Saturday, October 3, 2015

Pengorbanan sia sia

Ingatan samar samar. Masa masa awal menempuh pendidikan SMA di Solo, di tahun 1965. Beberapa bulan tinggal di rumah pondokan di Sambeng. Ibu kost seorang ibu setengah umur yang baik hati, bu Dasuki. Sebagian besar teman kost berasal dari Jawa Timur, Sragen, Ponorogo, Walikukun, Madiun, Kediri dan lain lainnya. Salah satu bernama Ping Kiat, satu tahun diatas saya, duduk di kelas dua SMA Warga. Jika tidak salah dia berasal dari Sragen.

Sore hari biasanya waktu yang mengasyikkan. Habis mandi jika tidak ada acara keluar, selalu duduk duduk di ruang depan sambil mendengarkan radio. Belum umum televisi waktu itu. Acara radio yang paling menarik adalah pilihan pendengar dari RRI Surakarta dan radio Australia. Ping Kiat anak yang ceria, seperti tidak pernah mengenal kesedihan. Baginya tidak ada satu masalah yang membebani, semua dianggap ringan. Suka bercerita dan banyak bicara. Ada dua mahasiswa yang kost disana, keduanya kuliah di UBK (Universitas Bung Karno). Ping Kiat selalu dominan dalam debat. Tidak ada satupun teman kost yang bisa berdebat dengannya, termasuk ke dua mahasiswa tadi.

Hanya beberapa bulan tinggal di tempat kost di Sambeng, saya kemudian pindah bergabung dengan kakak di Badran Kota Barat. Tetapi saya masih rutin main ke tempat pondokan di Sambeng. Tetangga di sebelah Timur rumah pondokan itu, keluarga dengan beberapa anak putri. Hanya satu yang saya kenal yakni mbak Sri Sutarni. Sekarang beliau menjadi dosen di FK UGM, ahli syaraf. Di sebelah Barat, di seberang jalan, ada rumah besar dimana guru stenografi, pak Bustami, juga mondok. Dia sebenarnya masih duduk di bangku kuliah di UBK. Dia suka mendikte, dan kami harus menulis cepat dengan huruf steno. Masih teringat jelas yang dia diktekan di suatu siang. “ Ada desas desus. Tusuk satai itu. Arifin makan sayur tahu. Guru kami namanya pak Bustami”. Tiba tiba Diono, teman di belakang bangku saya menggumam meneruskan kalimat pak Bustami, “ Bustami gathel”. Pak Bustami langsung teriak “ Apa? Kamu nantang ya? Keluar kamu”. Diono keluar kelas menunggu sampai jam pelajaran selesai. Gathel memang bukan kata yang baik, umpatan negatip model Solo terhadap pernyataan seseorang.

Suatu petang ketika saya main ke tempat pondokan, Ping Kiat masih duduk di ruang depan. Dengan bu Dasuki. Teman teman lain berada di kamar masing masing. Suasana tidak seceria biasanya. Bu Dasuki tanya “ Baru genting, kok malam malam masih kluyuran nak Bud ?”. Ping Kiat langsung bilang, sebaiknya jangan keluar malam, bahaya, kondisi baru gawat. Memang Solo masih genting waktu itu. Setelah peristiwa Gestapu yang menggemparkan itu. Banyak culik menculik. Saya sebenarnya tidak keluar main. Tetapi harus menjemput kakak nanti jam 830 di Apotek Medika, dekat stasiun Balapan. Berangkat dari rumah lebih awal dan mampir di Sambeng, yang satu arah dengan stasiun Balapan. Ping Kiat tidak banyak bicara, tetapi bilang kalau mulai minggu besok harus ikut latihan militer Kojarsena, Korps Pelajar Serba Guna, di sekolahnya SMA Warga.

Kojarsena adalah siswa siswi SMP dan SMA, yang dilatih militer untuk membantu melawan gerakan komunis. Sebelumnya Kojarsena, dibentuk dalam rangka gerakan ganyang Malaysia. Sekolah saya, St. Josef sudah menyelesaikan latihan berat itu dua minggu sebelumnya. Kami semua mengikuti latihan militer itu selama dua minggu. Latihan berat, tidak hanya baris bebaris, benar benar latuhan militer, di sekitar lapangan Manahan. Anak anak muda, semua antusias berlatih. Kadang berlebihan. Komandan kompi sekolah kami, kebetulan ayahnya seorang polisi lalu lintas. Dia selalu memakai seragam Kojarsena, dengan sabuk dan wadah pistol dari kulit, dan topi polisi lalu lintas. Ada teman lain yang memakai topi bekas kondekur kereta api warna merah, karena ayahnya seorang kondektur sepur. Topi adalah simbol kegagahan dan kejantanan.

Banyak pengalaman konyol selama latihan militer. Salah seorang teman saat latihan penyusupan, harus merayap tiarap menelusuri jalan di sebelah utara Manahan. Bolak balik diperingatkan pelatih agar bersama teman satu regu di sisi kiri jalan. Tetapi dia ambil enaknya merayap tiarap di atas rerumputan disebelah kanan jalan. Kebetulan pakai baju merah. Suatu saat melewati segerombolan lembu yang sedang merumput, salah satu lembu mengamuk menyerangnya. Bajunya habis koyak di seruduk sapi. Dia teriak meraung menangis kesakitan. Untung saya berada di dekatnya, saya berpengalaman menangani sapi sejak sekolah dasar di Ambarawa. Sapi itu bisa ditenangkan, tidak mengejar teman yang berbaju merah tadi. Untung hanya bajunya yang terkoyak.

Suatu pagi kami satu regu diberi tugas mengamankan satu lokasi di kampung sebelah utara Sambeng. Hanya diberi peta. Instruksi oleh pelatih jelas, temukan lokasi dan amankan. Tunggu perintah lebih lanjut. Kami satu regu, 13 orang berangkat dengan segala atribut, tongkat bamboo dan berbagai dedaunan untuk penyamaran. Tidak sulit menemukan lokasi, rumah reyot ditepi selokan, pinggir desa. Dengan serius kami mengepung lokasi itu, dari pintu masuk depan dan belakang. Saya dan dua teman memasuki halaman samping di pinggir selokan. Ada WC terbuka disana. Seorang pria setengah umur sedang berak, menghamburkan isi perut, seperti rentetan tembakan. Kami menunggu instruksi lebih lanjut. Kira kira 15 menit stelling mengepung rumah reyot yang penghuninya baru berak besar besaran, kami diinstruksikan untuk menarik pasukan mundur kembali ke induk pasukan. Mission accomplished. Menonton orang sedang berak berhamburan. Saya yakin dalam perang sesungguhnya apa sempat mengepung orang sedang berak.

Suatu sore, beberapa hari sesudah saya berkunjung ke Sambeng, saya mendengar berita mengejutkan di radio. Enam siswa SMA Warga tewas dalam latihan kepemudaan. Tidak diberitakan lebih lanjut. Seperti berita biasa. Esoknya di sekolah ramai dibicarakan, jika ke enam siswa SMA Warga tersebut meninggal karena tenggelam di kali Pepe, saat latihan Kojarsena. Belum jelas nama nama korban. Pulang sekolah saya bermaksud mampir ke rumah pondokan di Sambeng. Hati saya terguncang ketika diberitahu, Ping Kiat tewas di kali Pepe. Teman teman masih terguncang. Ping Kiat yang ceria tidak lagi bersama diantara mereka. Dalam latihan Ping Kiat bersama regunya diharuskan menyeberangi kali Pepe, dia sudah sampai di seberang sebenanrnya. Tetapi dia balik kembali ke sungai untuk menolong teman yang tidak kunjung muncul dan mencapai seberang. Pelajar itu tersedot oleh pusaran air di belokan sungai. Ada cerita bahwa rombongan itu telah diingatkan oleh penduduk untuk tidak menyeberang di tempat itu. Tidak jelas mengapa pelatih mengambil resiko.

Sorenya radio Australia memberitakan insiden itu, termasuk bantahan dari petinggi militer bahwa tidak ada latihan militer, yang ada adalah latihan ketangkasan pemuda. Batin saya, kalau bukan latihan militer, lantas latihan apa ? Apakah latihan mengintip orang berak di selokan ? Enam nyawa melayang sia sia, anak anak muda yang masih punya cita cita panjang untuk masa depan. Tidak bisa membayangkan kesedihan ayah dan ibu serta saudara saudara korban. Jika dikatakan pengorbanan, pengorbanan sia sia. Mungkin malah jauh dari pengorbanan, mereka menjadi korban permainan kekuasaan semata mata yang menggunakan pelajar sekolah.

Hanya catatan kecil mengenang seorang teman. Semoga engka damai dan bahagisa di alam sana.

Salam damai,
Ki Ageng Similikithi

https://www.facebook.com/notes/santoso-budiono/pengorbanan-sia-sia/10153444549083467?pnref=lhc






No comments: