Saturday, December 14, 2013

Percakapan santun


Wajahnya begitu santun. Pandangannya menatap ke luar lewat jendela yang terbuka lebar. Angin sejuk berembus lembut.  Akhir pekan yang cerah.  Tahun  delapan puluhan awal. Saya mengantar  seorang kerabat bertamu ke Salatiga. Di rumah peristirahatannya. Bapak tersebut, sebut saja namanya bapak Karyo, adalah pejabat Kepala Biro Kepegawaian propinsi salah satu dinas pemerintahan.  Sehari sebelumnya sudah memberikan waktu di akhir pekan untuk  menemuinya.

“ Dimas, berpuluh tahun saya telah mengamati perjalanan karier banyak pejabat di propinsi ini, sejak awal mereka masuk, sampai ke puncak. Perjalanan panjang penuh warna”.

Ucapannya lembut , sambil menarik napas panjang, seolah menggumam terhadap diri sendiri. Saya duduk di kursi seberang. Sementara kerabat saya duduk di kursi di dekat pak Karyo. Kerabat saya terbata menjawab, seperti tidak siap.

“Injiiiiiih pak. Mila kula sowan Bapak, badhe nyuwun pangestu” . Iya pak, makanya saya menghadap mohon restu.
“Tanpa diminta pun saya selalu memberi restu. Saya adalah abdi negara.  Kuajiban saya adalah mengabdi untuk negara”.

Kerabat saya semakin tidak siap memberi response. Kedua tangannya terselip diantara ke dua lutut. Badannya ikut bergoyang saat menganggukkan kepala berulang kali. Dengan gagap dia berkata.

“ Kawula sampun wonten luar Jawa 13 tahun. Nderek nyuwun penempatan wonten mriki”.
Saya sudah bertugas di luar Jawa selama 13 tahun. Mohon penempatan di daerah sini.
Katanya lirih menghiba.  Bahasa tubuhnya semakin menunjukkan jika dia dibawah angin posisinya. Hanya mengangguk angguk. Tidak  Mengangguk Angguk Sambil Berseru tri lili lili lili, seperti dalam lagu anak anak itu. Kedua tangannya semakin tenggelam di antara ke dua lutut.
“Dimas, sudah sampai saatnya sampeyan balik ke sini, lenggah dadi manggalaning praja,  ngayahi tugas narendra gung binathara”.  Duduk sebagai pejabat publik, menjalankan tugas mulia.  Kerabat saya semakin kehabisan perbendaharaan untuk berkata. Hanya bilang “ injih mekaten”, sambil mengangguk angguk pelan.

Pak Karyo memperbaiki posisi duduknya. Bersandar di kursinya. Sambil terus bicara tentang kuajiban dan tugas pegawai negeri. Matanya tetap menatap langit di luar, seolah mencari petuah dari langit. Beberapa kalimatnya masih teringat saya, seperti yang sering diutarakan dalam penataran P4. Kalimat kalimat itu begitu magis, seolah datang dari dunia sakral. Saya ikut terbawa, kedua tangan saya menyilang di dada  dan ikut mengangguk angguk. Tidak sesering kerabat saya.

Hampir setengah jam ritual itu berjalan khidmat. Dalam bahasa yang sangat santun. Penuh ungkapan indah pengabdian abdi negara. Ketika pak Karyo berhenti, dan mempersilahkan kami minum teh, saya menginjak kaki kerabat saya untuk berpamitan.  Dia mempersiapkan sesuatu. Amplop dengan garis  garis merah di tepi, par avion.

Pak Karyo masih menatap langit di luar sana. Sesekali menarik napas.  Tiba tiba setting ritual berubah. Kerabat saya masih dalam posisi duduk. Mendekatkan diri sambil menunduk.  Kedua tangannya bebas dari jepitan lututnya. Tetapi diantara jari tangannya menjepit amplop Par Avion itu.  Pak Karyo  tetap tak mengubah posisinya. Tak membuka kacamatanya.  Tetap memandang langit. Tetap bersandar di kursi. Tetapi jari jari tangannya dengan sigap menjepit amplop dari kerabat saya tadi.

Saya terkesiap. Kejadian berlangsung begitu cepat. Pak Karyo berujar. “Ah mbok nggak usah repot Dimas”, tetapi amplop langsung pindah tangan. Amplop ini biasanya untuk pos udara. Paling tidak butuh waktu seminggu jika untuk kirim surat ke luar Jawa. Tetapi pagi itu perjalanan amplop itu hanya berlangsung dalam detik.

Gratifikasi kadang tidak bisa dipisahkan dari kesantunan Jawa. Mungkin hanya ungkapan terima kasih semata. Tetapi kalau gratifikasinya rumah, itu sudah lain masalahnya. Entahlah apapun namanya, entah itu gratifikasi, glondong pengareng areng, memang produk budaya yang bisa menuju jalan sesat.

Salam damai
Ki Ageng

No comments: