Sunday, August 2, 2015

Kepalsuan akademik



Siang hari pukul 1430, musim gugur tahun 1980, NewCastle Upon Tyne. Saya sedang memasukkan hasil hasil pembacaan spectrometer ke dalam log book laboratorium. Hasilnya stabil dan memuaskan.  Metoda analisis kadar INH dalam darah yang nantinya akan dipakai dalam riset utama saya untuk PhD thesis. Tiba tiba tilpon berdering. Suara Vivienne terdengar lembut. Budi, please come down to the Library, professor is waiting. Agak kaget saya. Toh nanti jam 1500 semua staf akan turun kumpul minum kopi di sana. Pasti ada sesuatu.

Saya bergegas turun. Sebagian besar staf sudah disana. Kami berempat yang sedang menjalani program doctor waktu itu, Grant, Jeffery, Olivia dan saya. Semua staf senior sudah disana, Nick, Ken, Andrew. Semua diam tidak ada yang ngobrol seperti biasanya. Tiba tiba masuk professor, MDR yang juga supervisor saya,  bersama associatenya, Peter. Telah terjadi pemalsuan data di unit yang kita cintai ini. Saya baru saja menerima pengunduran diri Peter. Kami semua terhenyak. Peter berkata lirih. My sincere apology. Thank you everybody for support and friendship over the years. Peter keluar dari ruangan.  Itu penampilan terakhir Peter di unit, dan dia tidak pernah datang lagi. MDR meneruskan. Ini bukan tradisi bagus, bukan ciri akademik di UK dan tidak boleh terulang lagi. No more talks outside this room. Saya begitu terkejut, belum sepenuhnya tahu apa yang terjadi. Mencoba bertanya, tetapi MDR  hanya menatap saya , tidak menjawab, dan meninggalkan ruangan. Sore itu senyap di seluruh unit. Tragedi besar telah terjadi.

Beberapa bulan sebelumnya Peter telah menerima penghargaan penelitian dari European Society. Tidak besar dinilai dari sisi uang. Tetapi penelitiannya termasuk kategori frontier research waktu itu, dan masuk penelitian papan atas di Eropa. Aktifitas enzim metabolisme senyawa karsinogen di kulit. Pada waktu seminar Department di awal tahun, saya sempat menanyakan, tanpa pretensi apa apa, korelasi biologis itu terlalu bagus. Saya tidak meneruskan too good to be true.  Seorang peneliti dari London berbulan bulan mencoba replikasi metoda yang telah dipublikasi dalam European Journal tadi, tetapi selalu gagal. Kemudian datang di NewCastle, bertemu dengan Peter. Di hari terakhir itu, dia tidak bisa menemukan data pembacaan spectrometer di log book. Log book yang sebagian besar saya dan Peter yang menggunakan. Sebelum makan siang, peneliti dari London itu pamitan ke MDR. Something is not normal. I could not find the data in the log book. Sesudah makan siang, jam 1400 Peter dipanggil MDR, kemudian kami semua dipanggil jam 1430. Penyelesaian sangat cepat, swift and decisive. Tak lebih lima menit. Ada pesan singkat disampaikan Vivienne, jangan temui MDR dulu. Give him a break. Kami biasa bertemu rutin setiap minggu sekali atau dua kali, membahas penelitian atau yang lain. MDR masih muda, umurnya hanya 3 – 4 tahun diatas saya. Tokoh terkemuka di Eropa.  Tidak banyak bicara dan sangat berwibawa. 

Kami tidak pernah bertemu dengan Peter sesudah itu. Hanya dua tahun kemudian, dia datang ke rumah, mengantar teknisi dari Indonesia yang tinggal bersama kami, sesudah mancing di laut di suatu akhir pekan. Dia membawa lebih dari 10 kg ikan, yang sebagian besar dengan telornya. Kami harus membaginya di kalangan teman teman Indonesia untuk menghabiskan ikan dan kaviar nya. Peter tidak lagi bekerja di bidang yang menghantarkannya menjadi associate professor. Dia merintis profesi lain dan telah mapan di salah satu perusahaan asuransi besar di Eropa.

Pelajaran yang teramat berharga bagi saya dalam perjalanan karier saya. Pemalsuan atau fabrikasi data penelitian juga  bisa terjadi di universitas terkemuka yang sudah berumur beratus ratus tahun, dan di negara yang maju dan sudah mapan seperti Inggris. Tetapi penyelesaiannya begitu tertata rapi, cepat dan  tanpa ragu. Tidak perlu ramai ramai. Sesuatu yang kemudian saya lihat berbeda sekali dengan situasi di tanah air. 

Pemalsuan data akademik atau plagiarisme (penjiplakan) karya ilmiah juga sering terjadi di dunia akademik kita. Yang berbeda adalah penyelesaiannya. Tidak pernah ada keputusan langsung, mesti berbelit belit dan beramai ramai. Kasus plagiarisme (penjiplakan) atau pemalsuan data selalu menjadi bahan panas untuk media massa. Para selebriti mulai dari penyanyi, penari, pelawak, politisi DPR, semua diajak berduka ria di koran dan televise. Bencana akademik. Tragedi intelektual. Erosi etika. Dan istilah apa lagi yang didengang dengungkan. Bahkan para penggubah lagu terinspirasi mengarang lagu Kepalsuan. Penyanyi dangdut pun ikut larut bernyanyi tentang kepalsuan dan pemalsuan. Sama sama makan batuuuu makan batuuuu.

Pemalsuan akademik dan plagiarisme dibahas dalam konteks pemalsuan barang apa saja.  Mulai dari pemalsuan ijazah, pemalsuan status perkawinan, katanya perjaka kok sudah punya isteri empat. Pemalsuan merek, pemalsuan olie. Pemalsuan organ tubuh, dulu dada rata seperti meja seterika kok pulang dari luar negeri, menjadi berdada ranum seperti papaya. Ini pembohongan publik. Sebaliknya yang bersangkutan berkilah, ini onderdil saya sendiri, suka suka lah. Para politisi lalu membuat RUU kepalsuan.  Mengenai apa saja yang bisa dipalsukan. Hanya gigi palsu yang sudah diterima umum.
 
Begitu riuh rendah, duka ria pemalsuan dan kepalsuan akademik. Tapi jarang ada keputusan yang decisive tanpa ragu. Semua dalam bayang bayang keraguan. Ketika seorang pimpinan PT abal abal mencantumkan titel PhD secara resmi, dia bebas dari ancaman hukuman karena dalam persidangan bisa meyakinkan aparat. Itu bukan Philosophiae Doctor, tetapi Ponakan Haji Djamaludin alias PhD. Ketika seorang calon ikut PILKADA dan mencantumkan gelar palsu DR, dia tetap lolos sebagai calon, karena syarat untuk calon hanya ijazah SMA bukan ijazah Doktor. Pembohongan publik, bukan aib yang bisa mengeliminer seseorang dari pencalonan PILKADA.  Itu norma yang berlaku. Etika adademik hanya dipandang sebagai norma. Bukan sesuatu yang harus menjadi penuntun dalam kehidupan sehari hari.

Dan kita selalu berambisi membuat norma norma baru, dibidang apa saja. Norma hukum, norma sosial, norma sopan santun, norma politik, norma pejabat publik, norma anggota partai dan norma DPR dan lain lain. Dan ketika norma norma itu saling berbenturan seluruh bangsa menjadi bingung, enaknya bagaimana, sama sama mempunyai dasar norma dan aturan  legal. Keputusan lembaga peradilan pun bisa saling berbenturan, tergantung siapa dan mana norma yang dipakai.
Ah saya  juga terseret ikut bingung. Bingung bingung aku bingung …………. Menjadi lagu yang top.

Salam damai.

Ki Ageng Similikithi


No comments: