Saturday, January 9, 2010

Hilang bersama angin

Suatu sore di musim kering tahun 1966. Saya sedang liburan di desa Ngampin Ambarawa. Tak ingat lagi liburan apa. Hanya beberapa hari. Sejak pertengahan tahun kemarin saya sebenarnya telah hijrah ke Solo, tinggal bersama kakak saya, di Badran kota barat. Meneruskan sekolah di SMA St. Josef. Siang itu saya duduk di pendopo depan. Menikmati tiupan angin yang memberikan rasa sejuk di siang hari yang gerah. Gunung Gadjah Mungkur dan Telomoyo terlihat biru kelam di kejauhan dalam sorot matahari yang cerah menyengat. Di kebun depan saya melihat paklik saya, pak Wir, sedang mengumpulkan kayu bakar di bawah pohon sawo. Dia adalah suami Bu Lik Mus, adik bapak saya. Sudah beberapa bulan pak Wir pensiun dari pegawai Dinas Penerangan Rakyat di kecamatan Jambu. Tiba tiba saja Bapak saya memanggil pak Wir untuk datang ke pendopo. Hal yang biasa, mereka terbiasa ngobrol. Hubungan mereka akrab. Pak Wir sering datang ke rumah hanya sekedar ngobrol.

" Kau Ki. Lagi libur? Sudah krasan di Solo?" Pak Wir menyapa saya singkat.
" Liburan beberapa hari"
" Belajar yang baik. Hati hati putri Solo ayu ayu. Nggak usah macam macam".
" Sekolah saya muridnya semua laki laki".
Pak Wir ketawa. Nggak tahu apa yang diketawakan. Dia hanya menggumam pelan " "Murid kok pelen (laki2) kabeh". Saya tidak merasa perlu menjelaskan mengenai sekolah saya. Tetapi saya bangga belajar di St. Josef, walau bukan sekolah negeri.

Pak Wir kemudian terlibat obrolan panjang dengan ayah saya. Saya hanya duduk di kursi di sudut ruangan. Tak begitu mengikuti pembicaraan mereka. Pembicaraan kadang ringan diselingi tawa, kadang2 berubah serius pelan. Situasi politik saat itu sedang tak menentu. Kadang mencekam karena pembersihan orang orang yang dicurigai pengikut arau simpatisan komunis. Jaman memang sedang tidak aman. Harus pandai pandai menjaga dan menempatkan diri. Agar tidak dicurigai oleh penguasa atau militer.

Ketika pembicaraan beralih serius, mau tidak mau saya ikut mendengarkan. Pak Wir mengeluh, pemerintah setempat berencana membuat saluran air dari sendang di Ngampin Kulon, yang membelah persawahan miliknya. Dia sangat keberatan dengan rencana itu dan mengajukan alternatif untuk membelokkan saluran tersebut di tepi sawah. Jika toh harus melewati sawahnya dia bersikeras minta ganti rugi. Beberapa kelompok petani mendukung dan berdiri di belakang Pak Wir. Bapak saya mengingatkan agar berhati hati. Melawan penguasa sangat riskan.. Apa lagi jika ada petani petani kelompok kiri yang ikut mendukung.

Saya tidak mengikuti permasalahan tersebut secara intens. Kami masing masing terpaku dengan masalah masing masing. Saya lebih terpaku dengan masalah uang langganan susu salah satu instansi pemerintah, rumah sakit umum, telah beberapa bulan tak dibayar. Jelas ini sangat berpengaruh bagi kami. Saya sempat datang sendiri menemui petugas rumah sakit. Jawabannya selalu sama, kuitansi belum bisa dibayarkan. Tak ada uang di kas. Ini masalah serius oleh karena kami harus tetap membeli pakan sapi dan membayar pekerja. Ada paling tidak dua puluh sapi perah waktu itu. Kemudian ternyata sapi sapi itu harus dijual satu persatu. Sekedar menutup ongkos pemeliharaan.

Beberapa hari kemudian setelah pertemuan singkat dengan pak Wir, saya kembali ke Solo. Masih merasakan sedih melihat situasi keuangan yang bersandar pada usaha pemerahan susu. Hasil pertanian seperti kapuk, kopi, kelapa hanya secara insidental memasukkan uang. Saya tidak menyangka kemudian jika pertemuan sore itu dengan pak Wir adalah pertemuan kami yang terakhir. Beberapa minggu kemudian saya terima surat dari adik saya, mengabarkan jika pak Wir ditahan saat wajib lapor dan tidak pernah kembali, tidak tahu berada di mana. Saya ingat pembicaraan pak Wir dengan bapak saya. Jaman tidak menentu, jangan cari masalah. Yang penting selamat. Ingat cerita bapak saya yang mengatakan bahwa pak Wir juga menolak diajak masuk menjadi anggota satu partai, yang dekat dengan penguasa. Petugas penerangan katanya harus netral, tak berpihak pada siapapun, walau dia sebenarnya telah pensiun.

Beberapa minggu kemudian saya kembali ke Ambarawa di akhir pekan. Saya menyempatkan diri menemui Bu Lik Mus, menanyakan kabar tentang pak Wir. Dia menangis sedih penuh emosi. Pak Wir diharuskan wajib lapor ke kawedanan. Beberapa kali datang dan lapor diri sesuai perintah. Suatu pagi saat hujan lebat dan angin, pak Wir tetap berangkat untuk lapor. Walau diingatkan untuk istirahat di rumah saja. Dia hanya berkilah, jaman sedang tidak menentu, jika tidak taat lapor dikira melawan, bisa bahaya. Tetapi sampai malam dan keesokan harinya pak Wir tidak pernah kembali. Bu Lik Mus mencoba mencari informasi ke sana kemari, dan tidak pernah mendapatkan kejelasan suaminya di bawa ke mana. Yang jelas pak Wir diciduk, dituduh menjadi anggota bayangan partai komunis. Tak ada penjelasan, tak ada kesempatan pembelaan. Seolah hilang bersama angin deras hari itu.

Bu Lik Mus selalu terbawa emosi menceritakan kehilangan pak Wir. Dia geram betul dengan aparat pemerintahan yang tega mengorbankan suaminya dan menyerahkan ke pihak penguasa militer. Kesedihan itu masih ditambah, putranya yang bertugas di Kupang Timor, tak pernah ada beritanya. Tak pernah ada surat. Beberapa kali disurati tak pernah datang jawabannya. Tiga tahun kemudian, ketika putranya datang, barulah jelas masalahnya. Surat surat dari putranya juga tak pernah disampaikan. Sengaja selalu ditahan di kantor pemerintahan setempat Komunikasi antara Bu Lik Mus dengan putranya diputus dengan sengaja selama tiga tahun. Kupang Timor dan Ambarawa, bukan jarak yang dekat dimana orang bisa bepergian dengan gampang waktu itu

Di tahun 1967, saat kakak sulung saya pulang dari Amerika, dia liburan di Ngampin Ambarawa. Banyak tetangga yang bertandang menemui. Biasalah kehidupan di desa yang masih guyup, dan mereka juga ingin mendengar cerita tentang negeri impian Amerika. Saya masih ingat salah satu tetangga yang bertandang adalah almarhum Hari, tokoh pemuda setempat. Dia bangga sekali menceritakan kisahnya membersihkan barisan komunis dan antek anteknya. Juga kedekatannya dengan aparat, apalagi dengan militer. Saya mengkaitkan kisahnya dengan cerita Bu Lik Mus tentang persekongkolan aparat setempat yang menciduk pak Wir.

Benang merah itu semakin jelas. Perseteruan dengan aparat pemerintahan setempat, menolak sawahnya terbelah dua oleh saluran air, dukungan kelompok petani yang dicurigai beraliran kiri, protes protesnya tentang bengkok sawah desa, membawa pak Wir ke kegelapan yang panjang tak terkira. Dia memang tak pernah kembali. Keluarga juga tak tahu, di mana kuburnya. Yang jelas hanya diciduk sesudah lapor wajib. Tahun tahun berlalu. Tak pernah ada berita dan kejelasan. Bu Lik Mus selalu menanti. Di usia lanjut dia selalu menitikkan air mata jika disinggung tentang pak Wir.

Dua minggu lalu, hari Kamis tanggal 30 Desember 2009, saya bersama Nyi datang ke Ambarawa, mengantar Bulik Mus ke tempat peristirahatan yang terakhir.. Meninggal malam sebelumnya dalam usia lanjut. Tiga hari sebelumnya kami sempat menjenguk ke rumah sakit. Dia masih jelas berbicara dengan Nyi. Siang itu berbaring lemah Bulik Mus masih mencium Nyi, ketika kami pamit. Saya mengantar sampai ke pemakaman di Bukit Penggung. Makamnya sendirian, tak bersanding dengan makam suaminya pak Wir. Dekat makam kakaknya (ibunda Kresno yang pernah saya ceritakan) dan bapak ibunya. Bu Lik Mus pergi dengan tenang di usia lanjut. Namun masih membawa pertanyaan sedih dimana suami yang dicintainya, yang berpamitan di pagi hari saat hujan deras itu. Namun tak pernah kembali lagi seolah hilang bersama angin. Penantian sia sia sampai akhir hayatnya. Kami semua melepas kepergiannya dengan doa semoga diberi kedamaian di alam sana. Saya sempat bicara dengan putranya, adik sepupu saya, mengingat kisah pak Wir yang telah lama hilang mendahului.. Moga moga pak Wir dan Bulik Mus bertemu dan berkumpul kembali di alam sana.

Kisah semacam pasti banyak dialami oleh keluarga2 yang kehilangan anggota keluarganya. Noda hitam dalam perjalanan bangsa yang tercatat di panggung sejarah dunia. Dalih apapun yang digunakan tak akan pernah bisa diterima oleh akal peradaban manusia modern, pembunuhan karena beda keyakinan politik. Apapun dalihnya. Kejahatan terhadap kemanusiaan yang ditutupi dan dibenarkan oleh kekuasaan.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

5 comments:

paromo suko said...

perbenturan kepentingan yang diselesaikan dengan 'menghilangkan orang' sepertinya sudah menjadi bagian per'tidak-beradab'an manusia sepanjang sejarah ...
fragmen-fragmen panjenengan perlu segera dibukukan, ki

Ki Ageng Similikithi said...

Matur nuwun Romo. Selamat Tahun Baru semoga sehat sehat dan sukses selalu. Tambah rejeki, tambah sigrak, tambah konco ( sokur nek sing kinyis kinyis ). Kula nderek donga. Ehmmmm

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.
eyang bethoro said...

ikut berduka atas wafatnya ibu wir. semoga arwah beliau diterima allah swt. dan bagi yang ditinggalkan semoga dikaruniai ketabahan. amiien.

Ki Ageng Similikithi said...

Matur nuwun Eyang Bethoro Indro. Tak ente enteni tulisane kok ora muncul muncul ya