Saturday, January 22, 2011

Tapa wudo

Sabtu siang menjelang jam dua. Habis mandi saya mengenakan kimono yang jarang sekali saya pakai. Kimono sutera dibeli di Hanoi beberapa tahun lalu. Tak ada alasan khusus memakainya. Badan nggak enak sejak beberapa hari ini, terasa gerah sekali. Rasanya pengin menanggalkan pakaian, tetapi tak bebas karena ada pembantu hari itu. TV Al Jazeera sedang menyiarkan perdagangan ginjal di Filipina, yang sedang hangat menjadi bahan perdebatan. Tetapi bukan itu yang menarik perhatian saya. Semalam ada tayangan yang memperlihatkan demo di salah satu negara Eropa Selatan yang sedang dilanda krisis keuangan. Lupa dimana. Kapoklah, negara negara ini yang selalu gembar gembor memojokkan Indonesia. Yang menarik, beberapa peserta demo laki dan wanita menanggalkan seluruh pakaiannya. Demo telanjang.

Beberapa hari lalu tersiar berita di Kompas, dua orang wanita di salah satu kota di Jawa Timur, saat eksekusi rumah tinggalnya, melakukan protes dengan menanggalkan pakaian, alias telanjang. Kasihan padahal mereka berdua sudah mempunyai cucu. Petugas polisi pamong praja tak bergeming. Eksekusi jalan terus. Tak peduli ada orang protes telanjang. Ini tugas. Masalah prinsip, rawe rawe rantas malang malang putung. Pikirnya mungkin, toh mereka nenek nenek. Tak pernah bergeming naluri lihat nenek nenek telanjang. Emangnya gua pikirin. Lain kalau yang telanjang itu wanita muda, sokur kalau bahenol, pasti lain jadinya. Orang bisa kehilangan kendali sampai berani melanggar norma kemudian bertelanjang di muka umum pasti karena rasa keputusasaan yang begitu dalam. Frustasi mau apa lagi. Semua pilihan telah ditempuh.

Dalam sejarah Jawa, dikenal luas kalau putri Retna Kencaca, putri Sultan Tranggana di Demak pernah bertapa telanjang di bukit Donorojo di tahun tahun 1549. Saya pernah melihat pertapaannya di tahun 1962, di lereng yang sangat lebat dan tak terawatt waktu itu. Beliau lebih dikenal luas dengan nama Ratu Kalinyamat. Kakaknya, Sunan Prawoto dibunuh oleh Aryo Penangsang, bupati Jipang atas restu Sunan Kudus. Konon keris yang dipakai juga milik sunan Kudus. Bersama sang suami, Pangeran Hadiri, beliau menemui dan protes ke Sunan Kudus. Tetapi sama sekali tak dihiraukan. Bahkan dalam perjalanan pulang ke Jepara, sang suami tercinta, Pangeran Hadiri gugur dalam penghadangan oleh anak buah Aryo Penangsang.

Ratu Kalinyamat bertapa telanjang dan bersumpah tidak akan mengenakan pakaian sebelum menginjakkan kaki di kepala Aryo Penangsang. Aryo Penangsang kemudian terbunuh oleh rekadaya Sultan Pajang Hadiwidojo ( nama mudanya Joko Tingkir). Dalam cerita saya dulu, konon menurut Dulmuji tetangga tukang cukur saya di Ngampin Ambarawa di tahun lima puluhan dulu, Joko Tingkir itu dulunya pemuda dari Wonogiri, yang menjadi tukang cukur di Demak, kemudian menjadi abdi dalem di keraton. Saking setianya kemudian diambil menantu oleh Sultan Trenggana. Bayangkan di abad ke enam belas seorang buruh migran, bisa jadi menantu raja Demak dan menjadi raja di Pajang. Moga moga ada TKI yang menjadi menantu Sultan di Malaysia, sokur bisa menggantikan jadi Sultan, siapa tahu.

Kembali ke cerita semula tentang putri Retna Kencana atau Ratu Kalinyamat. Aryo Penangsang kemudian tewas di tangan Sutawidjaja, putra Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani dan Sutawidjaja memang diminta oleh Sultan Hadiwijoyo untuk membunuh Aryo Penangsang. Sutawijaya ini yang kemudian menurunkan dinasti raja raja Mataram.

Dengan bertapa telanjang, apakah menunjukkan Ratu Kalinyamat seorang putri yang lemah ? Sama sekali tidak. Beliau menjadi penguasa di Jepara, dan dua kali mengirimkan bala tentara menyerang Portugis di Malaka di tahun 1550 dan 1565, walau tidak berhasil. Beliau dikenal dalam sejarah Portugis sebagai Ratu Jepara, wanita yang kaya, berkuasa dan pemberani. Silahkan baca kisah lebih lengkap di Wikipedia. Hanya karena rasa frustasi berlebihan yang membuat beliau sampai bertapa telanjang. Sunan Kudus yang dianggap tokoh panutan spiritual ternyata telah berbuat tidak adil dan berat sebelah memihak ke Aryo Penangsang. Kehilangan kepercayaan dan rasa hormat akan tokoh panutan dan aparat juga sering melanda mayarakat modern saat ini. Tak sulit menunjukkan contohnya, termasuk nenek nenek yang protes telanjang tadi.

Ingatan saya melayang ke percakapan dengan teman lama saya bung Nunung, kami sumpah dokter sama sama di tahun 75. Kami main golf bersama Desember kemarin. Dia baru saja kehilangan isteri yang sangat dicintainya beberapa hari sebelumnya. Kami terlibat percakapan ringan di padang golf Adisucipto. Tak tentu arahnya. Dia sama sama akan pension setahun lagi. Enaknya ngapa kalau pension ya? Gimana kalau bentuk kelompok nyanyi pensiunan ‘The Pensioners”? Ide yang bagus, cari teman pensiunan dokter yang suka nyanyi nggak sulit. Cari yang agak boyish, jangan yang moralis.

Sambil lalu kami bicara tentang sepak bola dan PSSI, kebetulan dia mantan kiper andalan PSIM di tahun tujuh puluhan. Lihat kemelut sepakbola Indonesia atau PSSI, kok nggak ada yang berani tampil protes telanjang di lapangan ya? Dari pada lempar lempar batu di jalan, aman protes telanjang saat ada pertandingan akbar. Tapi siapa yang mau gondhal gandhul telanjang di lapangan mengorbankan kehormatan pribadi ? Paling disemprit dan diberi kartu merah.

Melihat berbagai penyimpangan hukum dan kewenangan aparat di depan mata, seperti kasus penyimpangan pajak oleh Gayus, penyimpangan kewenangan aparat hukum, aparat eksekutif dan legislatif, membuat banyak orang frustasi. Apa yang bisa dilakukan untuk perbaikan negeri ini? Siapakah yang berwenang memperbaiki? Kami berkelakar, gimana kalau ramai ramai para tetua pensiunan ini protes telanjang saja. Protes damai, tak pakai batu atau parang, hanya telanjang saja duduk duduk di muka gedung DPR sana. Mungkin mereka yang berwenang bisa sedikit tergugah nuraninya. Ide yang bagus, perlu dipertimbangkan.

Habis mandi dan hanya memakai kimono ini, saya membayangkan jika harus demo telanjang di Senayan. Pasti dingin (isis) rasanya. Tak mungkin bisa menarik perhatian para penguasa dan aparat. Paling banter pada menggerutu, gondhal gandhul orang tua nggak tahu malu. Mungkin lain kalau yang protes telanjang itu, penyanyi (ndhang ndhut) yang molek, pasti semua anggota Dewan, anggota Komisi, pimpinan Mahkamah dan aparat berwenang semua, otomatis akan tergerak hatinya. Mungkin bukan cuma hatinya yang bergerak gerak. Kalau yang protes telanjang itu para pria pensiunan paling banter mereka berdendang. Walau seribu burung, gondhal gandhul menghimbauku, hatiku tetap sedingin salju. Mbah nggak usah repot, gondhal gandhul, momong cucumu saja. Urusan negara itu urusan kami, para wakil rakyat, aparat dan penguasa. Nggak usah macam macam.

Salam damai, Ki Ageng Similikithi

No comments: