Saturday, January 22, 2011

Sekda

“Nama saya Dawud, ndoro”. Jawabnya begitu lugu dan pasrah. Pak Dawud tak tahu persis siapa yang berdiri gagah didepannya. Tinggi besar dan berpakaian safari dengan topi warna biru. Pak lurah yang begitu dihormati di desa, kok sampai mencium tangan. Percakapan singkat ini terjadi di pasar Ngampin di pertengahan tahun enampuluhan. Pak Dawud adalah petugas kebersihan yang setiap pagi selalu disiplin membersihkan sampah di pasar. Pekerjaan yang diwariskan oleh bapaknya sejak awal kemerdekaan.

“ Saya ini Sekda pak Dawud. Sampeyan yang kebagian tugas membersihkan pasar ini ya? ”. Pak Dawud semakin keder, tak tahu apa dan siapa itu Sekda. Dia juga tak paham apa itu Sekretaris Daerah. Pasti lebih tinggi dari Bupati. Pas pak Bupati datang dulu, pak Lurah tidak sampai mencium tangan, ini kok begitu serius mencium tangan Sekda. Rasa kedernya pelahan berubah menjadi takut, dia tadi lihat pak Sekda menyepak keranjang warung mak Mak’i yang berjualan pecel semanggi. Geram sebenarnya dia, tadi pagi keranjang itu sudah dikosongkan. Tetapi tak bisa marah begitu saja dia. Pagi2 tadi dia sudah dapat sarapan pecel semanggi sama lonthong yang terbungkus daun bambu itu. Gratis.

“ Kulo ndoro, ndherek duka “. Diambilnya keranjang sampah yang disepak pak Sekda tadi. Tak berani dia menatap wajah pak Sekda. Ditegur lurah saja rasanya sudah terkencing kencing, apalagi ini narendro gung binathoro kabupaten. Pak Sekda rupanya belum mau melepasnya. Menanyakan apa isi keranjang yang dijinjing di tangan kiri. Pak Dawud menjelaskan, dia juga membawa jambu kluthuk merah, hasil dari halaman rumahnya di Lonjong. Pak Sekda merogoh saku dan memberikan beberapa lembar uang ke tangannya. “Saya bawa saja untuk oleh oleh pak Dawud”.

Pak Dawud mengucapkan terima kasih lirih, tak berani dia menghitung uang tadi. Pak Sekda kemudian minta diantar ke sumur yang menjadi kamar mandi umum di sebelah barat pasar. Buang air. Sumur tempatnya mbah Amat Bakri. Tak banyak yang dibicarakan kecuali petuah agar pak Dawud kerja dengan baik. “ Sing temen le nyambut gawe. Sing resikan pak Dawud”. Sampai dirumah siang harinya, pak Dawud begitu terkejut. Lembaran uang yang diberikan oleh pak Sekda tadi banyak sekali. Sepuluh rupiah. Biasanya untuk jambu sekeranjang kecil itu hanya bisa membawa pulang uang seringgit. Itupun kalau laku. Kunjungan Sekda membawa berkah hari itu buat pak Dawud dan keluarganya. Dia membayangkan Sekda pasti priyayi ngaluhur gung binathoro.

Kontak saya dengan pak Dawud sangat terbatas. Orangnya sangat lugu dan pendiam. Dia punya anak satu waktu, Trisno namanya. Adik kelas beberapa tahun di bawah saya di Sekolah Rakyat Ngampin. Umur pak Dawud waktu itu sudah mendekati enampuluh, sudah mulai renta. Istrinya kelihatannya masih jauh lebih muda, mungkin sekitar tiga puluhan. Cerita tentang pak Dawud lebih lanjut saya peroleh ketika dia sering bertandang dan ngobrol dengan tetangga sebelah kebun kami, mbah Sem. Mbah Sem berdua juga sudah renta. Mereka berdua dan pak Dawud adalah jemaah gereja yang taat. Anak anak Mbah Sem, semua bekerja di sektor formal, guru, pemerintah daerah, perawat dan sebagainya. Mbah Sem adalah tokoh panutan dalam membesarkan anak, bagi pak Dawud.

Suatu sore saat saya main di tempat mBah Sem, saya mendengar percakapan mereka. Pak Dawud memberi tahu jika istrinya hamil lagi. Mbah Sem komentarnya ‘Wah isih ampuh sampeyan”. Pak Dawud kemudian cerita panjang lebar jika anaknya kelak tidak akan kerja di pasar lagi. Dia ingin anak anaknya menjadi orang, nayoko projo. Jangan hanya jadi tukang sampah pasar. Ingatannya selalu melayang ke idolanya, bapak Sekda. Malam Jum’at sebelumnya, mbah Dawud tirakat di jaratan, kuburan tua Kyai Pojok di Ngampin. Dia mendapat wangsit jika anaknya kelak pasti laki laki dan akan diberi nama Sekda Dawud.

Dalam benaknya jika anaknya kelak diberi nama Sekda pasti akan diberi kekuatan mukjijat luar biasa. Jika bayi bayi umumnya hanya mampu menggerakkan kaki bergolek ke kiri dan ke kanan di tempat tidur, bayi Sekda pasti sudah mampu menyepak keranjang. Jika bayi bayi umumnya akan ngompol di tempat tidur, bayi Sekda pasti curah air kencingnya bisa menyemprot berpuluh meter. Bisa mengganggu tetangga jika tidak hati hati. Jika bayi umumnya malam malam menangis, bayi Sekda pasti bisa terbahak bahak. Bahkan jika bayi umumnya makan bubur halus, bayi Sekda, pasti sudah lahap memakan jambu kluthuk merah, seperti yang dibeli pak Sekda. Bayangannya tentang Sekda begitu membubung. Kebahagiaan luar biasa.

Saya mendengar nasehat mbah Sem. Terima saja apa adanya. Nggak usah dengar wangsit macam macam. Tetapi idola seorang Sekda tak pernah lepas dari impian pak Dawud. Narendro gung binathoro, manggalaning projo. Dia benar benar ingin anak anaknya keluar dari lingkaran kemiskinan. Impian alamiah banyak orang. Namun di jaman itu impian impian itu sering dihujat sebagai perjuangan kelas yang diharamkan di jaman Orde baru.

Tahun berganti tahun. Masa berganti masa. Saya tidak mengikuti perkembangan yang terjadi. Lima puluh tahun telah berlalu. Anak bungsu pak Dawud tidak diberi nama Sekda, tetapi Yunus. Hari ini ketika saya ingat kisah itu, saya mencari tahu di mana Yunus dan kakaknya Trisno. Saya tertegun ketika diberi tahu adik saya di Ambarawa, jika Yunus sudah meninggal bertahun lalu. Dia meninggal dalam usia muda di umur sekitar tiga puluhan. Yang lebih masygul, dia bekerja sebagai buruh mengangkat barang, mengangkat hasil bumi. Impian pak Dawud tak pernah tercapai sampai akhir hayat dan sampai anak yang diharapkan meninggal. Kami tidak tahu Trisno bekerja di mana. Moga moga bisa memenuhi keinginan bapaknya.

Dalam hiruk pikuk dunia politik masa kini, saya tertegun membaca berita korupsi yang banyak melibatkan aparat dan pimpinan pemerintahan. Di mata orang kecil seperti pak Dawud, para pejabat pemerintahan layaknya seperti dewa idola tanpa cacat. Percaya sepenuhnya tanpa reserve. Kisah tragis ini hanyalah catatan kecil agar beliau beliau tidak menyunat bantuan untuk orang miskin. Subsidi beras untuk orang miskin (raskin) kok ya ada yang tega menilep. Ingatlah orang orang seperti pak Dawud yang begitu membayangkan tugas mulia sang Sekda.

Salam sejahtera

Ki Ageng Similikithi

No comments: