Tuesday, January 26, 2010

Saat bersanding


Jarak itu hanya sekitar dua ratus meter. Sama sekali tidak jauh, hanya harus menyeberang jalan raya Pekalongan Kajen. Namun terasa seolah jauh sekali. Pengin cepat sampai dan selesai semuanya. Saya berjalan pelan. Gelisah dan tak bisa tenang. Di kiri kanan saya, kakak sepupu, mas Harto dan kakak ipar mas Munir, berjalan menggamit lengan saya. Sementara irama gamelan terdengar gempita kadang diselingi musik padang pasir. Kombinasi yang janggal buat telinga saya yang tinggal di Solo dan Yogya ber tahun tahun.


Ketika lewat pasar di ujung jalan, orang di pasar ramai menonton arakan saya. Rasanya seperti pesakitan. Ada yang berteriak “ Heee ngantene isih bocah raaa”. Edan, bocah ora bocah urusannya apa ? Burung burung saya sendiri kok repot, pikir saya. Mas Harto berbisik agar saya memperlihatkan wajah ceria, tidak merengut. “Ora usah mbesengut, dongane diapalke”.

Hari itu tanggal 30 Desember 1975. Saya menjalani acara perkawinan di Pekajangan, Pekalongan, di tempat orang tua Nyi. Semalam tiba dari Ambarawa diantar rombongan keluarga dekat. Bapak dan ibu saya tidak bisa ikut. Bapak sedang dalam status tahanan, tetapi dapat ijin untuk menghadiri. Ibu saya menangis ketika saya pamitan kemarin siang. Saya masih ingat kakak saya membawa mobil sport klasiknya, Ford Mustang, dari Bandung. Mobil kesayangan itu dibawa dari Amerika bebera tahun lalu. Bapak saya bersama kakak sulung sekeluarga tinggal di hotel di Pekalongan. Menurut adat kebiasaan Jawa, orang tua pengantin pria tak biasanya menghadiri acara akad nikah. Hanya hadir saat pesta sesudah acara akad nikah selesai.


Sementara sebagian besar rombongan pulang ke Ambarawa semalam, dan datang kembali ke Pekajangan pagi itu untuk upacara. Mas Harto tinggal menemani saya di Pekajangan. Kami ditempatkan di rumah kakak Nyi. Dia menemani saya sampai larut, menghapal doa dalam bahasa Arab untuk acara akad nikah pagi harinya. ‘Diapalke sing genah, aja nganti kleru’, ujarnya berulang kali. Saya tahu dia penganut agama Katolik yang setia, tetapi tak merasa terganggu melihat saya menghapal doa itu. Tidak bisa tidur enak semalam.


Kira kira jam tujuh, setelah mandi, mau mulai ganti pakaian. Saya baru sadar kalau baju yang saya bawa dari Yogya keliru, ukurannya kekecilan dan ada cacat di samping kiri. Padahal saya tak punya serep baju yang warna putih. Adanya warna biru. Saya pikir tak apa apa, warna biru warna bagus. Tetapi dukun nganten bersikeras saya harus pakai baju putih. Terpaksa pagi pagi saya dengan mas Harto boncengan naik skuter Kongo, cari baju warna putih di pasar Kajen. Tak banyak pilihan, tetapi saya dapat baju warna putih. Tak begitu halus jahitannya. Tak apalah. Tetapi pagi tiu saya panik nggak karuan.


Kira kira jam sembilan, saya mulai dihias. Harusnya tak ada masalah, tinggal ikut sang perias saja. Tetapi belum hilang rasa panik, saya masih dibuat jengkel oleh sang tukang rias, Mukmin. Di bebet bagian depan dengan menyolok sekali tertulis kata Mukmin. Semua pakaian pengantin yang akan saya kenakan bertulisan Mukmin, menyolok sekali. Saya bertanya apakah ada pakaian lain, dia menjawab tidak ada. Walau nama saya bukan Mukmin, saya kenakan pakaian itu dengan kesal. Kemudian ketika wajah saya selesai di kasih bedak dan gincu, saya bersikeras agar dihapus atau dikurangi setipis mungkin. Merias pengantin kok kayak merias badut. Nyi mestinya tahu selera saya, perias konyol ini tak pas dengan saya.


Pertemuan saya dengan Nyi terakhir hampir dua minggu sebelumnya. Tak banyak bisa membicarakan rencana acara perkawinan secara rinci. Hanya menjalani pemeriksaan dan prosedur administratif di kantor urusan agama waktu itu. Kemarin sore saya melihatnya sejenak saat rombongan kami datang. Saya tak bisa menemuninya. Hanya melihat dia keluar menemui rombongan kami sebentar. Konon dalam adat Jawa, calon pengantin perempuan dan pria tak boleh bertemu sebelum nikah. Calon pengantin wanita harus dipingit. Supaya tidak kena angin. Itu maunya, tetapi jaman sekarang mana tahan? Kakak ipar saya, mbak Wati almarhum mendesak ingin lihat Nyi. Saya melihat sepintas, Nyi nampak kurang tidur. Melempar senyum dari jauh.


Perkenalan keluarga saya dengan keluarga Nyi semalam berjalan lancar. Sehabis acara formalitas saling memperkenalkan dan menyerahkan tanda mata peningset kami makan bersama. Begitu selesai acara makan, kedua bulik saya, Bulik Mus dan Bulik Parman almarhum, seperti biasa langsung merokok, Gudang Garam. Mereka wanita wanita kuat yang sangat berpengaruh dan dekat dalam hidup saya sejak kecil. Alpha female dalam keluarga. Nampak gembira sekali mengantar ponakan nikah. Esok harinya mereka berdua akan menggandeng saya dalam upacara nikah. “Wah nuntun pelen ya Ki”, canda bu Parman seperti biasa. Ketika saya ke belakang ikut sholat maggrib, saya dengar bapak mertua bilang sama ibu mertua “ Wah wedok wedok kok dha ngrokok ya”? Tak biasa wanita merokok di lingkungan keluarga Nyi. Saya pura pura tak mendengar. Bisa apa saya?


Ketika arakan penganten sampai di rumah NYI, saya langsung menjalani akad nikah di pavillion. Bapak mertua duduk di muka saya di samping pengulu. Sempat bertanya sebelum acara mulai “Wis apal dongane ?”. Saya mengiyakan ringan, tetapi rasa panik masih membayangi. Acara ijab kabul berlangsung lancar. Saya lihat mas Harto nampak tegang ketika saya mengucapkan ijab. Mungkin takut kalau saya tidak hapal kata katanya.


Kemudian saya digandeng kedua bulik saya ke acara adat pernikahan. Sementara menunggu calon penganten wanita keluar, bulik Mus berbisik bertanya “ Wis diwenehi suruh”? Dia menanyakan apakah saya sudah memegang daun sirih untuk acara saling lempar dengan pengantin wanita. Saya menggeleng pelan. Ternyata gulungan kecil daun sirih itu dibawa Bulik Parman. Dia cepat cepat mengeluarkannya dari dalam tas dan menyelipkan ke tangan saya. Ternyata yang diberikan bukan gulungan daun sirih, tetapi rokok keretek. Saya terkejut dan menoleh ke arahnya. Menyadari kekeliruannya, dia berbisik menggerutu “Asem, malah keliru rokok”. Cepat cepat merogoh tasnya kembali dan menyelipkan daun sirih itu ke tangan saya. Saya tak tahu apakah ada yang melihat insiden kecil itu. Bu lik Mus pun tidak tahu. Jika tahu pasti adiknya akan kena damprat kemudian.


Tak ada acara menginjak telor dan membasuh kaki penganten pria oleh penganten wanita. Terasa lebih mengarah ke persamaan gender, lebih demokratis dan sederhana. Setelah saling melempar sirih, saya menyalami tangan Nyi. Dia mencium tangan saya dan saya mencium keningnya. Kami berjalan bergandengan ke pelaminan. Sementara kepala mulai terasa nyeri berdenyut sebelah kiri. Saya khawatir jika migrain saya kumat. Cuma nggak ada rasa mual dan gejala kunang2 seperti biasanya. Saya sadar kemudian, jikaa blangkon yang saya pakai ukurannya terlalu kecil, terlalu ketat. Duduk di pelaminan pun rasanya pengin acara cepat berlalu dan bebas dari cengekraman blangkon yang sangat ketat, serta bebet yang bertuliskan Mukmin itu.


Melihat saya duduk gelisah adik saya Ari berulang kali mendekat dan berbisik agar saya memperbaiki posisi duduk. Bulik Parman sekali membisiki saya ‘Sing anteng le lungguh, aja kaya sapi pelen”. Duduk tenang, jangan seperti sapi jantan. Gurauan ini hanya bisa dimengerti oleh mereka yang terbiasa dengan peternakan sapi. Sapi jantan selalu liar dan sukar dikendalikan saat menjelang dikawinkan. Nyi juga tidak tahu. Saya mengeluh pelan ke NYI kalau kepala saya terasa sangat nyeri karena blangkon kekecilan.


Bapak saya datang ketika saya telah duduk bersanding di pelaminan. Acara berjalan lancar. Ada beberapa pidato singkat wakil keluarga. Dengan berbagai nasehat. Saya tak banyak bisa mencermatinya. Nyeri kepala berdenyut itu menguras daya konsentrasi saya. Tak apa. Isinya hapal. Kurang lebih isinya sama. Agar selalu rukun seperti mimi dan mintuna. Harus saling menghargai. Tak boleh ringan tangan ringan kaki. Harus setia pasangan, jangan selingkuh, jangan kawin lagi, jangan ma lima (main, madon, madat, maling, lupa apa satunya). Batin saya, nggiiiiiiiiiiiiiih. Manut dan terima saja, apa susahnya.


Di jaman itu acara perkawinan belum biasa dengan resepsi berdiri. Selalu resepsi duduk, seperti yang umum terjadi di Solo, dengan beberapa pidato wejangan untuk mempelai berdua. Seperti pidato pengarahan dalam acara seminar, lokakarya atau semiloka, gabungan antara seminar dan lokakarya. Saya ingat ada seorang tokoh partai (Golkar) setempat di tetangga desa di Ambarawa. Lupa namanya. Dia selalu ceramah memberikan pengarahan di rapat rapat ranting partai. Juga gemar memberikan ceramah di acara pernikahan. Karena beken kegiatannya di lingkungan partai, dia bahkan kabarnya sempat sampai menghadap presiden ke Cendana. Dalam acara pesta pernikahan tetangga saya di Ambarawa, dia menawarkan diri untuk memberikan ceramah pengantin. Ceramah nasehat perkawinannya sangat singkat to the point, suami isteri harus rukun. Yang panjang dan bikin lapar dan ngantuk, ceritanya panjang lebar saat menghadap ke Cendana.


Acara perkawinan saya untungnya tidak didominasi pidato nasehat dan pengarahan. Berjalan singkat, sederhana, apa adanya. Mungkin jika sampai mengalami seperti tetangga saya di Ambarawa itu, saya akan menggalang persatuan para calon penganten, untuk bersatu melawan kesewenang wenangan para penceramah perkawinan.


Lewat lohor acara sudah selesai. Lancar. Setelah rombongan keluarga pamit, saya cepat cepat masuk kamar mencopot blangkon dan seragam pengantin itu. Hampir tiga jam tersiksa blangkon dan pakaian pengantin. Sekali ini saja cukup. Tak ingin sekalipun mengulanginya. Enough is enough. Saya tertidur pulas di kamar. Nyi masih ngobrol di luar. Sore hari terbangun ketika dia memeluk dan mencium saya. Dia tersenyum. Senyum yang abadi dalam kenangan saya. Itu yang saya paling ingat selamanya.


Salam damai dan salam khusus untuk para jomblo dan penganten baru.


Ki Ageng

3 comments:

Kiki Anastasia said...

Hallo Ki.... sehat??
woh.. pertamax nih saya koment disini... xixiix..

ma lima satunya lagi mabuk ki...

hehe.. lucu ya... penganten emang biasanya grogi gitu ya? maklum acara sekali dalam seumur hidup (itu juga buat yagn nikahnya hanya sekali)
tapi kadang panic momentnya yagn paling berkesan klo diinget2 lagi..

wah... saya pengne jgua rasain jadi penganten.. xixiiix.. kira2 apa saya bakal segrogi Ki ga ya?

itu foto Ki waktu nikah ya??? ^^

Ki Ageng Similikithi said...

Terima kasih Kiki. Saya doakan agar cepat juga menyusul. Nggak usah panik, ikuti saja prosesnya. Iya ini foto kami waktu kawin. Masih kecil kecil

bethoro indro said...

he he .. mantene isik langsing imut2. sak niki amit2 saptulegi.