Saturday, November 29, 2014

Berlari hingga hilang pedih peri



Pagi yang cerah, ceria  dan indah. Angin sejuk bertiup ringan.  Kami murid murid sekolah di Ambarawa kumpul di lapangan batalion 440 (sekarang batalion kavaleri 2). Tahun 1963, saya duduk di bangku kelas satu  Taman Dewasa ( SMP Taman Siswa) Ambarawa. Hari ini hari istimewa. Ada ujian ketangkasan badan yang digelar setahun sekali untuk menguji kemampuan atletik anak anak sekolah menengah seluruh kawedanan Ambarawa. Jam setengah tujuh tadi saya sudah sampai di sekolah, di bagian utara kota, lalu baris ramai ramai berangkat ke selatan kira kira 1.5 km. Saya lihat Irma, memakai kaos warna hijau daun. Pas sekali warnanya, biasanya dia akan tanya gimana Ki patut enggak ?  Tak sempat bicara pagi itu. Semua pikiran tertuju ke ujian ketangkasan badan.

Tidak ada beban sama sekali bagi saya. Saya telah menunggu saat ini sejak berbulan lalu. Tiap pagi selalu lari pagi. Sore hari latihan sprint di sekeliling rumah. Ada tempat khusus untuk lompat jauh dan lompat tinggi di dekat kandang sapi dan tempat latihan tolak peluru di kebun belakang rumah.  Tidak  semua memakai sepatu olah raga. Sepatu olah raga termasuk barang mewah waktu itu. Saya memakai celana pendek dril abu abu. Agak panjang sampai di atas lutut. Tidak ada ikat pinggang. Celana ini menggunakan serempang untuk menggantungnya di pundak.  Serempang itu sudah saya turunkan dan lilitkan di pinggang untuk mengganti sabuk. Benik celana yang longgar saya perkuat dengan peniti besar untuk mengikat kedua sisi celana di bagian depan.  Semua sudah disiapkan meski tidak ada sabuk. Saya memang belum pernah mempunyai atau memakai sabuk. Pagi itu saya benar benar merasa siap untuk unjuk gigi kemampuan atletik.

Teman teman nampak serius sekali, seperti menanggung beban. Hal yang tidak perlu sebenarnya. Lulus atau tidak, tidak akan mempengaruhi rapot. Budiyana, teman dari Bandungan, yang biasanya gaduhnya nggak karuan diam seribu bahasa. Untung teman sebelah bangku,  juga berdiam diri, tetapi sesekali saya lihat tangan dan kakinya bergerak secara otomatik seolah sudah turun di lomba.  Tidak semua harus mengikuti nampaknya oleh karena banyak teman yang sekedar menonton dan meramaikan. Prestasi atlet atlet papan atas selalu menjadi bahan perbincangan hangat di sekolah. Sebagian mengetahui dari koran Suara Merdeka, sebagian kecil dari radio oleh karena radio masih terbatas sekali waktu itu. Kami sangat paham nama nama seperti Emil Zatopek, pelari marathon legendaris Cekoslovakia, yang memenangkan beberapa medali olimpiade. Ni Che Chin, pelompat tinggi dari Cina dengan lompatan 212 cm. Sarengat pelari cepat Indonesia yang memenangkan medali emas Asian Games 1962 di Jakarta. Sarengat yang akhirnya menjadi dokter ini juga peloncat tinggi, loncatannya di Manila tahun 1963 adalah 193 cm. Gurnam Sigh asal Medan yang memenangkan beberapa medali emas dalam Asian Games 1962 untuk lari jarak jauh. 

Saya hanya merasa agak tegang  menunggu giliran turun di lomba mana dulu. Ada sprint 80 meter, lompat tinggi, lompat jauh, lempar lembing dan tolak peluru. Marathon diselenggarakan terpisah oleh karena makan waktu sehari sendiri. Juga lari beregu 4 kali 100 meter. Ternyata saya bersama Budiyana dan  Untung harus ikut lari sprint 80 meter dulu. Banyak anak bergerombol di sana, sebagian besar mungkin hanya menonton dan sorak sorai menyemangati teman masing masing. Untung dapat giliran duluan. Lancar tanpa halangan, dia lari lepas di antara garis lurus ke arah utara. Kami semua bertepuk ramai. Giliran kedua teman sekelas saya anak putri, Giek namanya. Mereka bertiga, enggak tahu dari sekolah mana yang lain. Giek berambut keriting. Dia berlari  tanpa sepatu, begitu lepas dan bebas, beda dengan penampilan keseharian yang gemulai dan pendiam. Rambutnya pun begitu tegar tidak terusik angin saat berlari. Sayang di tengah jalur dia menginjak garis sebelah kanan. Moga moga tidak di diskualifikasi. Dia mencapai finish pertama.

Saya bersama Budiyana dengan seorang siswa dari sekolah lain mendapat giliran ke tiga. Pak Beny, guru olah raga kami, menjadi peniup peluit start. Begitu peluit berbunyi, saya melesat lari seperti anak panah lepas dari busur. Budiyana dan siswa yang lain itu tertinggal beberapa langkah di belakang. Lewat setengah jarak tempuh saya masih lancar berlari di depan. Kira kira 30 meter sebelum finish, ada rasa aneh di pinggang, ternyata serempang yang saya pakai mengganti sabuk, terlepas. Dengan sigap saya pegang celana sambal tetap berlari. Tiba tiba saja Budiyana melewati saya di sebelah kiri, dan teman yang satu lagi di kanan, juga akan menyusulnya. Belum tahu dia, jangan coba coba nDhul, saya menggenjot lari saya sambal memegang celana. Ada rasa menusuk di perut bagian kiri. Tak terasa awalnya, tetapi semakin pedih, semakin menusuk. Nampaknya peniti itu lepas dan ujungnya menusuk perut saya. Ini gila benar. Kalau jaman sekarang pasti orang bilang  ‘konspirasi sistematik, terstruktur dan masip”. Agak panik saya hanya beberapa meter menjelang finish. Hanya berdoa. Ingat puisi Khairil Anwar yang minggu lalu dibahas guru bahasa Indonesia. Berlari berlari, hingga hilang pedih dan peri. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Asal sampai garis finish. Lama sekali rasanya, seolah garis finis itu berada di luar dunia. Akhirnya saya mencapai finish bersamaan dengan teman satu tadi. Budiyana sampai paling awal. Berapa catatan waktunya ? Budiyana 11.5 detik, saya 12.5 detik untuk 80 meter. Memalukan harusnya 80 meter sekitar 11 detik. Rekor dunia 100 meter sekitar 10 detik lebih sedikit. Lunglai rasanya, celana ini bikin sial benar.

Giliran kedua tolak peluru. Tidak begitu hiruk pikuk yang nonton. Waktu sampai di lapangan tanding, saya liat kakak kelas saya Susmono, dengan gaya elegan melempar peluru  dengan lontaran tangan dari belakang. Tidak mendorongnya seperti layaknya orang tolak peluru dengan gaya menyamping atau membelakangi target.  Dia bisa melewati garis yang ditentukan, lupa berapa jaraknya.  Saya mendapat giliran kemudian, saya genggam erat peluru seberat 5 kg itu, dengan gaya menyamping saya dorong lempar ke depan. Not that bad. Lemparan saya bisa melewati garis, tidak terlalu jelek. Semangat tumbuh kembali. Budiyana tidak ikut ambil bagian, nggak tahu kenapa, dia lebih seneng jajan minum cao dipinggir lapangan. 

Giliran ketiga lompat tinggi. Peserta harus mampu lompat paling tidak 110 cm di sini. Ringan pikir saya. Saya toh biasanya bisa lompat sampai 115 – 120 cm. Masing masing peserta diberi kesempatan tiga kali. Lompatan pertama dengan gaya telungkup seperti anjing kecing. Salah satu kaki (kanan) naik duluan secara miring. Dengan ringan saya sudah diatas palang. Tinggal kaki sebelah yang belum naik. Ketika badan dan kaki kanan mulai turun diikuti kaki kiri, lagi lagi serempang celana ini yang mengganggu. Lepas dan menarik palang kayu itu. Saya terpuruk di pasir sambil menyumpah. Ada yang teriak, ulangi lagi, kurang tipis sekali. Saya ulangi lagi dengan gaya telentang membelakangi palang. Saya tidak biasa dengan gaya ini. Harusnya punggung merentang lemas, tetapi punggung saya membungkuk kaku. Tak aneh jika menyentuh palang kayu. Gagal lagi. Mau coba loncatan ke tiga sudah ragu ragu. Ada yang tidak beres. Loncatan tertinggi oleh kakak kelas dengan tinggi 135 cm.

Datang ke arena loncat jauh. Lumayan ramai. Untung dan Tarso,  teman saya sudah menyelesaikan loncatannya. Lumayan bagus. Mereka teriak agar saya ambil giliran saya. Sebenarnya sudah malas. Tetapi liat teman putri, Giek, bisa loncat ringan dan enak sekali, pengin juga saya ambil giliran saya. Budiyana dengan celana biru acuh di pinggir lapangan. Tak kelihatan dia berminat. Lebih menikmati bersiul siul sendirian. Ketika giliran sampai, saya merasa siap. Lompat jauh bukan sesuatu yang susah. Asal bisa mengambil momen tepat dengan irama lari saat sampai di papan loncat. Saya lari dengan sigap  dan meloncat di papan loncat dengan ringan sekali. Tiba tiba keseimbangan terganggu. Tangan saya memegang pinggir celana. Harusnya saya mendarat dengan tungkai duluan, lalu tubuh mengikuti. Lha ini kok salah satu kaki mendarat duluan, tubuh ikut terdorong ke depan muka saya mencium pasir. Bahasa Jawanya kejlungub. Jarak tidak mengecewakan. Cuma diketawakan orang banyak karena jatuhnya kok muka bisa ikut mencium pasir. 

Ujian ketangkasan badan gagal total bagi saya. Tetapi saya tetap mencintai atletik sampai sekolah menengah atas, kecuali marathon. Tidak punya napas panjang untuk lari marathon. Adik adik saya bahkan pernah lomba sampai tingkat kabupaten untuk marathon. Lebih tiga tahun kemudian menjelang akhir SMA di Solo, saya ujian olah raga lagi. Sama sekali tidak mengecewakan, senam palang dan koprol saya termasuk yang bagus di kelas dan diberi nilai 8. Biasanya di raport olah raga hanya dapat nilai 6 atau 7. 

Apakah anak anak sekolah sekarang masih berkesempatan tanding atlletik ? Hanya sering berpikir, mengapa anak anak sekolah ini suka sekali tawur. Mengapa mereka tidak lagi bersaing  sehat seperti atletik ?  Apakah tanding atletik antar sekolah sudah tidak lagi lajim ?  Indonesia memang nggak masuk percaturan di Asia di bidang atletik sekarang. Atletik biasanya didominasi oleh mereka mereka dengan disiplin dan etos kerja yang tinggi. Anak anak muda berlombalah di atletik, ini cermin kedisiplinan kalian.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi

No comments: