Tuesday, May 8, 2007

Pesan untuk gadis kecil

Kedua puisi ini saya rangkai kira kira enam tahun lalu, di tahun 2001. Saya rangkai setelah melihat potret jasad seorang gadis kecil di internet, yang dipenggal kepalanya dalam kerusuhan etnis di Sampit. Gadis kecil itu kira kira baru berumur 5 tahun.

Peristiwa yang diabadikan oleh gambar itu benar benar telah menusuk rasa kemanusiaan, mengotori peradaban manusia modern Homo Sapiens. Tidak ada kata kata yang sanggup menggambarkan kekejian dan kebiadaban itu, di republik yang konon menerima azas kemanusiaan dalam filsafat dasarnya.

Tak ada akal sehat manusia Homo Sapiens yang mampu merangkai kata untuk membenarkan kebiadaban itu. Tetapi berbagai tokoh panutan etnis dengan bangganya mengarang berbagai dalih yang membenarkan kebiadaban itu. Bahasa politik yang dikemas dengan kebohongan dan kepicikan, telah dengan sengaja menusuk rasa kemanusiaan yang paling dalam dalam budaya manusia beradab.

Para tokoh etnis dan politik sengaja menyebarkan kebohongan dan mengobarkan kebencian. Membenarkan kebiadaban dan kekerasan terjadi seolah korban yang mereka bunuh, bukan lagi spesies manusia Homo Sapiens. Tetapi siapakah sebenarnya yang pantas untuk dikatakan bukan spesies Homo Sapiens itu ?

Ketika saya mengutarakan keresahan saya, orang justru mempertanyakan legalitas saya. Di manakah akal sehat itu ? Yang seharusnya dihujat adalah mereka yang menggerakkan dan melakukan kebiadaban itu. Bukan yang mengungkapkan keresahan. Para pemimpin politik dan aparat, tak mampu berbuat tegas untuk mencegahnya. Inilah awal dari berpudarnya sebuah peradaban yang namanya Indonesia. Nusantara akan tenggelam di ufuk Barat.

Kedua puisi ini juga telah di muat di Kompas Cyber Media, 19 Februari 2007.

PESAN UNTUK GADIS KECIL

Gadis kecil gadis mungil
Matamu terpejam kelam, wajahmu beku
Engkau terserak di antara darah dan debu
Engkau diam membisu.

Gadis kecil gadis mungil, tubuhmu hancur terkoyak
Tanganmu lunglai lepas dari bahumu
Kepalamu terlempar pisah dari tubuhmu
Darahmu kering bercampur debu
Engkau tetap diam membisu, dan akan tetap diam membisu.

Seandainya engkau bisa cerita, walau hanya lewat impian
Ketakutan yang kau alami, kengerian yang kau hadapi
Kesakitan yang kau derita,
Suara-suara lantang yang menghujatmu
Engkaupun tetap tidak akan mengerti mengapa semuanya terjadi.

Engkau memang tidak akan pernah bisa bicara
Tidak akan pernah bisa mengerti
Tidak akan pernah bisa menjelaskan,
Mengapa nasib menerpamu
Terhempas oleh kebiadaban
Yang memang tidak pernah bisa dimengerti
Tidak pernah bisa dijelaskan dalam budaya manusia beradab
Mungkin hanya satu jawaban yang bisa kauberikan
Karena kau adalah pendatang.

Berbahagialah gadis kecil
Tertawalah bermainlah bersama temanmu
Bersama saudara dan orang tuamu di sana
Karena kau tidak sempat lagi
Menikmatinya di dunia ini
Bawalah kebahagiaan dan kedamaianmu
Terimalah dia di sisi MU, ya Tuhanku.
(Manila 2 Maret 2001)



NUSANTARA DI UFUK BARAT

Jika,
jeritan ngeri anak-anak manusia menjadi nyanyian kemenangan
rintihan pilu menjadi tumpuan kegagahan
merah percikan darah menjadi warna keindahan
kepala manusia menjadi lambang kepahlawanan
dan kebiadaban menjadi lambang kebudayaan.

Jika,
manusia-manusia tak berdosa tak berdaya,
terenggut jiwanya secara paksa
anak-anak kehilangan saudara dan orang tua
kehilangan anggota badan
hanya karena mereka manusia pendatang.

Jika,
bumi Nusantara tidak mungkin lagi untuk berpijak
tidak layak lagi untuk berlindung
tidak kuasa lagi memberikan keadilan
keamanan dan kedamaian bagi anak-anak bangsa.

Jika,
para cendekia kehilangan kepekaan peradaban
kecendekiawanan membelenggu kemanusiaan
menjadi sekedar kebanggaan dan kepongahan
membawa mereka jauh dari dunia nyata.

Jika,
para pemimpin hanya bernyanyi tentang kebenaran diri
bersenandung retorika indah ibarat impian
tidak lagi mampu berdiri di depan
menuju kehidupan menurut norma-norma peradaban kemanusiaan.

Inilah akhir perjalanan suatu bangsa
Bencana yang tidak akan lagi tertunda
Ufuk barat menyaput cakrawala
Kita menyongsong kehancuran
Menyambut datangnya kekalahan
Karena yang namanya Indonesia mungkin memang tidak pernah ada
Dalam hati kita
Dalam hati anak-anak manusia di Nusantara
Berpisahlah kita anak-anak bangsa
Berpisah jalan menuju peradaban menggapai kemanusiaan.
(Manila, 28 Februari 2001)

4 comments:

ambarawa said...

nyuwun sewu... mbok bilih panjenengan tiyang mbahrowo monggo join milis ambarawa@yahoogroups.com milis wong ndeso... maturnuwun !

Ki Ageng Similikithi said...

Matur nuwun, mas Said. Saya coba cari milis ambarawa kok ketemu ada beberapa. Yang mana ya ?

Natasha said...

I see most of your poems were written some years ago. Are they about love? You might have written them you were in love with a beautiful lady...?

paromo suko said...

kesewenangan dibalas kesewenangan
pada tingkat yang lebih tinggi intensitasnya

lirik mata dibalas kata-kata
kata dibalas maki
maki dibalas tinju
tinju dibalas tebas dan peluru
lalu sama-sama tumbang
habis
tapi masih bersisa kesumat
yang diwariskan dalam cerita
berketurunan-keturunan

dan akan meledak
pada saatnya
meluluhlantakkan segalanya
bahkan yang tak tahu apa-apa