Saturday, November 10, 2007

Khayalan dan cita cita masa kecil

Saya menulis cerita ini dalam perjalanan Manila Amsterdam. Dengan maskapai KLM. Pesawat tak begitu penuh. Langit cerah membiru di luar. Terbang melintas di atas awan. Kota Manila mendung pagi tadi. Tetapi begitu pesawat menembus awan, langit begitu cerah di atas. Badan masih terasa letih ok kurang tidur semalam. Di bandara Aquino sempat tertidur sejenak waktu massage di lounge. Lingkungan cepat berganti, seminggu yang lalu sore2 begini masih bisa menikmati keindahan sungai Tonle Sap di Phnom Penh.

Pukul 300 sore waktu Manila. Tak bisa tidur di pesawat. Hamparan awan putih sebatas cakrawala. Ingatan saya melayang lebih lima puluh tahun lalu. Sebelum masuk sekolah dasar di tahun lima puluhan. Belum punya banyak teman ok pergaulan masih terbatas. Hanya dengan teman tetangga di sebelah timur kebun kami. Tak pernah bermain melewati jalan raya. Itulah demarkasi tak tertulis dunia pergaulan saya waktu itu. Awal pengembaraan dunia. Ada dua teman seumur, Jumadi dan Kamto. Rumahnya di sebelah timur gereja. Masih ada kelompok di bawah umur kami. Jumari adiknya Jumadi. Warno adiknya Kamto dan Gondo adik saya. Mereka tak selalu ikut dengan kami bertiga . Mereka belum punya kematangan emosional mengeksplorasi dunia mikro sekitar kami.

Waktu itu saya selalu membayangkan bisa terbang di atas awan. Membelai awan putih yang lembut. Beristirahat dan tiduran di balik awan yang berarak arakan itu. Melanglang dunia. Tak hanya terkungkung demarkasi jalan raya di muka kebun kami. Kadang kami tiduran di halaman gereja dan mengawati awan yang begitu anggun di langit. Sambil memejamkan mata bermain membayangkan seolah kami berlari lari, bersembunyi di antara awan yang indah. Hanya angan angan anak kecil semata. Kebiasaan berangan angan ini terbawa sampai tua. Saya dengan anak anak saya sering bermain sambil tiduran dan membayangkan seolah terbang melintasi awan awan itu. Dunia anak anak. Hanya membayangkan dan memimpikan yang indah indah saja.

Kadang kami mengamati burung burung terbang dan bernyanyi riang di kebun. Ada kepodang, pelatuk, kutilang, kacer, derkuku, manyar, prenjak, emprit peking, srigunting, gagak dan masih banyak yang lain. Kami selalu membayangkan ingin terbang seperti burung burung itu. Selalu beradu pendapat seolah kami adalah burung burung itu. Jika dewasa kami ingin seperti kepodang yang menyanyi anggun, kutilang yang ceria. Saya selalu membayangkan ingin seperti burung sikatan yang begitu gesit dan trengginas. Tak banyak bernyanyi. Tak banyak bersuara. Tetapi kecepatan terbang dan manuvernya luar biasa. Setiap habis mengamati burung burung itu selalu adu pendapat, burung mana yang menjadi idola. Saya tak begitu menyukai burung kacer, walaupun kicauannya indah, suka makan singgat kotoran sapi.

Suatu malam ibu saya bertanya, kalau saya besar ingin jadi apa? Saya jawab, ingin jadi burung sikatan yang gesit. Ibu saya tak senang mendengar jawaban saya. Orang tak bisa jadi burung sampai kapanpun. Tak masuk akal. Paginya saya menyampaikan pesan singkat ke Jumadi. Mulai saat itu saya tak akan membayangkan ingin jadi burung. Tak mungkin. Kami tak banyak mempersoalkan impian jadi burung lagi. Tetapi tetap memuja dan menyukai berbagai jenis burung yang kami kenal. Beberapa tahun kemudian, Gondo berhasil menangkap beberapa burung kutilang dengan jerat. Entah bagaimana kemudian, dia mampu memelihara dan menjadikan burung2 itu pomah (domestic). Nggak di taruh dalam sangkar tetapi bebas di rumah kami. Kadang2 bermain dengan anjing dan mencari kutu di badan anjing tua Pleki.

Suatu pagi kami mendapat cerita tentang Antareja, satria dari cerita Mahabarata, yang mampu hidup di bawah tanah dan air. Dia hanya muncul ke permukaan kalau kangen sama kakaknya Gatotkaca yang bisa terbang. Saya lupa siapa yang cerita, mungkin
Rahmat, tetangga seberang jalan raya yang sudah sekolah. Pagi itu kami duduk duduk di tepi kolam kecil di belakang rumah mBah Kastubi, tetangga sebelah timur kebun saya. (Cucu mBah Kastubi, Purwitono adalah pembaca Koki, saat ini tinggal di Pekan Baru). Mungkin karena imbas cerita tentang Antareja, si Jumari yang kira kira baru berumur empat tahun, berteriak keras dan terjun masuk kolam. Kami tak ada yang berani terjun menolongnya. Saya berteriak sekeras kerasnya. Ada seseorang datang berlari dan menolongnya. Selamat tak ada korban. Hanya Jumari menangis berkepanjangan. Mendengar teriakan saya, saya sama Gondo, dipanggil pulang. Ibu saya memberi peringatan, tidak boleh cerita macam macam, bisa bikin nasib apes atau sial. Hanya dampak khayalan anak anak.

Kami saat itu memang belum mampu membedakan, mana khayalan, mana angan angan, mana impian, mana cita cita. Campur aduk jadi satu. Mixed up. Mulai mengarah ke jalan impian atau cita cita, beberapa tahun kemudian, sewaktu di sekolah rakyat. Guru saya bertanya, Ki kalau dewasa pengin jadi apa ? Karena sering mendengar mitos putri Solo, saya jawab lugas 'Pengin dapat isteri putri Solo". Guru saya terhenyak, Itu bukan cita cita Ndhul. Impianmu ora nggenah. Sewaktu Jumadi ditanya, dia serentak menjawab " Ingin jadi Samson". Guru saya bilang, nggak mungkin cerita Samson sudah lama berlalu ribuan tahun lalu. Tetapi dia juga yang menceritakannya ke kami. Ternyata cita cita itu masih kabur. Istilah manajemennya mungkin, 'not well defined, not tangible, not measurable and not achievable".

Ada seorang blantik (pedagang hewan sapi atau kambing) yang sering datang ke rumah waktu itu. Di mata saya dia sangat gagah.Selalu memegang pecut pendek, celana hitam sampai dibawah lutut, dan sarung melilit pinggang. Topi hitam lebar, lebih banyak dipegang di tangan dari pada dipakai di kepala. Jika menilai sapi dia tak pernah menatap langsung sapi dengan kedua matanya, tetapi hanya melirik sebelah mata. Seolah dialah penguasa dunia binatang itu. Baru kemudian saya tahu kalau dia memang juling. Suatu saat saya bilang ke ibu saya, kalau dewasa saya ingin jadi blantik sapi saja. Apa, belantik kathok kombor itu ? Tak mungkin ! Bapakmu guru, kalau mau niru jadi guru, jadilah insinyur atau dokter dulu. Saya akan berjuang dan berdoa untukmu. Mulai saat itu, cita cita mulai muncul di cakrawala. Walau belum membayangkan jelas, kayak apa itu insinyur. Dokter yang saya tahu hanya, dokter Djajus di Ambarawa. Gagah dan isterinya cantik luar biasa. Belum ada insinyur di Ambarawa waktu itu.

Jumadi kemudian pernah berucap ingin jadi guru. Bahkan dia sudah mengarang nama belakang, kalau dia nanti jadi guru. Sedangkan Kamto pengin memelihara kuda. Hanya orang yang punya ketrampilan khusus yang mampu menguasai kuda. Kami omong omong di bawah rumpun bambu waktu itu. Menyedihkan, beberapa tahun kemudian Jumadi tak meneruskan sekolahnya. Beban beaya terlalu berat waktu itu. Kamto memang punya andong dan kuda di waktu tua. Saya pernah naik andhongnya dengan anak anak sewaktu pulang dari Inggris di tahun 1983.

Cita cita memang campur aduk dengan khayalan, angan angan dan impian. Hanya perkembangan waktu yang akan mematangkan cita cita anak anak. Keputusan terpenting dalam hidup saya sewaktu lulus SMA, mau masuk ITB untuk belajar teknik atau Gadjah Mada belajar kedokteran. Saya ambil pilihan kedua oleh karena lebih dekat dengan kemanusiaan.

Mungkin hanya orang yang agak konyol yang tak bisa membedakan mana angan angan, impian dan cita cita. Di tahun tujuh puluhan, ada seorang tokoh yang mimpi jadi presiden RI. Katanya ketiban wahyu. Kemudian dia mengumpulkan teman temannya dan membuat surat pernyataan untuk ditanda tangani presiden RI waktu itu. Isinya presiden RI menyerahkan kekuasaan sepenuhnya pada sang pemimpi ini. Semua rencana sudah matang, tetapi baru mau minta waktu ke Cendana, sudah ditangkap Kopkamtib, dituduh makar. Masuk penjara 7 tahun.

Untung impian impian alamiah masa kecil saya waktu itu hanya untuk diri sendiri dan terbatas dalam kelompok kami saja. Dan belum ada Kopkamtib waktu itu, yang mampu mendeteksi mimpi. Terutama mimpi yang bisa mengganggu stabilitas nasional. Ada radar khusus untuk ini, dipesan dari seorang dukun yang berkaliber internasional. Banyak anak berkhayal ingin jadi presiden. Kalau Kopkamtib masih ada anak anak ini bisa di litsus atau opsus. Paling tidak bapak ibunya diberi pengarahan politik stabilitas nasional.

Saya tak dapat isteri putri Solo. Juga tak pernah pacaran sama orang Solo. Selalu kalah wibawa berhadapan dengan gadis Solo di tahun tujuh puluhan. Tetapi Nyi Ageng kalau tanggal muda juga ceria kayak putri Solo. Walaupun tak berjalan seperti macan luwe (macan lapar).

Ah angan angan saya kok kapan kapan pengin ngumpulkan teman teman masa kecil dulu. Mengevaluasi kayalan kayalan dan impian masa kecil dulu. Mumpung masih ada waktu.

Di luar sana matahari masih bersinar terang. Pramugari lewat menawari minuman. Saya ambil champagne.

Salam dari balik awan.

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber 7November 2007)

No comments: