada maksud lain. Nampaknya dia juga tak banyak ambil pusing. Bergumam pelan, ‘Adem adem enak turu nang ngomah mas”.  Entah apa alasannya  dia menyarankan saya meneruskan ke arah Timur saja. Jalan perempatan Gading ke Selatan memang gelap. Mungkin hanya basa basi. Polisi itu kembali menaiki sepedanya, ke arah selatan, menembus kegelapan. Seingat saya memang ada pos polisi di selatan pasar Gading.

Berjalan ke timur melewati Pojok Beteng Wetan, museum perjuangan, sampai di jalan Taman Siswa.  Saya menelusuri jalan ini dengan pelan. Lewat pendopo Taman Siswa, ingatan meluncur ke masa lalu, waktu kecil saya pernah diajak ayah saya berkunjung ke sini. Majelis Luhur Taman Siswa. Ayah saya seumur hidupnya bekerja di perguruan Taman Siswa, dia pengikut setia Ki Hadjar Dewantara, sejak jaman Belanda. Masih ingat, ketika Ki Hadjar dan Mr. Semaun beserta tokoh2 Taman Siswa, suatu sore di tahun 1958 mendadak mampir di rumah kami di Ngampin, saya dan adik saya ditugasi menjauhkan hewan hewan piaraan yang berkeliling di halaman. Binatang2 itu memang waktunya pulang  kandang, dan mungkin juga tidak tahu siapa tamu yang datang. Anak anak sapi itu selalu tunduk sama saya dan adik saya, Gondo.

Lepas dari jalan Taman Siswa, terus ke arah utara, sampai perempatan Bausasran. Di sudut perempatan itu, ayah dan ibu saya pernah tinggal beberapa tahun di Yogya sebelum kemerdekaan. Tak banyak cerita tentang masa itu, kecuali cerita tentang gaji guru waktu itu lebih dari cukup untuk beaya hidup. Sampai perempatan saya membelok ke Timur lewat jalan Gayam menuju asrama Darma Putra. Waktu menunjukkan lewat jam dua malam. Tiba tiba ada keinginan lewat perumahan Baciro. Bung Noko tinggal di sana. Saya sering belajar bersama di sana. Hujan mulai turun rintik rintik. Namun tak mengurangi nikmat keheningan pagi itu.

Lupa nama jalannya, mungkin Menur, saya berhenti di muka  rumah di mana Noko tinggal. Lampu kamar tamu masih menyala. Nampaknya pintu depan juga tidak tertutup. Saya beranikan diri untuk menengok ruang tamu. Ternyata Noko bersama Hartono masih belajar. Esok paginya masih harus mengulangi ujian. Entah mata pelajaran apa.  Dia terkejut sekali melihat saya basah kuyup berdiri di muka pintu. Ada apa denganmu, tidak apa apa kan ? Saya hanya menjawab ringan, jalan jalan malam, kegemaran  lama yang tak pernah sempat lagi menikmatinya. Noko sama Hartono bersikeras agar saya tidak meneruskan jalan jalan malam itu. Tanpa diminta Noko  memberi saya handuk dan teh panas lalu meneruskan belajarnya. Selesai minum teh, saya tidur di kamar Noko. Bangun pagi jam setengah delapan, Noko dan Hartono sudah berangkat ujian.  Bangun kesiangan, saya kembali ke Gandekan naik becak.

Kenangan sesaat empat puluh tahun lalu. Masih ingin jalan jalan malam hari, mendaki perbukitan, menyusur lembah, tetapi kondisi badan tak memungkinkan lagi.  Bisanya hanya membayangkan.
 Salam damai
Ki Ageng  Similikithi
http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/pejalan-malam/10151102571448467

2 comments:

bethoro indro said...

Ki lagi ling lung ya, saya yang bayangin cape lho. Jauh ba banget...

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih Eyang Bethoro.
Enak jalan jalan malam hening sekali.

Tgl 9 dan 10 Maret kelompok Mamaconga mau kumpul di Solo. Silahkan tengok di FB pengumumannya
Salam
BS