Tuesday, April 27, 2010

Selingkuh mengenal warna kulit

Minggu siang benar benar terik. Terseok kelelahan saya menaiki tangga menuju apartemen di lantai dua. Duduk sejenak di anak tangga. Baru saja selesai main golf di Philippines Navy dengan beberapa teman. Kebetulan ada kawan lama berkunjung. Dennis seorang guru besar dri Harvard. Sudah kenal sejak dua puluh tahun lalu di Yogya. Dulu kami sering terlibat dalam berbagai proyek dan penelitian.

Meski hawa panas, hati terasa dingin. Sebelum main tadi saya berseloroh sambil melepas perang urat syaraf. “When the soil is hard and the weather is friendly, I am unbeatable”. Benar benar lega, karena salah satu teman, Gregg, handicapnya banyak dibawah saya (lebih baik), dan saya belum mengalahkannya selama berbulan bulan. Hari ini saya menang dengan 2 stroke.

“Excuse me, sir”. Tiba tiba dua wanita ingin lewat. Satu dari mereka membawa bayi kecil lucu. Khas bayi Afrikano. Melihat seragamnya, dia seorang baby sitter. Wanita yang satunya membawa tas. Mereka berdua turun menuju lantai bawah tempat parkir. Saya berdiri dan beranjak ke atas. Hanya beberapa anak tangga. Terkejut luar biasa ketika seseorang menegur “Hi Ki. Long time no see”. Saya tergagap menjawab sekenanya. “Hi”. Rasa terkejut tak terkendali. Tak bisa bicara sewajarnya. Seolah melihat sesuatu yang mencengangkan. Melisa nama wanita muda itu. Usia nya sedikit di atas tiga puluhan. Wajahnya putih bersih. Kulitnya halus bak pualam. Suaminya seorang pensiunan warga Amerika. Mereka tinggal di apartemen di atas apartemen saya. Saya sering bertemu mereka dan say hallo setiap bertemu di lantai bawah. Tak kenal dekat.

Bukan kecantikannya yang membuat saya terpana tanpa suara. Bukan pula kulitnya yang putih bagai pualam yang membuat saya tergagap seribu bahasa. Tetapi bayi lucu bertampang dan berkulit Afrikano itulah yang membuat saya terhenyak. Semenjak dia melahirkan kira kira enam bulan lalu, saya tak pernah berjumpa dengan pasangan itu. Hanya kadang2 terdengar tangis bayi lirih dari lantai di atas saya. Beberapa kali si Daten, petugas keamanan di bawah, yang sering saya minta nyopir mobil saya, suka bilang “ Sir, the baby of Mr. Hodge is Afrikano”. Mr. Hodge adalah suami Melisa. Orang Amerika kulit putih asli ras Kaukasoid. Bukan African American. Tak pernah saya hiraukan cerita petugas itu. Kalau diituruti tak akan ada habisnya.

Pasangan Melisa dan Hodge nampak rukun dari luar. Walau mungkin tak terlalu serasi. Beda usia terlalu jauh. Tetapi bukan hal yang aneh. Banyak pasangan beda usia jauh. Terutama dengan wanita belia. Asal suka sama suka. Mungkin terikat dalam perkawinan. Mungkin hanya kohabitasi atau hidup bersama. Yang penting ada jaminan hukum. Di Yogya NYI juga pernah bertemu seorang wanita pengusaha kaya umur 65 tahun yang bersuamikan sambungan umur 33 tahun. Beberapa teman saya ekspat yang berusia di atas setengah abad, juga beristerikan sambungan wanita belia. Hak pribadi masing masing.

Bayi lucu bertampang dan berkulit Afrikano tadi adalah bayi Melisa dan Mr. Hodge. Lo kok bisa? Tak bisa dijelaskan dengan gamblang. Setahun lalu saya ingat sewaktu Mr. Hodge berlibur kembali ke negaranya, Melisa sering menerima teman. Kadang2 tinggal beberapa hari. Seorang Afrika yang tampan. Kebetulan setiap lewat unit saya di akhir pekan, saya tak sengaja sering melihatnya melewati tangga yang sama. Sekali lagi, Daten si petugas itu yang suka komentar. “Mrs. Melisa has an Afrikano friend”. “ How come ? Melissa and Mr. Hodge are good couple”. “ Pakitang tao Sir”. Nampak bagus di luar belum tentu nyata di dalam.

Sewaktu ditinggal suaminya libur selama sebulan pulang ke negara asalnya, Melisa katanya juga berlibur dengan teman Afrikano itu ke Boracay. Cerita yang beredar di kalangan petugas keamanan. Saya tak pernah terpikir waktu itu. Hanya sering melamun (ngudoroso, Jawa). “Aja kagetan. Aja gumunan. Aja dumeh. Aja meri”. Jangan kaget. Jangan terkejut. Jangan sok. Jangan iri. Semua sudah ada tempatnya masing masing. Sudah menjadi jalan dan keberuntungan masing masing.

Sejak kelahiran bayinya, baik Mr. Hodge maupun Melisa jarang nampak keluar. Apa lagi bersama. Nggak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Siang kemarin pertemuan saya yang pertama sejak kira kira enam bulan lalu dengan Melisa. Sesudah duduk sebentar minum air dingin di ruangan, barulah saya bisa menarik benang merah cerita cerita yang saya dengar sayup sayup dari petugas keamanan Daten.

Ingatan saya melayang ke belakang. Sewaktu kuliah genetika di tingkat satu di tahun 69. Dosen favorit genetika bertampang simpatik dan ngganteng. Saat memberr kuliah, dia menceritakan satu kasus yang dilaporkan di tahun enam puluhan di Amerika. Ada sepasang bayi kembar dari pasangan kulit putih. Bayi yang satu benar2 asli ras Kaukasoid (kulit putih). Tetapi yang satunya masuk ras Negroid (kulit hitam). Dan wanita itu mengaku dalam wawancara kalau dia memang berselingkuh dengan seorang Afrikano. Bukan hal yang sulit dijelaskan secara genetika dan secara biologis.Kembar dizygotik dengan dua telor. Masing masing dibuahi oleh sel sperma yang asalnya berlainan. Mungkin agak sukar dimengerti saja. Yang saya herankan kok ya bisa bisanya ngepaskan gitu. Antara masuknya sel spermatozoa sang suami sama sang PIL (pria idaman lain). Edaaan.

Tak tahu apa yang akan terjadi dengan pasangan Melisa dan Hodge. Urusan mereka pasti mereka mampu mengambil jalan keluar. Yang susah kalau banyak orang ikut campur. Selama enam bulan ini mereka nampak tenang di apartemennya. Mereka pasti bisa mencari jalan terbaik. Cinta memang tak pernah mengenal perbedaan umur maupun warna kulit. Hanya perselingkuhan saja jika tak hati hati bisa terpengaruh perbedaan warna kulit bo. Tak ada maksud untuk menghujat siapapun dalam tulisan ini. Hanya ungkapan keterpanaan semata mata.

Salam damai. Aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh lan aja merinan.
Ki Ageng Similikithi

2 comments:

eyang said...

gimana kalau dicoba dengan mongoloid? dijamin pasti sipit2. kacang ora ninggal lanjaran. subhanalloh.

Ki Ageng Similikithi said...

Ingat cerita saat kuliah genetika di kelas satu dari Ir. Suryo