Thursday, May 10, 2007

Budaya kekerasan itu ada di sekitar kita

Belum lama kita semua terhenyak oleh kisah kematian Clif Muntu di IPDN karena kekerasan. Kini kembali kita dihempas oleh berita kematian siswa kelas dua Sekolah Dasar Santa Maria Immaculata, Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, bernama Edo Rinaldi (Kolom Potret, Kompas 5 Mei 2007).

Anak malang itu meninggal secara mengenaskan karena dikeroyok oleh empat siswa/siswi dari sekolah yang sama. Budaya kekerasan seolah telah di institusionalkan dan dilegitimasi dalam lembaga pendidikan.

Ada apa dengan lembaga lembaga pendidikan kita ? Mengapa lembaga pendidikan bisa menerima atau paling tidak membiarkan budaya kekerasan di sela sela kegiatan pendidikan. Moto asih asah dan asuh seolah telah digeser secara sadar atau tak sadar dengan pendekatan yang mengetengahkan penanaman disiplin secara keras bahkan dengan cara kekerasan. Di mana itu petunjuk ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tur wuri handayani ? Hanya tinggal retorika kah?

Lembaga lembaga pendidikan kini seolah tak lagi diasuh oleh para guru yang bijak, yang menanamkan rasa cinta kasih sesama. Tetapi di kuasai oleh para manusia jalang yang menyebarkan atau paling tidak membiarkan rasa kebencian di kalangan anak didik. Orang bisa bilang itu hanya oknum. Tetapi justru kejadian kejadian fatal itu jangan jangan hanya merupakan puncak gunung es yang tak nampak dari luar. Pendekatan kekerasan dengan segala manifestasi. Termasuk memperjual belikan bimbingan atau bahkan soal ujian.

Kita sebagai orang tua merasa terpukul dan mungkin kehilangan kepecayaan. Dimanakah tanggung jawab para guru, para pendidik ? Kekerasan ini berkembang di sekolah, di lembaga pendidikan, di depan mata para guru, para pendidik. Kita sudah bertahun tahun menyaksikan dengan sedih dan putus asa tawuran pelajar sekolah yang tak pernah berkesudahan.

Saya bukan ahli yang mempunyai legitimasi menganalisis masalah kekerasan ini. Bukankah di Indonesia, pertanyaan konyol normatif ini selalu diajukan untuk mengelak. Apakah anda ahli untuk bidang ini kok berani membahas kasus kekerasan tersebut ? Pertanyaan retorik ini sering muncul kalau kita mulai mempertanyakan masalah korupsi, penyimpangan pelayanan publik, ketidak transparanan sistem pelayanan di sektor publik. Bahkan mungkin juga jika kita membahas masalah cinta segitiga atau lebih yang melibatkan pejabat yang mendapat kepercayaan publik.

Sebagai orang tua yang mempunyai anak cucu yang memanfaatkan lembaga pendidikan sekolah dan sebagai warganegara saya mempunyai legitimasi untuk mempertanyakan masalah kekerasan kali ini. Mengapa itu terjadi dan berkembang di lembaga pendidikan ?

Yang membuat saya makin kawatir, jangan jangan kekerasan di lembaga lembaga pendidikan ini hanya merupakan cermin budaya kekerasan yang sedang berkembang subur dalam tata kehidupan masyarakat. Cermatilah pertemuan pertemuan akbar entah itu dalam rangka kampanye politik, acara keagamaan, protes massal dan lain lain, selalu sarat dengan pesan kebencian dan kekerasan. Kita juga tak jarang mendengar tawuran antar warga dalam skala kecil ataupun skala besar genoside dan pembersihan etnis.

Di mana itu filsafat Panca Sila ? Apakah hanya sekedar jadi alat politis untuk menyingkirkan kelompok lawan yang dicap sebagai anti Panca Sila ? Di mana kah ciri masyarakat agamis yang selalu kita banggakan ?

Kekhawatiran saya bukan tak beralasan sama sekali. Instrumen budaya kekerasan itu begitu dekat dengan kehidupan saya, mengintai setiap kesempatan jika kita lalai. Ini contoh yang nyata. Semalam saya menerima pesan email yang menawarkan jasa pembunuh bayaran. Bukan khayalan, bukan impian. Pesan email ini datang ke alamat email resmi di kantor saya. Inilah sebagian bunyinya,

- Kami menawarkan kepada anda sebuah jasa yang istimewa, yakni pembunuh bayaran.

- Mungkin bapak/ibu memiliki dendam terhadap seseorang atau pempunyai saingan bisnis yang ingin dilenyapkan secara singkat (kebanyakan klien kami adalah pengusaha). Maka kami siap untuk membantu bapak/ibu untuk melakukan pembunuhan ini. Kami melayani kota kota besar di Indonesia.

- Metoda pembunuhan terserah bapak/ibu. Bisa langsung ditembak (disamarkan dengan perampokan), kecelakaan lalu lintas (seperti sabotase rem) atau diracun dengan racun yang disamarkan (akan tampak seperti serangan jantung).

Masih banyak informasi yang diberikan dalam iklan ini yang tak bisa ditulis semua. Mungkin ada pembaca yang juga menerima email ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa memang suatu perubahan sedang terjadi dalam masyarakat kita. Seolah budaya kekerasan sampai membunuh seseorang dianggap sebagai usaha pelayanan.

Budaya kekerasan itu tak hanya ditemui di IPDN Jatinangor. Budaya kekerasan itu telah merembet dan berada dekat di sekitar kita. Bukan mengada ada, merebaknya budaya kekerasan juga berkaitan dengan ketidak mampuan sistem hukum kita menyelesaikan kasus kasus kekerasan. Contohnya, kasus pembunuhan Marsinah aktivis perburuhan, kasus penculikan tokoh2 kritis, kasus pembunuhan Udin, pembunuhan Munir dan sebagainya. Setankah yang melakukan ? Akhir kata, pembaca sekalian. Waspadalah dan hindarilah terlibat masalah kekerasan. Rantai alat pembunuh itu atau jasa pembunuhan itu telah berkembang dekat dalam lingkungan kita. Cermatilah anak anak kita sekalian. Jangan sampai menjadi korban sia sia.
Ki Ageng Similikithi
(dimuat di Kolom Kita, Kompas Cyber Media, 8 Mei 2007)

No comments: