Saturday, January 22, 2011

Demo wudo

Musim kering tahun enam puluh enam. Malam Jum’at yang cerah. Langit bertabur bintang. Kami bertiga, bersama Diono dan Raden Mas Martalin menghadap seorang tokoh spiritual di kampung Kemlayan, Solo. Kami masih duduk di kelas satu SMA. Santo Josef. Solo dalam kondisi tak aman waktu itu. Bentrok antar warga selalu terjadi di jalan jalan, dengan korban tidak sedikit. Kami tak ikut kelompok mana, tetapi pernah beberapa kali terjebak di antara dua kelompok yang bertikai. Di pasar Widuran, di muka kebon binatang Sriwedari, dan terakhir di alun alun Utara. Hanya sepele, karena kami tak dapat menjawab yel yel mereka, hampir saja dipukuli ramai ramai.

Banyak pemuda yang kemudian ambil jalan pintas. Mencari ilmu kebal. Gemblengan. Kami berempat, dengan Ho, minggu sebelumnya telah menghadap Eyang ini. Singkat kata mohon kekuatan luar dalam, menghadapi segala rintangan di jalan. Syaratnya gampang. Diberi mantera yang ditulis dalam secarik kertas, lalu puasa mutih selama tiga hari tiga malam. Artinya hanya makan nasi putih, sepiring kecil sehari sekali, tanpa lauk, tanpa garam. Juga hanya boleh minum air putih. Hari pertama mutih, Ho langsung keok. Pas pelajaran olah raga dia berhenti. Kami antar pulang ke rumah. Mami dan kakak kakaknya marah marah. Jangan ikut ikutan Ki pakai gemblengan. Padahal yang punya ide awal ya si Ho sama Martalin.

Malam itu kami mendengarkan petuah dari Eyang. Samar samar masih ingat petuahnya. Anakmas ini para satria muda, harus berpegang pada tuntunan jiwa yang teguh. Jangan seperti pemuda jalanan suka kelahi beramai ramai. Nggak begitu konsentrasi saya waktu itu. Hanya mendengarkan dengan sabar semua petuah saktinya. Umur Eyang mungkin pertengahan tujuh puluhan, masih jelas kata katanya. Hanya agak renta, kalau ke belakang harus di tuntun salah seorang pembantu yang berfungsi sebagai punakawan. Ada beberapa anak muda yang hadir bersama waktu itu. Kami bertiga mungkin yang paling muda. Saya mulai gelisah, takut pulang kemalaman. Janjinya sesudah selesai mutih tiga hari kami akan segera di beri wasiat kekebalan tubuh. Ini kok malah cerita tentang satria muda, satria piningit, wahyu ketiban ndaru segala. Satria dari mana ? Saya saja masih kesulitan menyesuaikan tinggal di kota sejak pindah dari desa di Ambarawa. Saya hanya terdiam mendengar petuah petuah beliau. Manut saja, satria sokur, enggak ya nggak apa apa, sing penting slamet.

Lewat jam sembilan belum juga selesai. Malah petuahnya agak melebar. Tengah malam nanti kami diajak tirakatan kungkum di Bengawan Solo. Tapa wuda. Jangan takut anakmas. Pasti sampeyan akan mendapat mukjizat. Minggu kemarin, saya tirakat wudo dan kungkum di bengawan ditemui seorang bidadari sangat cantik. Kami bergembira ria dalam taman yang indah sekali. Makanan begitu berlimpah ruah di sana. Saya lihat Martalin, begitu terpukau dan antusias. Wah sendika saya ikut Eyang nanti. Sementara Diono, kelihatan bimbang, menengok ke saya. Dengan lirih sekali, saya mohon maaf, saya harus pulang sebelum jam malam. Waktu itu jam malam mulai jam sepuluh. Jangan ragu anakmas, tak ada yang bisa melihat sampeyan. Saya mulai bergeming, syaratnya minggu lalu hanya mutih 3 hari, kok sekarang ditambah tirakatan kungkum wudo di bengawan.

Saya sangat ragu ceritanya tentang pertemuan dengan bidadari. Bidadari mana pilih lelaki yang nuwun sewu sudah renta, buang air kecil pun harus dibantu sang punakawan ? Jamane jaman edan, bidadari pun pasti akan pilih yang masih jos membara, sokur kalau punya kekuasaan, paling tidak Sekda, Bupati atau anggota DPR. Bidadari tak akan tertarik sama lurah atau carik. Mereka belum tingkatnya mendapat wahyu kahyangan. Bidadari kan dulunya juga dari manusia biasa.

Melihat keraguan saya, Eyang akhirnya mengijinkan saya undur diri duluan. Saya dan Diono diberi minum air putih yang telah diberi mantera. Tidak lupa diberi jimat yang harus selalu saya pakai. Martalin tinggal dan akan mengikuti tapa wudo di bengawan. Katanya singkat, sampeyan berdua belum dapat wahyu.

Lebih empat puluh tahun berlalu. Saya bertemu dengan teman teman kelas satu SMA, lebih setahun lalu. Raden Mas Martalin, masih aktif di dunia spiritual. Menjadi guru spiritual yang andal. Dia menawarkan kalau saya mau ikut tapa wudo kungkum di bengawan, dalam rangka hari lahir Gadjah Mada. Saya menolak sopan. Wah sampeyan sampai sekarang masih jauh wahyunya Ki. Saya ini di dunia spiritual sudah jadi guru besar. Kata katanya ditujukan pada teman yang juga sama sama sekelas di SMA dulu, yang sekarang jadi guru besar di universitas di Solo.

Dalam sejarah tapa wudo hanya dilakukan dalam kesedihan dan keputusasaan. Seperti kisah Ratu Kalinyamat yang saya ceritakan. Beliau bertapa telanjang meratapi kematian sang suami Pangeran Hadiri (nama mudanya Toyib, atau Win Tang) yang berasal dari Aceh dan berkelana ke daratan Cina, sebelum datang ke Demak. Pangeran Hadiri wafat dikeroyok anak buah Aryo Penangsang, bupati Jipang. Ratu Kalinyamat lantas tapa wudo di bukit Donorojo, di depan pulau Mondoliko, Jepara. Kisah ini terjadi kira kira di tahun 1549. Saya pernah menginap di desa Donorojo, ke pertapaan Ratu Kalinyamat, dan ke pulau Mondoliko saat kelas 5 sekolah rakyat dulu. Tak ada dalam legenda ulang tahun kok harus tapa wudo di bengawan. Ulang tahun itu peristiwa orang bersenang senang. Mau dapat apa kungkum telanjang di bengawan ?

Dalam kehidupan modern kita sering melihat masalah pertelanjangan sebagai masalah pornografi, tetapi juga kadang kala sebagai alat protes sosial, jika semua pilihan sudah mentok. Siapa tahu dengan telanjang para penguasa berwenang bisa tergugah hatinya lalu mengambil langkah langkah perbaikan. Beberapa kali kita lihat di TV orang berdemo telanjang.

Ini juga yang membuat saya dan teman lama, bung Nunung, mantar kiper PSIM tahun tujuh puluhan, puny aide jika pension nanti mungkin bisa mengorganisir demo telanjang para pria pensiunan. Kami bertemu dan main golf bersama bulan Desember kemarin. Sebagai ungkapan frustasi kok begitu gampang hukum dan aparat hukum, diperjual belikan. Tak ada kebanggaan profesi, tak ada kebanggaan sebagai narendro manggalaning projo, tak ada kebanggaan sebagai priyayi, bisa dibeli murah dengan uang. Jika perlu akan kami ajak para bidadari yang bahenol, biar meliuk liuk tanpa busana, di gedung DPR sana. Pasti para wakil rakyat itu, para aparat, dan para pemegang wewenang hukum itu, tergerak hatinya (mungkin juga burungnya) melihat demo wudo para bida dari kayangan.

Seperti yang pernah Eyang Kemlayan petuahkan, walau para pensiunan itu nampaknya hanya gondhal gandhul tanpa daya, tetapi jangan lupa mereka bisa mengajak para bidadari telanjang di Monas ataupun di Senayan. Jika perlu dikasih jamu susu madu telor jahe dulu (STMJ) atau pil Viagra, biar bisa berjalan tegak segagah tugu Monas. Saya yakin itu.

Ndul gondal gandhul, tunggu saja tanggal mainnya. Beberapa bidadari dan selebriti sudah menyatakan minatnya.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi
.

No comments: