Wednesday, November 21, 2007

Gelar

Saya menulis tulisan ini dalam perjalanan Manila – Jakarta, dengan Singapore Airlines. Transit tiga jam di Singapura. Ada pertemuan di Jakarta sejak dua hari lalu. Tak mungkin mengikuti sejak awal karena masih banyak pekerjaan di kantor. Sebelum berangkat tadi saya mengisi formulir pendaftaran suatu konperensi ilmiah di tahun 2008. Setelah nama, ada isian untuk mencantumkan gelar, professor, Dr atau Mr. Isian biasa untuk forum forum ilmiah di manapun.

Ingatan saya kemudian melayang ke penggunaan gelar. Apapun gelar itu, apakah akademis maupun non akademis, di kalangan masyarakat umum, banyak orang beranggapan bahwa pencantuman gelar akan memberikan nilai lebih bagi yang menyandang. Entah itu tingkat kepercayaan masyarakat, popularitas, rasa percaya diri dan lain sebagainya. Sah sah saja orang punya harapan dan persepsi masing masing asalkan tidak merugikan atau menipu orang lain.

Saya ingat lebih tiga puluh tahun lalu, seorang teman sekelas saya, begitu lulus dokter muda dan berhak menyandang gelar Drs. Med, dia langsung mencetak kartu nama. Setiap berkenalan dengan orang tua gadis yang diapeli, tak lupa dia memberikan kartu namanya. Saat dia ngapeli seorang gadis di Solo, ibu si gadis itu katanya sangat gembira melihat kartu namanya. Calon menantu bergelar doktorandus medicinae. Teman saya tadi orangnya kalem, tak banyak bicara, tak suka sombong. Kartu nama itu bukanlah lambang kesombongan. Tetapi hanyalah refleksi jati diri agar tambah mantap cari pacar. Lebih dari itu,mungkin sekedar alat promosi cari pasangan hidup. Waktu itu saya berpikir, cari pacar kok pakai modal kartu nama. Seperti detailing obat saja.

Dalam majalah majalah umum sering kita lihat seorang tokoh para normal, peramal nasib, atau yang lain mencantumkan gelar Prof. Suatu saat saya sempat bertanya ke salah satu dari mereka mengenai gelar itu. Katanya gelar itu bukanlah gelar akademis Professor. Tetapi Professional, walaupun peramal atau para normal, toh itu juga profesi. Sah sah saja asalkan tak melanggar hukum dan merugikan orang banyak. Seorang professor akademik pun kadang kadang juga suka meramal nasib. Malah dalam beberapa kasus, susah membedakan antara professor ilmuwan dan tukang ramal. Apa salahnya ?

Sering orang tidak dipanggil namanya langsung. Tetapi didahului dengan profesi didepan namanya. Pak/Bu Guru. Di Malaysia jadi Cikgu (Encik Guru). Pak/Bu Dokter, Pak Camat, pak lurah, pak carik. Ki Dalang Mantingan, Ki Dalang Nartosabdo. Dalang memang profesi yang disegani dalam masyarakat Jawa, oleh karena tidak semua orang bisa jadi dalang. Profesinya mulia karena menghibur orang dengan cerita wayangnya. Hanya dalam jaman orde baru, istilah dalang dipakai dalam konotasi negatip. Sebagai pengganti actor intelektual. Yang mendalangi kerusuhan, keonaran atau gerakan subversi.

Yang menjadi masalah kalau pencantuman gelar itu dipakai untuk menipu atau merugikan orang lain. Di tahun tujuh puluhan, ada orang yang mencantumkan gelar PHD dalam iklan di surat kabar. Dia membuka universitas baru dan menerima pendaftaran mahasiswa. Ternyata universitas itu fiktif semata. Pada waktu di pengadilan dia merasa tidak memasang gelar palsu. PHD artinya Ponakan Haji Djamaludin katanya. Maaf saya tidak bermaksud melecehkan Bapak/Ibu Djamaludin. Ini berita dalam surat kabar. Seandainya dia mencantumkan gelar PHD, tetapi nggak menipu, nggak ada orang yang memusingkan. Mau ponakan haji Djamaludin mau tidak siapa mau urusan.

Di masa lalu gelar bangsawan selalu digandrungi banyak orang. Entah itu raden mas, raden rara, raden panji. Jika nggak salah raden mas (RM) atau raden rara (RR) sebenarnya hanya boleh dipakai untuk putra putri raja. Raden panji untuk cucu raja. Ingat cerita roman antara Panji Semirang dan Galuh Candrakirana dari Kediri dan Singosari. Jika turunan ningrat biasa hanya ditulis Raden, disingkat R. Saya masih ingat sewaktu SMP, ayah teman putri saya, namanya Raden Sudjiwo. Papan nama di depan rumahnya tertulis RS Djiwo. Sewaktu kami main ke rumahnya salah seorang teman saya yang lain, Ripno, membaca papan nama itu keras keras "rumah sakit jiwa". Pak Djiwo ternyata sedang membaca koran diberanda samping, dan pasti mendengar suara teman saya tadi. Kami nggak berani lagi datang ke rumahnya.

Di Malaysia, tokoh2 masyarakat yang dianggap berjasa sering diberi gelar kehormatan oleh Sultan. Seperti kebiasaan di Inggris. Gelar ini bisa Datuk, bisa Tan Sri. Saya nggak tahu bedanya. Kebiasaan ini juga sering kita lihat di keraton Yogya, Solo atau Mangkunegaran, yang memberikan gelar kepada tokoh masyarakat KRT (Kanjeng Raden Tumenggung).

Saya nggak tahu persis asal mula gelar Ki Ageng. Dalam sejarah Jawa, biasanya gelar Ki Ageng dipakai untuk pemimpin daerah otonom (perdikan) di bawah kerajaan. Dalam legenda Jawa yang terkenal adalah Ki Ageng Pemanahan yang menurunkan raja raja di Mataram. Konon Ki Ageng Pemanahan punya sahabat bernama Ki Penjawi. Suatu saat Ki Penjawi dalam mimpinya mendapat wangsit bahwa jika dia minum air kelapa muda dari pohon di dekat rumahnya, kelak anak cucunya akan menjadi raja raja di Jawa.

Dia kemudian mengambil kelapa tadi dan di taruh di meja. Oleh karena belum dahaga benar, dia pesan ke Nyi Penjawi kalau air kelapa muda itu akan diminum nanti siang, jangan sampai diminum. Dia pergi sebentar berjalan jalan supaya haus, agar bisa minum air kelapa muda itu sekaligus. Pas dia pergi Ki Ageng Pemanahan, sahabatnya datang bertamu. Ada kelapa muda di meja, siapa punya Nyi ? Nyi Penjawi lupa pesan suaminya. Air kelapa muda itu diminum habis oleh Ki Ageng Pemanahan.

Betapa kecewa Ki Penjawi sewaktu datang melihat air kelapa muda itu telah habis. Dia hanya berkata kepada sahabatnya " Ki anak cucumu akan menjadi raja raja di Jawa". Konon kemudian raja raja Mataram selalu memberi status tanah perdikan (daerah otonom) kepada anak cucu Ki Penjawi. Selang beberapa generasi kemudian, salah satu kepala daerah perdikan di selatan Yogya adalah Ki Ageng Mangir. Tak jelas apakah dia juga keturunan Ki Penjawi. Juga tak jelas apakah yang ini, sekedar legenda atau kisah nyata di abad ke enam belas. Kisah tragis yang mungkin tak pernah terungkap.

Ki Ageng Mangir dipercaya mempunyai kesaktian lebih oleh karena mempunyai tombak keramat. Dia dicap sebagai pembelot oleh karena tak pernah mau menghadap ke keraton. Suatu saat Sultan menyuruh salah satu putrinya yang cantik untuk menjadi penari keliling (ledhek) ke daerah Mangir. Ki Ageng Mangir melihat ledhek canyik itu akhirnya jatuh cinta dan mengawininya. Ki Ageng Mangir begitu mencintai dan menyayangi istrinya yang sebenarnya adalah putri keraton Mataram. Sewaktu putri hamil muda, baru mengaku kalau sesungguhnya dia adalah putri dari Mataram. Begitu cintanya kepada istrinya, Ki Ageng Mangir akhirnya luluh dan ingin menghadap dan mohon maaf ke keraton. Suatu hari Ki Ageng Mangir dan istrinya menghadap ke keraton. Pada saat dia bersujud mencium kaki raja Mataram, kepalanya dibenturkan ke kursi singgasana oleh Sultan dan meninggal seketika. Saya selalu mengagumi Ki Ageng Mangir, demi cintanya ke istri dia mengorbankan jiwanya. Dia mengorbankan ambisi pribadi membelot dari Mataram. Kisah cinta dan pengkhiatan yang berakhir tragis. Kerajaan kerajaan di Jawa selalu diwarnai kisah pengkhianatan dan perselisihan keluarga semenjak jaman Kediri dan Singasari. Terbawa sampai masa kini, pada saat pergantian kekuasaan. Hanya penyelesaiannya sekarang lebih halus.

Sewaktu saya masih kecil, mungkin kelas dua SR, kakek saya selalu bercerita tentang Ki Ageng Singayuda. Beliau adalah moyangnya entah berapa generasi sebelumnya. Saya pernah mengunjungi makamnya. Dia mengasingkan ke daerah pelosok karena perpecahan dan perselisihan di Surakarta. Konon dia adalah salah satu pengikut Raden Mas Said melawan Belanda, dan yang kemudian bergelar Mangkunegoro I.

Ki Ageng yang saya pakai tak berarti apa apa. Hanya kebetulan. Tak ada pengakuan, tak ada akreditasi. Tak ada otonomi. Mau nulis ke KOKI cerita pribadi, ya masih harus ada ijin dari Nyi. Apalagi mau ballroom. Sewaktu masih muda, jika menghadapi masalah saya selalu berpikir 'everything is under control'. Sesudah tua ini, saya mengatakan 'everything is under control. But not by me". Tetapi jelek jelek gelar Ki Ageng menambah PD, walau gelar karbitan. Sering terima email, bahkan minta nasehat seolah saya tokoh spiritual beken.

Gelar saya yang resmi Doctor medicinae (Dr) di tahun 1975, Doctor Philosophiae (PhD) di tahun 1983 dari UK. Tetapi saya jarang menulis gelar2 tersebut, kecuali gelar Dr di kertas resep sewaktu masih praktek dulu di akhir tahun tujuh puluhan. Saya sekarang banyak bergerak diluar bidang dari gelar gelar tersebut. Nggak enak mau selalu mencantumkannya.
Salam

Ki Ageng Similikithi

Dimuat di kolom kita Kompas Cyber Media, 22 November 2007

5 comments:

REZD4 said...

Tolong kirim silsilah keatas dari Ki Ageng Singayuda donk,Kalo moyangku Senopati Surayuda adik dari singayuda tapi catatan silsilah keatasnya dah angus kemakan api

Yulius Setiawan said...

Pakde, mo tanya, apakah benar KRT Singayuda atau Surayuda pernah hijrah ke Jawa Timur ke lereng gunung penanggungan atau skitarnya?

Yulius Setiawan said...

Pakde, mo tanya, apakah benar KRT Singayuda atau Surayuda pernah hijrah ke Jawa Timur ke lereng gunung penanggungan atau skitarnya?

Yulius Setiawan said...

Pakde, mo tanya, apakah benar KRT Singayuda atau Surayuda pernah hijrah ke Jawa Timur ke lereng gunung penanggungan atau skitarnya?

Ki Ageng Similikithi said...

Maaf Rezda dan Yulius Setiawan.
Baru kali ini membaca pesan anda sesudah lebih dri 3 tahun. Kami tidak punya silsilah dari Singayuda. Ternyata ada beberapa nama Singayuda. Di Purbalinga, di Sragen, di Salatiga. Apakah orang yang sama? Saya tidak tahu. Mungkin iya munkin tidak.
Salam damai