Thursday, March 13, 2008

Angin musim gugur

Newcastle Upon Tyne musim gugur 1982.

Hari Sabtu siang. Saya terpekur di muka jendela. Memandang ke kebun belakang yang sepi. Daun daun warna keemasan berguguran. Menari nari terbawa angin musim gugur sebelum jatuh ke tanah. Seandainya dedaunan itu bisa bicara. Mereka pasti akan memilih tetap bergantung di pohon induk, menari nari bersama ranting dan dahan. Alam ternyata berkehendak lain. Dedaunan itu berguguran ke tanah dan kembali ke siklus alam untuk menjadi kompos. Kompos menjadi sumber makanan bagi kelangsungan pepohonan lebih lanjut. Daun daun itu pasti tahu akan gugur. Tetapi sampai saat saat akhir sesudah lepas dari ranting pepohonan mereka masihsaja bersuka ria menari bersama angin. Angin musim gugur.

Anak bungsu saya, Moko tertidur pulas di tempat tidur sebelah meja tulis di kamar kerja saya. NYI bersama kakak kakaknya Aryo dan Wisnu jalan jalan ke kota. Acara rutin setiap Sabtu. Saya gantian di rumah menunggu anak anak terutama si bungsu Moko. Dia selalu memilih tinggal di kamar kerja saya jika ibunya pergi. Tak mau tidur di kamar utama. Umurnya kurang lebih dua tahun. Kondisi kesehatannya tak selalu baik. Dia menderita sindrom nefrotik sejak umur setahun. Pengobatan telah dimulai sejak umur setahun sewaktu di Yogya. Jika sindrom itu sedang kumat, tubuhnya akan mengalami bengkak bengkak. Beberapa kali kumat di NewCastle. Untung mutu perawatan di Inggris prima waktu itu. Kami sekeluarga juga dijamin asuransi sepenuhnya. Dalam beberapa bulan ini telah beberapa kali urinnya positip mengeluarkan protein. Ada kelainan di membrane basalis ginjal yang menyebabkan ginjal tak mampu lagi menahan protein. Selalu bocor. Pengobatan telah dilakukan sejak dia berumur satu tahun dengan tablet steroid prednisone untuk menekan inflamasi ginjal. Dokternya di RVI (Royal Victoria Infirmary) telah memberikan terapi yang terbaik untuknya dan selalu berpesan bahwa penyakitnya akan hilang kemudian. Kami selalu percaya dan mentaati terapi yang diberikan.

Walaupun sering sakit, Moko anak penggembira. Selalu ceria dan bercanda seperti kakak kakaknya. Menari nari seperti daun daun di ranting dan dahan yang bergoyang bersama angin. Kami menyewa rumah bertingkat di 24 Paignton Avenue, kira kira 3 km dari kampus. Lumayan besar. Ada tiga kamar di lantai dua. Ruang bawah relatif besar, ukuran ruang keluarga lebih dari cukup untuk tempat main anak anak. Halapan depan relatif kecil tetapi ada bunga bunga yang terawat rapi. Di belakang ada kebun dengan pohon pohon apel dan dua buah pohon besar. Nggak tahu pohon apa namanya. Hari itu seperti biasanya saya mulai manulis thesis. Ada delapan proyek riset yang saya kerjakan selama lebih dari dua tahun belakang ini. Sebagian di Yogya, sebagian di Inggris. Semua lancar lancar saja. Melihat pengaruh status gizi dan genetik terhadap kemampuan metabolisme asetilasi obat. Bulan bulan itu memang sibuk menganalisis data dan mulai menulis makalah dan thesis. Semangat saya selalu bertambah setiap melihat Moko, maupun kakak kakaknya yang sudah mulai sekolah waktu itu. Ingin cepat kembali ke Indonesia, ke Yogya dan memulai sesuatu yang baru dalam profesi saya.

Tiba tiba dia terbangun. Dia memanggil ibunya. Memanggil kakak kakakya, Aryo sama Wisnu. Nampak kecewa dan mau menangis. Tetapi melihat saya duduk di sampingnya dia kembali lagi tiduran. Saya ambilkan mainan mobil mobilan. Dia main main di lantai kamar kerja saya. Ikut melihat ke luar jendela dan bertepuk tepuk riang melihat pohon dan dahan yang bergoyang dan daun daunyang beterbangan bersama angin. Tangan tangan kecilnya selalu melambai ke arah jendela. Menyanyi dengan irama tak jelas. Irama riang semata mata. Dia mengajak saya turun dan keluar ke kebun belakang. Dia ingin merasakan tiupan angin. Terpaan angin terlalu kuat untuk dia. Saya ajak turun ke ruang bawah dan melihat lewat pintu belakang. Dia tetap saja menyanyi nyanyi dan melambaikan tangannya. Sambil minum susu segar yang datang tadi pagi. Seolah ingin ikut menikmati tarian dedaunan bersama belaian angin sore. Angin musim gugur.

Dia berteriak riang dan berlari ke arah ibunya ketika melihat mereka datang. Menikmati oleh oleh kue pedas dari toko India di ujung jalan. Mereka bertiga kembali bercanda dan berlari lari di ruang bawah. Seolah tak pernah mengenal lelah. Dalam kondisinya yang sering sakit, dia selalu menari dan berlari lari di ruangan itu. Di antara kursi tamu dan maja makan. Menari riang seperti dahan dan ranting yang bergoyang. Dua puluh lima tahun telah berlalu. Ingatan saya tetap lekat padanya. Saat saat dia menari riang. Di antara nyanyian angin musim gugur.

Dia telah pergi sepuluh tahun lalu. Sakit ginjalnya telah sembuh. Dia pergi karena kecelakaan lalu lintas, karena ulah sopir yang ugal ugalan. Dia tetap hidup di antara kami sekeluarga yang kehilangan. Setiap saat setiap waktu bersamanya tetap lekat di ingatan. Juga saat dia menari nari bersama angin musim gugur dua puluh lima tahun lalu. Ingin merasakan kembali belaian angin musim gugur itu. Dan menyampaikan salam sayang kami kepadanya. Ingin memeluknya sepuas puasnya. Bahagialah kau di sana sayang.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber, 10 Maret 2008)

3 comments:

Indro Saswanto said...

jare yu waljinah
''bungah susah''
merupakan kenangan indah
bak setangkai mawar merah
yang baru merekah
walau kadang membuat hati gundah
''podo dilakoni''
trims salam.

Ki Ageng Similikithi said...

Salam Bung Indro. Iya kadang2 kenangan begitu datang tanpa kendali. hanya bisa mengenangnya. Selamat menikmati Minggu siang yang tenang

Anonymous said...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Câmera Digital, I hope you enjoy. The address is http://camera-fotografica-digital.blogspot.com. A hug.