Wednesday, January 13, 2010

Setelah lewat empat puluh tahun


Matahari telah condong ke Barat. Kira kira menjelang jam empat sore. Angin bertiup lembut menerpa tubuh tubuh yang sedang berpacu naik sepeda. Kami dalam perjalanan pulang dari Banyudono ke Solo. Hanya bertiga, Diono, Martalin dan saya. Siang tadi sesudah usai sekolah, kami bersepeda, main ke tempat Sigit di Banyudono, teman sebangku, di kelas 1 C SMA St Josef. Sejak berangkat saya selalu ketinggalan di belakang dengan sepeda torpedo tua itu. Sementara Sigit pakai sepeda dengan versneilling, Diono dan Martalin pakai sepeda jengki, yang lebih ringan di kayuh. Napas saya tersengal dan jarak di depan rasanya begitu jauh. Lewat Kartosuro, Diono dan Martalin nampak semakin kecil karena jarak yang semakin jauh. Pacuan memang belum selesai. Tetapi saya pasrah. Apa yang bisa dinikmati dengan adu cepat pakai sepeda tua ini? Menang juga tak akan kesohor. Ada harga yang harus dibayar. Tak bisa menikmati panorama sawah yang menghijau sepanjang jalan. Tak menikmati belaian angin yang meniup lembut. Saya memperlambat sepeda. Biar lambat asal selamat, gunung lari tak kan kukejar.

Di Solo, rumah kami berjauhan. Saya tinggal di Badran, kota Barat. Diono di Penularan dan Martalin di Kusumodilagan. Menjelang masuk Solo, ternyata Diono dan Martalin berhenti, menunggu di bawah pohon flamboyan. Martalin segera berteriak " Sampeyan kurang kuat kemauannya Ki. Daya juang rendah. Perlu disuwuk". Saya hanya menjawab kalau sepeda saya memang berat, bukan dirancang untuk balapan. Sebelumnya sepeda ini dipakai untuk mengantar susu ke pelanggan pelanggan kami di Ambarawa. Saya masih ingat betul, tukang antar susu kami yang telah lanjut usia, namanya Reso Darman, selalu mengayuh sepeda begitu pelan, sambil ngantuk. Saya juga tidak tahu arti apa itu disuwuk. Martalin memang tekun sekali mempelajari ilmu ilmu kejawen. Dia cocok sekali ngobrol dengan ayah saya di Ambarawa perihal kebatinan. Menjelang petang kami meneruskan perjalanan ke arah Solo. Lewat stasiun Purwosari, saya belok kiri masuk ke kampung Badran, sementara Diono dan Martalin meneruskan perjalanan lewat jalan Slamet Riyadi ke arah Timur. Mereka tetap saja bersendau gurau.

Kisah lama itu terjadi menjelang akhir 1965. Empat puluh lima tahun lalu. Di tahun tahun antara 1965 – 1966, kami sering bersepeda menelusuri desa2 di sekitar Solo. Beberapa minggu lalu, hari Sabtu tanggal 2 Januari 2010, saya menuju Solo. Terakhir ke Solo dua tahun lalu menemui Lembayung. Kali ini saya sendirian mengendarai mobil anak saya. Saya bilang ke NYI, ini pertemuan mantan teman sekelas di SMA dulu. Saya telah janji dengan Diono beberapa hari sebelumnya. Dia tahu nomer tilpon saya dari kakak saya yang tinggal di Ambarawa. Dia mencari saya di rumah orang tua saya di Ambarawa hampir dua tahun lalu. Namun kontak baru berhasil sebulan kemarin lewat pesan singkat. Menjelang masuk Delanggu, dia tilpon saya sampai mana? Saya keliru bilang kalau sudah masuk Kartosuro. "Saya akan tunggu di depan Universitas Muhamadiyah, di halte seberang jalan". Ternyata saya keliru, ketika masuk Kartosuro, kembali Diono memanggil lewat tilpon genggam "Kok lama Ki, sampai mana". Saya jawab sekenanya, "Sori baru masuk Kartosuro. Telat, kaline banjir". Nggak ada sungai di Kartosuro. Mana ada banjir. Sampai di muka gerbang UMS, saya berhenti di lampu merah. Saya hubungi tilpon genggamnya, "Kau dimana? Saya berhenti sebelum lampu merah?". Ternyata dia menunggu di halte sesudah lampu merah. Dari kejauhan nampak sesosok pria, melambai dan berjalan ke arah saya. Penampilan dan cara jalannya masih seperti dulu. Sambil membuka pintu mobil dia menggerutu " Martalin wingi wis janji nek arep ketemu kok malah minggat. Tilpune di titipke bojone. Gathel".
"Anda tak banyak berubah Bung setelah empat puluh tahun. Gimana baik baik?"
" Edan Ki, kau gemuk sekali sekarang. Jadi boss ya?'.

Kami mulai berbincang. Pokok pembicaraan awal, siapa istrimu, berapa anakmu dan cucumu. Masih seperti dulu, umpatan gaya Solonya selalu aneh buat saya. Sewaktu saya pertama datang ke Solo di tahun 1965, selalu dibuat heran dengan umpatan. Di Ambarawa, umpatan yang sering saya dengar adalah nama binatang, entah itu anjing, babi hutan, atau kotoran binatang seperti tai kucing atau mbelek lincung (tahi ayam). Di Solo , yang sering nama organ manusia, seperti gamblis (rambut sekitar dubur), mata, githok (tengkuk), gundhul (kepala), cocot (mulut). Gathel saya nggak tahu persis artinya, mungkin kaki. Orang Solo lebih manusiawi, lebih banyak menyebut organ manusia.

Sambil mengendarai mobil, kami terlibat dalam percakapan asyik, cerita mengenai riwayat masing masing. Tak semuanya cerita gembira. Isterinya meninggal lima belas tahun lalu ketika ketiga anaknya masih kecil.. Dia harus mengurus anak anaknya sendirian. Uang tabungan habis untuk menutup ongkos pengobatan isterinya. Sekarang ketiga anaknya sudah berkeluarga dan mandiri. Kami juga terdiam ketika saya cerita tentang anak saya bungsu yang telah meninggal. Sambil menyetir mobil saya mencoba mengalihkan pembicaraan. "Ingat kita pernah istirahat disini menjelang akhir 1965 ? Dimana pohon flamboyan yang dulu itu ?". Dia menjawab datar, "Mana saya ingat" Mungkin sekitar sini". Lokasi tak penting. Makna kenangan lebih penting.

Martalin tak berada di rumah, kami putuskan untuk mencari Sigit yang katanya mengajar di UNS. Diono belum tahu rumahnya, tetapi katanya di kompleks perumahan dekat SMA St Josef. Kami berusaha mencarinya. Pelan kami menyusuri jalan beraspal di sekitar perumahan itu. Dia bertanya di salah satu toko. " Dalemipun mas Sigit ingkang pundi pak ? (Rumahnya mas Sigit yang mana?). Yang ditanya malah balik bertanya " Menapa profesor doktor Sigit ?". Diono terhenyak, tak siap dengan pertanyaan itu dan balik bertanya ke saya. " Profesor doktor Ki?. Saya cepat cepat mengiyakan. Mungkin secara tak sadar ingatannya masih ke masa lalu. Dia selalu menyebut mas jika main ke tempat Sigit, biar bapak ibunya senang. Bapaknya Sigit dulu kepala sekolah. Selalu hangat menyapa kami jika main menemui Sigit. "Nomeripun tigang dasa sekawan", kami diberitahu pemilik toko tadi jika nomer rumahnya tiga puluh empat. Masuk jalan sempit dalam kompleks perumahan, cari nomer 34 kok nggak ada. Yang ada nomer 36. Rumah2 sebelahnya tanpa nomer. Saya menunggu di ujung jalan, sementara Diono meneliti nomer rumah satu per satu bolak balik. Akhirnya saya lihat dari kejauhan dia memencet bel, rumah besar tanpa nomer itu. Sejenak dia berbicara dengan penghuni rumah, saya tidak bisa melihat lawan bicaranya.
" Betul rumahnya Sigit. Kelihatannya tiga rumah dirombak jadi satu".
" Siapa yang kau ajak bicara ?"
" Mungkin isterinya. Sigit baru rapat senat. Cantik istrinya".


Diono kemudian menghubungi Dibyo, juga teman sekelas semasa kelas satu dulu, Kami menuju rumahnya di jalan Bayangkara. Bertemu Dibyo, perasaan saya bercampur sedih. Kesehatannya tampak sudah menurun. "Hi Ki lama nggak jumpa ya". Sapaannya juga persis seperti dulu jika saya ke rumahnya. "Ah hanya empat puluh lima tahun". Kami bermaksud hanya mampir sebentar karena kondisinya masih kurang sehat. Tetapi Dibyo mendesak supaya kami duduk ngobrol. " Kapan lagi ada kesempatan". Betul juga, mungkin tak banyak lagi kesempatan bertemu. Dibyo putra kepala polisi wilayah Surakarta waktu itu. Rumahnya selalu jadi tempat kumpul kami. Orangnya pendiam halus, tidak suka berkoar seperti kami. Sekarang isterinya mengajar di UNS, putra putrinya tiga. Sudah mandiri semua. Dia belum punya cucu, sudah pensiun dari PERTAMINA. Kami ngobrol ke sana kemari dan masih mencoba kontak teman teman lain, Martalin, Sigit, Prasodjo dan Nugroho.

Sigit yang datang beberapa saat kemudian. Penampilannya masih gagah dan tampan, seperti bintang film tahun lima puluhan, Bambang Irawan. Empat puluh lima tahun lalu belum nampak gagahnya, kecil kurus. Dulu Diono sering bilang "Baguse bagus ndeso". Sekarang nampak masih muda dan sehat di umur menjelang enam puluh. Setiap hari rutin jogging. " Curu saya sudah tujuh. Anak saya empat". Dia kawin saat masih sarjana muda. Isterinya sekarang sudah pensiun dari PEMDA. Saya berseloroh tentang rumah Sigit dan mengingatkan lagu yang dinyanyikan Mus Mulyadi. "Omah gedong magrong magrong jejer telu. Kapan to ndhuk bocah ayu ? Kowe gelem karo aku". Sigit paling alim di antara kami. Tak bisa diajak bergurau menyinggung masalah yang saru, dulu selalu bilang "Saru ah".

Prasodjo adalah teman dari kelas lain dulu, tetapi sering kumpul di rumah Dibyo. Sekarang menjadi dokter ahli radiologi. Dosen di UNS seperti Sigit. Masih bertugas di rumah sakit ketika dihubungi, datang ngobrol beberapa saat. Pertemuan saya terakhir dengan Pras di tahun 1974 sewaktu kepaniteraan klinik di rumah sakit Jebres. Dia juga masih gagah dan belum nampak tua. Orangnya gampang bergaul, ramah, tak pernah macam macam. Senyumnya selalu tersungging sejak muda dulu.

Siang itu kami makan siang di rumah makan Mbak Lies, khusus salad Solo. Ramainya nggak ketulungan. Harus antre. Martalin dan Nugroho kemudian datang menyusul. Pras harus kembali ke klinik, tak bisa ikut. Kembali ngobrol rame. Martalin juga masih seperti dulu, selalu absurd dengan masalah supra natural. "Jangan tanya mengenai ruwatan ke saya. Tingkatan saya sudah jauh dari sekedar urusan ruwatan". Dia cerita punya banyak pengikut. Hari hari ini sangat sibuk. Ada acara tirakatan memperingati hari lahir maha patih Gadjah Mada. Pikir saya, sokur kalau sekarang masih ada yang memperingatinya. Karena dalam cerita, sesudah perang Bubat, Gadjah Mada diasingkan oleh kerajaan. Makamnyapun tak diketahui di mana. Saya sekelas dengan Nugroho mulai kelas satu sampai lulus di tahun 1968. Pembawaannya selalu halus. Sekarang masih bekerja di bidang batik. Beberapa tahun bekerja di bank. Anak2nya juga sudah selesai semuanya. Kami bicara tentang makanan khas Pekalongan, ketika tahu isteri saya asal Pekalongan. Dia pernah dinas di Pekalongan beberapa tahun. "Saya harus datang khusus ke Pekalongan jika kangen masakan2 khas sana". Banyak jenis masakan Pekalongan yang memang tak dijumpai di kota lain. " Waktu pengantin baru dulu, pertama kali makan sayur daun kecombrang masakan isteri, kok seperti ada rasa kemasukan kecoak. Sekarang selalu ketagihan", saya berseloroh.

Habis makan siang, saya kembali ke Yogya. Diono bersama saya oleh karena pengin tahu rumah saya. Mungkin tahun depan akan ketemu lagi. Waktu berjalan terus. Persabatan tak berhenti. Tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Sampai akhir perjalanan waktu. Tak oerlu berpacu lagi. Pacuan sudah selesai.

Salam damai



6 comments:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.
eyang bethoro said...

reuni yang mengasyikkan

Kiki Anastasia said...

wah... seru ya Ki... bertemu sahabat lama... meski ke ujung dunia dan menyebrangi samudera, persahabatan akan terus berjalan seiring tak lekang waktu..

agak kocak.. waktu Ki bilang.. "ah baru 45 tahun... " hahahaa... 45 thn itu sperti apa ya rasanya? ga kebayang deh... :P

tapi serius.. kadang memang asik bertemu sahabat2 lama, pergi ke tempat2 bernostalgia meski lokasinya sering terlupakan.. yagn penting kenangan..

yup.. kita harus punya kenangan.. karean terkadang hanya itu yang kita punya...

salam kenal lagi dari Kiki di Bekasi, ki.. (nama kita sama2 berawalan dari Ki.. ya.. )

Ki Ageng Similikithi said...

Eyang Bethoro,matur nuwun. Tak banyak waktu tersisa untuk bertemu kembali teman2 lama.Mumpung masih ada waktu.

Ki Ageng Similikithi said...

Kiki,
Terima kasih sempat mampir ya.Memang menarik ketemu kembali setelah puluhan tahun tak bertemu. Cara kita bicara dan bergurau seolah kembali ke masa silam. Tetapi situasi/lingkungan saat ini yang memang sudah sangat berbeda konstelasinya,kadang membuat kita kikuk sendiri. Tetapi tak banyak perubahan ciri masing masing. Kenanglah teman temanmu.Ingatlah mereka dengan kenangan indahnya.Jangan kenang yang jelek jelek. Salam damai

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.