Sunday, November 8, 2009

Sandiwara penegakan hukum

Wajahnya tak memberikan kesan wibawa sama sekali. Sebatang rokok terpasang di sudut mulut, bergerak gerak setiap dia bicara. Pria itu terus saja bicara dengan gaya menggurui. Seolah kami bertiga hanyalah manusia manusia kecil tak berdaya. Paling tidak di hadapannya. Matanya kadang berputar menyapu ruangan. jarang menatap kami langsung. Wajahnya bulat. Berbadan kekar, sedikit agak gemuk. Tinggi di atas rata rata. Menjelang akhir 1975, kami bertiga, kakak ipar saya dan paklik saya, kebetulan keduanya bernama sama, Subroto, sedang berada di kejaksaan Ambarawa. Lupa nama dan jabatan sang penegak hukum itu. Mungkin Kasipidus. Kepala Seksi Pidana Khusus. Ada urusan. Ayah saya sudah lebih dua bulan mendekam dalam tahanan. Tanpa berkas tuduhan apapun.
" Saya ini abdi negara. Di sumpah untuk melindungi masyarakat. Saya benar benar merasa kasihan melihat bapak sampeyan. Saya pengin urusan ini cepat diselesaikan."
" Kami juga pengin urusan ini segera selesai ", paklik saya menyahut.
" Bapak saya pesan kalau dia ingin berkasnya segera ke pengadilan dan disidangkan". Saya menyela pembicaraan.
" Lha ini cara anak muda menyelesaikan masalah. Sok pahlawan. Pengadilan dianggap barang entheng. Sampeyan terlibat dalam organisapi mahasiwa ya?.

Pertanyaanya ditujukan ke saya. Saya masih ingat persis beberapa kali dia memplesetkan kata organisapi dengan gaya yang sangat sinis. Pertanyaannya tendensius. Seolah organisasi mahasiswa ini barang haram. Saya masih menunggu sumpah dokter waktu itu. Semua ujian sudah selesai.
" Jika anda percaya sama saya, urusan ini lebih baik diselesaikan di luar pengadilan", sambung sang penegak hukum.
" Apa maksud pak jaksa ?". Paklik saya mencoba bertanya.
" Jangan berlagak pilon. Saya akan berkoordinasi dengan kepolisian dan pengadilan dalam menangani kasus ini. Kasusnya akan kami deponir. Tetapi terus terang saja, saya perlu cash agar mereka mereka mau menutup kasus ini. Jaman sudah gila. Aparat hukum pada doyan duwit".

Nampaknya orang ini sudah begitu terlatih menggiring orang untuk mau menyelesaikan masalah dengan jalan damai. Omongannya selalu sok bersih, seolah dia bertugas membersihkan sistem yang rusak. Padahal dia juga yang berperan kotor dan ikut merusak sistem itu. Bayangkan saja berita akhir akhir ini, seorang petinggi penegak hukum, ketahuan sedang masturbasi dengan seorang caddy wanita muda di kamar hotel. Apa yang dia bilang ke suami siri sang wanita saat ketahuan ? "Saya ini sedang mengemban misi memperbaiki negara yang sudah bobrok". Gila memperbaiki negara kok dengan masturbasi dengan caddy wanita di kamar hotel, Kembali ke cerita semula. Sang jaksa kemudian dengan sedikit senyum menyebutkan angka jumlah uang yang diperlukan. Saya lupa persisnya. Jika tak keliru sekitar dua setengah juta rupiah.
"Jangan dinilai dari segi jumlahnya. Pandanglah dari inisiatif baik dibelakangnya. Saya bermaksud menolong bapak sampeyan. Jika tak bersedia tidak apa apa. Saya perlu memberi sesuatu kepada mereka yang doyan duwit itu". Sekali lagi dia melempar tanggung jawab perilaku jelek itu ke pihak lain. Kepolisian dan pengadilan. Padahal setali tiga uang. Orang Jawa bilang rase sama kuwuk, sama saja suka mencuri ayam.
" Apakah ada jaminan jika uang kami serahkan Bapak saya akan dikeluarkan?, kakak ipar saya bertanya.
"Jangan menantang ya. Kata kata saya tadi keluar dari mulut seorang penegak hukum. Bisa saja Bapak sampeyan saya jerat dengan tuduhan subversi. Tak ada batas waktu penahanan. Saya pernah menjebloskan orang dengan hukuman 15 tahun karena subversi di Jawa Timur dulu. Ati ati sampeyan ngomong".

Balasannya ketus dengan nada mengancam. Sang jaksa begitu tersinggung dengan pertanyaan kakak ipar saya.. Mungkin dalam benaknya tidak layak pertanyaan itu diajukan ke sang penegak hukum. Apapun yang dikatakan sang jaksa ya bersifat mengikat secara hukum. Sapda pendhito ratu. Kami bertiga minta diri keluar ruangan. Akan berpikir dan berbicara dulu. Di luar saya melihat para pegawai duduk bergerombol di ruang depan. Ruang terbuka menghadap halaman dan jalan raya. Kepala kejaksaan juga berdiri disana, merokok. Tak tahu apa yang diperhatikan di sana. Suasana itu memberikan kesan kuat akan etos kerja yang buruk. Mereka semua berseragam abu abu. Tiba tiba seseorang mendekati saya dan mengajak salaman.
' Ingat saya Ki?
' Dim, gimana kabarnya ? Anda kerja di sini sekarang?
Dia teman saya sewaktu SMP dulu. Juga murid bapak saya.
" Ki terus terang saya pengin bicara. Kasihan bapakmu. Diselesaikan saja di luar pengadilan. Tadi kan sudah ketemu pak Kasipidus ?. Berat kalau masuk kasus subversi'.

Saya tak begitu minat untuk bicara lebih banyak. Saya dan kakak ipar saya langsung pulang. Paklik saya kembali ke tempat tugasnya di Lembaga Pemasyarakatan Ambarawa Malam itu kami janji akan bertemu di rumah. Membicarakan tawaran sang jaksa tadi.

Ceritanya, kira kira sepuluh minggu sebelumnya, rumah kami digerebeg polisi. Bapak saya suka kumpul kumpul sama banyak orang, terutama mereka yang mengikuti aliran kebatinan. Lima belas tahun sebelumnya dia ikut masuk salah satu aliran kebatinan yang bernama Manunggal, yang dipimpin oleh Romo Herucakra di Banyumas. Banyak sekali pengikutnya waktu itu. Saya hanya sempat melihat pagelaran wayang kulit di Wedhi Klaten tahun 1965, dengan dalang terkenal yang juga penulis kondang sastra Jawa. Jika tak salah satu karangannya adalah Api di Bukit Menoreh.. Ternyata banyak pengikut dari kalangan atas, termasuk kalangan Chinese business . Salah satu murid senior perguruan kebatinan ini seorang Jerman yang desersi dari tentara Belanda waktu perang kemerdekaan dan telah masuk WNI. Namanya Hoebers. Dia sering nginap di rumah kami ber minggu minggu. Saya benar2 kagum akan kemampuan bahasanya. Dia menguasai 33 bahasa. Juga ahli matematika. Saya tidak mengikuti aliran tersebut. Hanya dengar cerita dari Bapak saya. Di awal tahun tujuh puluhan aliran ini dilarang pemerintah.

Para pengikut aliran Manunggal yang tinggal di sekitar Ambarawa sering kumpul kumpul di rumah pada hari hari tertentu, kalau nggak salah Selasa Kliwon. Terutama setelah Romo Herucokro meninggal. Lupa kapan persisnya. Saya sering mengingatkan ayah saya oleh karena setiap pulang ke Ambarawa sering banyak orang kumpul di rumah. Umur ayah saya waktu itu pertengahan enam puluhan, pensiunan. Banyak orang kumpul mungkin juga hiburan buatnya. Apalagi jika diskusi mengenai aliran yang dipercayai bersama. Pada saat penggeledahan ketemu beberapa materi cetak perguruan manunggal dan beberapa kopi majalah Echte Warheid. Majalah ini aslinya terbit di USA. Saya minta kopi bahasa Belanda nya untuk bahan bacaan Bapak saya. Tak ada kaitannya dengan subversi. Diterbitkan oleh salah satu sekte agama di Amerika. Hanya karena berbahasa Belanda dan gratis, maka saya minta majalah itu dikirm rutin ke alamat Bapak saya.

Bapak saya di tahan di kepolisian Ambarawa kira kira dua minggu, kemudian dipindah di Salatiga beberapa minggu, sebelum akhirnya dialihkan ke penjara tua di Ambarawa. Saya sempat menemuinya beberapa kali saat di Ambarawa dan Salatiga. Sekali bersama Nyi. Masih pacaran tetapi sudah tahap serius. Kami baru akan kawin bulan Desember nanti. Bapak saya tetap berkeras hati merasa tidak menyalahi aturan apa pun. Dia minta agar berkas pemeriksaan segera diajukan ke pengadilan. Di jaman Belanda memang pernah mendekam di Nusakambangan karena ikut gerakan bawah tanah melawan pemerintah Belanda di tahun empat puluhan. Jadi ditahan polisi dia tak merasa kecil hati sama sekali. Saat di tahan di kepolisian, walau tempatnya sangat sederhana, dia tak banyak mengalami masalah. Banyak bekas muridnya yang selalu menengoknya. Saya begitu khawatir saat itu oleh karena kami sedang berencana akan menikah. Memang akhirnya saat pernikahan kami, bapak mendapat ijin khusus untuk menghadiri. Diberi libur dari tahanan selama 3 hari. Ikut ke Pekalongan menyaksikan acara nikah kami.

Malam harinya sesudah menghadap sang jaksa tadi, kami bicara di rumah dengan kakak kakak saya dan paklik. Akhirnya disepakati saja untuk memenuhi permintaan sang jaksa. Dua setengah juta rupiah. Saya lupa siapa yang menyerahkan ke kejaksaan. Kakak ipar saya atau paklik saya. Ternyata benar, walaupun uang sudah diserahkan, sampai lebih seminggu Bapak belum juga dibebaskan. Kemudian kakak ipar saya menemui lagi sang jaksa tadi. Saya tidak ikut oleh karena sudah mulai bertugas sebagai asisten. Ternyata sang jaksa masih minta komisi lagi. Minta tambahan untuk dia. Satu juta rupiah. Saat uang komisi itu diserahkan dengan tenang katanya dia berkata " Orang kan bisanya cuma tolong menolong. Take and give".

Ini salah satu kisah hitam pengalaman saya berhadapan dengan penegak hukum. Bapak saya sebagai pihak yang dituduh waktu itu. Di tahun 1997, ada pengalaman getir yang lain. Anak saya Moko meninggal karena ditabrak mobil yang dikendarai secara sangat sembrono. Kami sebagai pihak korban. Tetapi saat persidangan di pengadilan, juga harus mengeluarkan uang untuk jaksa dan hakim agar si penabrak masuk penjara. Penabrak itu memang akhirnya di vonis 11 bulan, tetapi nggak tahu berapa lama dia mendekam di dalam. Semua toh bisa tawar menawar.

Jadi ketika saat ini ada rame rame antar elit penegak hukum di atas sana, saya tidak kaget dan tidak gumun. Orang Jawa bilang, rase sama kuwuk sama sama suka mencuri ayam. Hanya ingat cerita saat Indonesia krisis pejantan sapi, maka waktu itu cepat2 pemerintah mengimpor sapi pemacek dari Australia. Krisis sapi teratasi. Kalau krisis hukum apa ya bisa impor ? Apanya yang mau diimpor? Yang penting aja gumunan, aja kagetan. Kita semua melihat sandiwara besar.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Monday, November 2, 2009

Siapakah aku ini

Hidup adalah perjalanan panjang. Menempuh arah dan menuju tujuan masing masing. Dalam perjalanan panjang itu pasti bertemu banyak orang. Dengan segala corak dan tujuan hidup masing. Juga bertemu banyak teman. Teman sesaat atau selamanya.. Juga teman hidup yang dicintai. Yang menemani perjalanan sampai waktu berakhir. Bertemu dengan banyak corak manusia, pertanyaan kadang menerpa. Siapakah mereka? Apa yang mereka lakukan. Siapakah aku? Apa yang saya tuju dalam hidup ini? Pertanyaan yang sering datang bersama lamunan.

Pertanyaan sederhana ini datang ke benak saya , pertama setelah membaca sajak Chairil Anwar , di tahun 1964. Setelah pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin tak lengkap. Hanya ingat sepatah sepatah " Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya yang terbuang. Tak perlu sedu sedan itu. Biar peluru menembus kulitku. Aku tak kan peduli. Berlari Berlari, hingga hilang pedih peri" Saya tak tahu persis apa yang emosi dan pikiran Chairil dibalik puisi itu. Nampak begitu bergelora. Membara penuh semangat hidup.

Musim bunga di tahun 1964. Bunga kopi, bunga mawar semerbak di kebun kami. Hanya beberapa minggu setelah kami menerima pelajaran tentang puisi Chairil Anwar tadi. Di hari Minggu itu kami siswa siswi Taman Siswa jalan jalan ke Gunung Kendali Sodo, di sebelah Timur Laut kota. Bahasa sekarang mungkin outbond. Dulu waktu sekolah dasar, istilahnya gerak jalan. Berjalan kaki sepanjang kurang lebbih tujuh kilometer. Dari desa kami total mungkin 12 kilometer. Dipimpin guru olah raga, namanya pak Beny. Badannya kuat, suka cerita, kadang sampai membual. Katanya pernah dikeroyok perampok lima orang. Satu persatu KO kena ketupat Bangka Hulu. Perjalanan mengasyikkan. Tak terasa lelah walau jalan mendaki sepanjang perbukitan,setelah melewati desa Doplang. Hawa belum panas benar. Awal musim hujan. Udara Ambarawa masih sejuk kala itu. Pak Beny selalu cerita ke sana kemari. Kadang2 teriak memberi semangat sepanjang jalan.

Kami tiba di puncak Gunung Kendalisodo kira kira hampir jam sebelas siang. Dari puncak bukit itu terlihat pemandangan lembah terhampar luas. Lembah Ambarawa di sebelah Barat, dan dataran rendah menuju Semarang ke arah Timur Laut. Begitu menakjubkan. Asri dan damai sekali waktu itu. Saya merasa begitu kecil berdiri di puncak bukit itu. Kami hanya duduk duduk dibawah pohon pohon rindang.Kadang kadang nyanyi bersama. Lupa lagu apa saja yang kami nyanyikan saat itu. Satu yang tak terlupakan. Lagu indah Taman Siswa kami kumandangkan di atas bukit . "Taman Siswa perguruanku. Hiduplahmu semerdekanya. Taman Siswa jantung hatiku. Bersinarlah semulianya. Dari Barat sampai ke Timur. Pulau pulau Indonesia. Nama kamu sangatlah masyhur. Diliputi merah danputih".

Habis nyanyi nyanyi hanya duduk duduk menggerombol. Masing masing asyik ngobrol dan makan bingkisan makanan dengan kelompok masing masing. Pak Beny cerita di kelilingi siswi siswi putri. Hanya seorang siswa laki laki yang ikut dalam kelompok pak Beny, namanya Kadar si kacamata. Dia takut jauh jauh. Tebing begitu tinggi dan terjal. Takut kalau terpeleset. Saya lihat Santi dan mbak Marni di seberang lereng bukit. Santi nampak begitu menawan. Dengan baju hijau muda. Pipinya memerah terkena panas mata hari. Kadang2 dia terpekik ceria. Tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tiba tiba saja saya ingat puisi Chairil Anwar itu. Aku. Pertanyaan menerpa ringan di antara lamunan menikmati pemandangan alam yang menakjubkan. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Lamunan saya melayang di antara langit dan awan. Menelusur lembah dan bukit yang begitu indah. Pemandangan lembah yang begitu indah terhampar luas di bawah sana. Saya ingin terbang menembus cakrawala itu. Menembus langit itu. Bersama awan. Bersama Santi, kalau bisa. Dengan baju hijau muda dan syal warna lembut. Dia sering memakai syal warna kuning lembut. Untuk mengusir hawa dingin pagi hari waktu itu. Syal itu pasti akan melambai lambai di langit jika dia terbang. Terbang di langit tak bertepi. Dalam lamunan tak berbatas. Edaaan ah. Lamunan keterlaluan. Tetapi melamun sih bisa saja. Tak ada larangan untuk melamun.

Siapakah aku ? Apa yang saya gapai? Saya ingin pergi ke luar dari lembah indah itu. Belajar dan berjuang ke masa depan. Saya ingin belajar di luar sana. Di balik cakrawala. Di seberang dunia. Di luar Indonesia. Ingatan saya melayang ke kakak saya tertua yang saat itu sedang tugas belajar di West Lafayette, USA. Moga moga saya bisa seperti dia. Namanya Hadiwaratama. Lulus ITB tahun 1963, terus tugas belajar ke Amerika.
Sekarang sudah pensiun dari ITB.

Keinginan saya untuk pergi begitu bergelora. Bercampur lamunan lamunan indah.. Hidup memang begitu keras saat itu. Saya harus bangun setiap pagi jam empat. Memerah susu. Kemudian jam enam pagi sudah harus berangkat sekolah jalan kaki. Pulang sekolah juga harus mengurus sapi sapi itu kembali. Masih ada banyak binatang piaraan yang lain, kambing, kuda, ayam dan burung. Meskipun ada pekerja, tetapi kami bersaudara selalu harus terjun mengawasi. Kami punya perusahaan pemerahan susu di desa. Tak pernah memelihara kerbau. Nggak tahu kesan terhadap kerbau selalu negatip. Di antara kerasnya hidup sehari hari, hanya lamunan itulah pelarian yang indah dan mengasyikkan. Dengan pertanyaan, siapakah aku dan apa yang ingin saya gapai dalam hidup ini.

Beberapa tahun kemudian, pertanyaan serupa juga sering hinggap di benak saat kuliah di fakultas Kedokteran, di Mangkubumen Yogyakarta. Kebetulan seorang guru besar yang kami banggakan juga suka cerita. Kadang membual. Ceritanya selalu dimulai dengan kata kata "Saya ini". Setiap pulang dari luar negeri selalu cerita. "Saya ini minggu kemarin ke Hawai. Ada konperensi". Pernah saya ceritakan, adik kelas saya Narko pernah disuruh keluar dari kelas. Baru sang guru besar mulai bicara "Saya ini", Narko teriak dari belakang "Si Gembala Sapi". Berang benar guru besar itu. "Keluar kamu, anak kampung. Sana pergi ke Sentolo saja". Kesulitan kesulitan semasa kuliah selalu menghantui. Tetapi mendengar cerita sang guru besar tadi, selalu membesarkan hati. Siapakah aku ini? Apa yang akan saya gapai dalam hidup ini? Kami selalu terpukau mendengar ceritanya. Walau beberapa mungkin sedikit membual. Tetapi itulah yang memompa semangat saya. Mencari apa yangakan saya gapai dalam hidup ini.

Di tahun delapan puluh saya mendapat kesempatan tugas belajar di Newcastle, UK dengan beaya Rockefeller Foundation. Menyelesaikan program doktor. Kembali ke Indonesia tahun 1983, dan bertugas sebagai dosen. Merambat dari bawah. Beberapa kali saya sempat berbincang dengan sang guru besar senior tadi. Gaya bicaranya tak pernah berubah. Selalu menggugah semangat anak muda untuk berpacu ke depan. Di akhir tahun delapan puluhan, saya masih ingat pembicaraan terakhir ketika beliau dirawat di rumah sakit. Beberapa minggu sebelum meninggal. "Ki saya sudah tua. Pengin istirahat dan hidup tenang. Saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan dalam hidup ini. Saya merasa tenang jika orang mengingatnya."

Ketika menjadi dosen senior, terutama saat terlibat dalam program doktor, saya banyak belajar tentang pertanyaan Siapakah aku ini?. Apa yang saya tuju dalam hidup ini ? Tak jarang mereka mereka yang diberi kewenangan akademis begitu besar untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang calon, begitu terbuai dengan ungkapan Siapakah Aku ? Ini lho aku yang berkewenangan besar. Menentukan nasib anda. Menentukan lulus atau tidak. Menentukan perjalanan karier anda di masa depan. Jika ada calon yang menjawab keliru dalam ujian lisan, tidak hanya disanggah, kalau perlu di cerca sampai terjatuh terbirit birit. Mungkin manusiawi. Orang kadang kadang begitu mengagumi diri sendiri. Siapa aku ini?
Sampai almarhum Gepeng almarhum, tokoh komedi Srimulat itu, terkenal dengan kata sindiran "Untung Ada Saya".

Dalam kewenangan dan kekuasaan luar biasa orang gampang terlupa "Siapakah aku ini"?. Banyak contoh di sekitar kita. Ada anggota DPR lupa, siapa dia. Harusnya menggodok undang undang kok malah buat foto mesum. Memangnya bintang film porno?. Guru yang seharusnya mendidik dan melindungi muridnya kok malah mencabuli siswi yang masih di bawah umur. Lupa siapa sebenarnya dia. Ada pejabat publik yang top di Republik ini, lupa diri siapa dia, malah colek mencolek dengan caddy cantik di kamar hotel. Edan ya memang enak sih colek mencolek. Apalagi kalau bukan sama nyonya. Nyolek isteri sendiri kadang kadang malah bisa digampar pakai bantal. Jangan ganggu orang tidur. Siapa salah mencolek caddy. Alasan sih bisa dibuat. Operasi intelijen. Intelijen kok malah nyoleki wanita caddy. Enak dhong.

Siapakah aku ini ? Dalam masa masa tua ini, jika pertanyaan itu datang dalam lamunan, saya hanya menjawab pasrah. Sederhana sekali. Saya bukan siapa siapa. Hanya pelanglang dunia maya. Menjelajah dunia tak bertepi, tak berbatas. Menembus langit melanglang dunia. Menyapa siapa saja yang bertemu dalam perjalanan maya itu. Mungkin meninggalkan catatan kecil. Asal terbaca oleh mereka yang berkelana. Jika masih ada waktu suatu saat mungkin membuat catatan tentang sesuatu. Tentang makna hidup dan perjalanan hidup. Tentang cinta dan kedamaian.

Ki Ageng Similikithi.