Wednesday, April 21, 2010

Nama saya Richie

“You must be excited to go home, kuya”. Sapanya ramah ketika kami sama sama boarding di bandara DOHA. Hari Sabtu minggu lalu. Dalam perjalanan menuju Manila dengan maskapai Qatar Airways. “My name is Richie. Richie Alvares”. Sapanya lebih lanjut. Campur antara Tagalog dan Inggris. Kuya adalah sebutan untuk kakak. “Would you speak in English, please. My Tagalog is very limited”. Saya membalas ringan. “ I am sorry, I thought you are Filipino”.

Sambil menata begasi dia terus bercerita dengan ceria. Kontraknya di DOHA habis, harus pulang dulu ke Filipina. Nanti akan balik lagi dengan sponsor baru. Tak sempat bertanya kerjanya di mana. Juga tak berniat bercerita banyak. Rasanya masih capai menunggu di bandara selama lebih tujuh jam. Tak ada fasilitas eksekutif. Perjalanan pribadi, maunya irid. Kemudian wanita muda tadi terlibat pembicaraan hangat dengan penumpang disampingnya. Seorang pria Filipina dan satunya seorang Iran yeng berwajah seperti Farah Diba (isteri almarhum Syah Iran). Saya duduk di barisan kursi di seberang mereka.

Pesawat belum take off juga. Saya lihat wanita muda itu saling tukar alamat dengan penumpang2 sebelahnya. Tak ada yang istimewa. Tiba tiba dia bilang ke saya “ Hi kuya, here is my contact number. Can I have yours?. I may need your help”. Dia menyodorkan kertas tissue dengan nama dan nomer hand phone. Dan minta saya menulis nomer tilpon saya di kertas tissue. Ball point saya kebetulan nggak bagus untuk kertas tissue. Tanpa pikir panjang saya berikan kartu nama saya. Kartu nama resmi dengan alamat kantor dan nomer tilpon. Baru kemudian terpikir kalau hal itu tak pernah dibenarkan oleh kantor karena alasan keamanan. Namun tak saya pusingkan. Saya toh tak ada maksud apa apa. Dan saya juga banyak kenalan di Manila. Mau ketipu dari mana? Saya pernah kecopetan saja di Geneva, Beijing dan Los Angeles. Belum pernah di Manila setelah 11 tahun di sana. Tak ada jeleknya kalau bisa menolong, pikir saya.

Hari Minggunya saya beberapa kali terima teksnya. Hanya courtesy message. Saya balas dengan ringan. Mulanya biasa saja. Tetapi hari Senin, mulai aneh pesan pesannya. Pengin ketemu. Saya bilang saya sibuk selama hari kerja. Week end ada waktu di hari Sabtu. Saya biasa makan siang di Pan Pacific hotel karena Nyi tidak di rumah. Dia tinggal di Oman beberapa minggu. “I would be happy to have lunch with you this Saturday. Your Iranian friend is most welcome”. Siapa tahu si Farah Diba mau ikut. Bisa foto sama sama, pasang di FB. Edaaan.

Hari Senin tak ada cerita apa apa yang istimewa. Banyak pesan masuk. Banyak tilpun masuk. Sebagian besar urusan kerjaan. Satu dua dari NYI. “Nek ballroom pasangane ganti ganti lo. Aja wong siji terus terusan”. Pesan rutin, saya iyakan selalu. Tadi malam mulai terima teks aneh aneh dari Richie. Butuh ketemu sekali malam itu. Ada masalah besar. Pikir saya, saya juga tak lepas dari masalah. Tak saya perhatikan pesan pesan itu. Hanya sesekali saya balas ringan dan sopan. Jam tiga pagi tiba tiba saya dikejutkan suara tilpon. Saya lompat setengah mati, saya pikir tilpun dri Nyi. Mata masih kabur tak bisa lihat nomernya. Di seberang sana suara wanita. Suara Richie. Parau dan nggak karuan. Dia mabuk. “I need your help please. I am in Malate. I need some money”. Saya juga tinggal di Malate. Saya katakan, jangan tilpun saya malam malam gini. Teksnya masih beberapa kali datang sampai jam 5 pagi. Tak saya layani.

Pagi tadi saya datang di kantor dengan rasa kantuk. Saya serahkan nomer tipon Richie ke sekretaris saya. Please take care and advise her not to disturb me. Sekretaris saya bilang katanya Richie marah sewaktu dibilang jangan tilpon lagi. “Don’t bother, everybody has her/his own reason to be upset”. Saya juga tak peduli. Maksud saya baik. Saya percaya dan menghormati dia walau hanya bicara sesaat. Dia yang tidak menghargai nilai persahabatan. Saya selalu menghormati nilai persahabatan. Tak pernah saya menyalah gunakan persahabatan untuk kepentingan macam macam. Good bye Richie

Salam damai
Ki Ageng Similikithi

No comments: