Tuesday, July 6, 2010

Jarum jahit

Jarum jahit selalu berpasangan dengan benang. Tak bisa berfungsi sendirian. Bekerja kompak dalam tim menjalankan fungsi jahit menjahit. Benang jahit tanpa jarum, mungkin hanya bermanfaat untuk menerbangkan layang layang. Atau kadang kadang untuk membersihkan sela sela gigi. Saya selalu dekat dengan benang maupun jarum jahit sejak kecil. Paling tidak sewaktu menaikkan layang layang. Atau jika pakaian robek. Pakaian masih mahal saat itu. Jika ada yang sobek selalu dijahit sana sini. Perkenalan yang akrab dengan jarum jahit dan benang di masa kecil di Ambarawa. Mereka selalu tersedia di laci, menunggu dengan setia saat dibutuhkan kapan saja.

Empat puluh satu tahun lalu. Tepatnya Januari 1969. Malam malam saya gelisah mencari jarum dan benang jahit. Tak ada persediaan di laci, karena saya baru saja pindah ke Yogya dari Solo. Tinggal di pondokan di Gerjen. Hari hari itu sedang menjalani perploncoan di kompleks Ngasem, yang terkenal sadis. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Ibu kost sudah tidur sejak jam sembilan tadi. Tak pantas membangunkan orang hanya mau pinjam jarum dan benang. Dua kancing baju saya lepas. Baru ketahuan malam itu. Tak tahu bagaimana tadi tukang cuci mencucinya sampai kancing baju bercerai berai lepas semua. Pas diseterika mestinya dia tahu kalau ada kancing baju yang lepas. Mungkin tidak tahu. Tetapi hal yang mustahil. Pasti tahu tetapi pura pura tidak tahu. Didiamkan saja. Nyatanya, kancingnya ditaruh diatas baju yang terlipat rapi. Pembantu tua ini suka berpura pura bloon.

Saya putuskan untuk mencari jarum dan benang malam itu juga. Naik sepeda kearah selatan menelusuri jalan ke Taman Sari. Semua toko sudah tutup. Orang Yogya waktu itu memang suka tidur awal. Hanya ada tukang jual bakmi dan ronde di perempatan. Masih ada beberapa pembeli duduk duduk, makan bakmi atau minum ronde. Beberapa tukang becak masih asyik ngobrol sambil merokok di tepi perempatan.

“ Apakah ada jarum dan benang jahit?” saya bertanya datar dan sopan. Tak ada jawaban. Empat pria yang sedang minum ronde melihat saya sambil senyum, tetapi tak berucap sama sekali. Wanita muda, mungkin isteri penjual ronde itu, tertawa agak genit. Juga tak menyahut sepatah katapun. “Maaf, apakah punya jarum dan benang jahit ?’ Saya mengulangi pertanyaan sambil menunduk memberi salam. Kesan saya waktu itu orang Yogya kalau disapa tanpa memberi hormat, biasanya acuh dan tak akan mau menjawab. Ingat waktu menjemput teman plonco, Winarni, calon mahasiswi farmasi, dua hari sebelumnya. Saya bertanya ke ibu kost yang sudah sepuh, dan memanggilnya simbah. Dia malah mlengos dan acuh. Tetapi sewaktu saya sapa “ Nuwun sewu Eyang”, reaksinya berbeda sama sekali. Sangat hangat. “ We la, ana apa cah bagus?”. Hanya dengan sedikit mengubah kata kata, sudah dialem “cah bagus”. Edan ah. Tak ada ruginya mengganti kata kata. Di Ambarawa, yang namanya eyang itu ya simbah, titik. Sama saja. Biasanya usia lanjut dan giginya ompong.

Kali ini dengan menunduk memberi salam. Mengulangi pertanyaan dengan kata kata lebih halus, ‘Nuwun sewu, kagungan jarum kaliyan benang jahit?’. Saya harapkan penjual ronde, atau sang isteri pasti akan menjawab dengan enak. Diluar dugaan, wanita muda itu terkekeh genit. “Mahasiswa gek diplonco mau awan, kok bengi2 wis gluthukan golek jarum. Sing arep dijahit sapa ya ?” Mahasiswa batu diplonco tadi siang, sudah cari jarum. Mau menjahit siapa ya?. Seorang pengunjung nyelethuk. “Yu cah enom saiki senengane dha jahit jahitan. Jaman edan.”Anak muda sukanya jahit menjahit sekarang. Serentak mereka ketawa. Tak tahu apa yang diketawakan. Ada gurauan menjurus ke masalah seronok. Konotasi seksual.

Tak saya hiraukan. Saya ngeloyor pergi. Saya jengkel sekali. Kalau tak punya, tinggal menjawab tidak punya. Kok malah melempar gurauan seronok. Saya kayuh sepeda kembali kearah utara. Jam setengah dua belas, kembali ke pondokan. Tak dapat jarum maupun benang jahit. Tertidur pulas dan tak membayangkan apa lagi melakukan kegiatan jahit menjahit. Esok paginya saya berangkat plonco dengan baju sedikit terbuka. Tanpa dua kancing baju. Tak ada pengaruh apa apa.

Hari Minggu, 20 Juni 2010. Beberapa hari lalu. Saya bersama Nyi di Hanoi. Ada beberapa acara resmi yang saya harus ikut serta mewakili organisasi. Konperensi pertama, Lower Mekong Initiative Conference, hari Kamis dan Jumat minggu lalu, berjalan lancar. Diselenggarakan oleh departemen luar negeri Amerika dan pemerintah Viet Nam. Presentasi dan negosiasi berjalan lancar dengan delegasi negara2 Mekong dalam mengatasi penyebaran penyakit infeksi. Minggu esok masih ada berbagai agenda dan pertemuan antara organisasi saya dengan berbagai lembaga pemerintah Viet Nam. Tetapi semalam baru sadar kalau baju baju saya bersih tinggal yang kerahnya sesak. Susah untuk pakai dasi. Saya tak senang pakai dasi dengan kerah menganga karena kancing teratas nggak bisa dikancingkan. Baju2 ini saya beli sesudah tidak ada keharusan pakai dasi di kantor beberapa tahun lalu. Suhu ruang dipasang 26 derajat, tetapi tak harus pakai dasi. Untuk membantu mengurangi emisi hidrokarbon.

Tak ada persediaan jarum dan benang jahit di hotel seperti biasanya hotel berbintang. Saya juga lama nggak bawa persediaan saat bepergian. Jam sebelas siang saya pergi dengan Nyi ke Vincom Mall, mall terbesar di Hanoi. Lumayan walau tak sebesar mall mall di Manila. Bagus, bersih dan tertata rapi. Hampir semua barang bermerek tersedia di sana. Kami naik turun dari lantai satu sampai empat, sama sekali tak menemukan jarum dan benang. Juga tidak di supermarketnya. Malah beli beli barang yang tadinya tak terencana sama sekali. Bikin repot menjinjing tas belanja ke sana kemari.

Dalam ruang mall memang terasa sejuk karena AC. Tetapi hawa musim panas diluar begitu membakar. Sampai 40 derajad Celcius. Hari Sabtu kemarin kami jalan jalan berkunjung ke musoleum dan museum kediaman Ho Chi Min, hawa panas tak tertahankan. Nyi tak tahan, hampir saja kolaps. Isirahat beberapa lama dibawah naungan pepohonan di halaman. Tetapi panas begitu mendera. Keluar dari halaman museum langsung panggil taksi balik ke hotel. Waktu berangkat hanya bayar 25 000 dong. Pulangnya karena tahu Nyi tak sehat, dia minta 250 000 dong. Sama saja di mana mana, manusia selalu memanfaatkan kelemahan. Kami yang lemah dan butuh saat itu.

Sesudah makan siang kami keluar dari mall. Naik Hanoi taxi, yang katanya direkomendasi tak akan menipu, menuju Hanggai street dekat danau di tengah kota. Kompleks pertokoan dan tempat tujuan belanja. Berjalan keluar masuk toko cari jarum dan benang jahit. Hampir sejam kami berjalan dalam hawa yang begitu panas. Tanpa hasil. Terasa capai sekali, apalagi dengan bawaan belanjaan yang kami beli dari mall tadi. Kalau sudah begini baru berpikir ulang mengapa tak minta jarum sama petugas hotel saja. Mestinya mereka pasti punya persediaan di hotel. Setiap kali bertanya, selalu harus bersusah payah dengan bahasa isyarat menggambarkan jarum dan benang jahit. Hanya gelengan kepala acuh yang kami dapatkan. Orang Viet Nam memang jarang senyum. Tak seperti petugas penjaga toko di Manila.

Putus asa dalam kelelahan kami panggil taksi. Maunya kembali ke hotel. Sopir taksi pura pura tak tahu lokasi hotel. Putar putar di sekitar kompleks pertokoan Hanggai. Kami biarkan saja. Sambil lihat lihat kompleks pertokoan tradisional Hanoi. Tiba tiba saya melihat beberapa toko berderet dengan gulungan gulungan besar benang. Sopir saya minta berhenti. Dengan bahasa isyarat saya minta benang dan jarum jahit. Pemilik toko memberikan satu gulungan besar benang dan satu kotak jarum jahit, isinya mungkin ribuan. Tak akan habis seumur hidup. Saya minta gulungan kecil dan beberapa jarum. Agak lama menunggu. Seorang pria usia lanjut beranjak ke belakang dan kembali dengan gulungan kecil benang warna putih dan bungkusan kecil jarum jahit.

Akhirnya ketemu yang saya cari. Tertulis harga 10000 dong. Si penjual, pria muda itu minta 25 000. Tak ada gunanya tawar menawar. Masuk mobil kembali kami langsung ke hotel. Masuk ruang dingin. Lepas dari siksaan hawa panas dan keletihan. Masih untung ini naik taksi. Saya bayangkan kalau naik sepeda seperti empat puluh tahun lalu, mau jadi apa? Rum jarum. Sempat menyiksa pasangan usia lanjut seperti saya dan Nyi selama beberapa jam.
Salam hangat dari Hanoi
Ki Ageng Similikithi

2 comments:

ustadz said...

orang yg tawwadu / tidak sombong adalah orang yg mau menjahit sendiri kalau celananya sobek atau sendalnya jebol seperti aki contohnya. tapi kalau sarungnya kotor apa mau mencuci sendiri? ah paling nyai yg maju. he he
salam ki dari jauh.

Ki Ageng Similikithi said...

terima kasih dan sallam hangat. Mencuci sendiri sih biasa. apa lagi kalau bepergian begini. Kalau cuci ke laundry hotel kan mahal sekali. salam kembali pak ustaz