Saturday, April 18, 2009

Mas saya pamit

Peristiwa itu telah berlalu empat puluh tahun. Peristiwa yang tak terlupakan selama hidup. Yang telah mengubah perjalanan hidupnya. Heru masih kuliah di tahun ketiga Fakultas Kedokteran. di kompleks Mangkubumen, Yogyakarta. Jam setengah empat sore hari. Dia berjalan pulang ke rumah kost di Nagan. Letih dan lesu sesudah menyelesaikan asistensi praktikum anatomi. Bau formalin bercampur dengan mayat terawetkan sudah biasa baginya. Namun sore ini membuatnya merasa pusing. Hatinya gundah. Dia sudah hampir sembilan bulan ini tidak pulang mengunjungi orang tuanya. Tak jauh sebenarnya. Hanya makan waktu barang tiga jam dengan bis. Rumah orang tuanya di Sragen. Tetapi dia malas pulang karena sakit hati dengan bapaknya. Dia dimarahi saat pulang terakhir liburan tahun lalu. Pulang kemalaman ngobrol sama teman teman SMAnya. Tak sepucuk suratpun dilayangkan ke orang tuanya sesudah itu.

Malam tadi dia mimpi makan bersama bapak ibunya dan adik laki lakinya Kelik. Dalam mimpinya dia asyik sekali ngobrol sama bapak ibu dan adiknya. Kangen sekali dan pengin pulang rasanya. Tetapi jika ingat saat dimarahi ayahnya, dia masih merasa sakit. Hatinya terlalu tinggi untuk melupakan.. Heru selalu berpendirian kuat. Dia merasa belum pernah gagal. Dia ingin menunjukkan kalau dia kuat. Bisa mandiri sampai lulus dokter nanti. Melewati pasar Ngasem, jalan ke Selatan. Mampir di tempat teman akrabnya, Dadi di Ngadisuryan. Dia sering tidur di sana karena belajar bersama. Demikian juga Dadi sering tidur di tempat kostnya. Dadi baru duduk di depan kamar kost ketika dia datang. Dibawah kerindangan pohon jambu. Halaman luas dengan pohon pohon rindang.

"Di, hati saya kok nggak tenang ya. Semalam mimpi makan makan sama bapak ibu dan adik saya".
"Pulanglah kamu. Berbulan bulan nggak pulang. Tak ada enaknya marah sama orang tua dibawa terus. Maksudnya bapakmu kan nggak jelek".
'Rasanya kok masih salah tingkah saya. Adik saya Kelik bolak balik tulis surat ke saya. Saya pikir pikir coba minggu depan. Agak longgar".
"Lebih cepat lebih baik. Nggak usah pura pura sibuk. Asisten anatomi kerjanya kan sama mayat, ngapain sibuk terus.".

Heru ngobrol dengan Dadi tanpa pembicaraan serius. Menjelang maghrib dia pulang. Pelan pelan berjalan ke Barat melewati rumah sakit Mangkuwilayan. Di halaman belakang rumah pondokan ada kebun yang tak terlalu luas. Berbatasan dengan selokan kecil dengan air gemericik. Kamarnya di muka kebun itu. Ada beberapa pohon rindang di halaman itu. Juga beberapa bunga melati yang sedang mekar bunganya. Dia selalu ikut memelihara bunga bunga itu. Dia siram setiap sore. Ada sekuntum bunga yang nampak indah menarik perhatiannya. Dia siram bunga itu dengan tembor air. Tanpa berpikir panjang dia petik sekuntum bunga yang indah. Harum semerbak. Ada kerinduan yang mendalam dalam hatinya. Ingin rasanya memberikan bunga itu untuk ibunya yang sangat dia sayangi. Tiba tiba seseorang menegurnya.

"Bunga itu indah sekali mas. Kasian kenapa mesti dipetik?".
Heru terkejut luar biasa. Dia sudah akrab dengan suara itu. Adiknya Kelik yang baru duduk dikelas tiga SMA, tiba tiba saja muncul dari arah kegelapan di bawah kerimbunan pohon sawo kecik.
"Kelik, kapan kau datang?. Kok tak memberi kabar dulu? Untung saya di rumah".
"Baru saja datang, jalan dari standplat THR. Saya sudah menulismu beberapa kali. Tak ada balasan. Bahkan surat terakhir saya kirim tiga hari lalu".
"Bagaimana bapak ibu di rumah?. Baik baik?"
"Bapak ibu sangat menunggumu mas. Bapak agak tidak sehat. Selalu menanyakanmu".

Dengan manja Kelik memeluk erat kakaknya. Memang kebiasaan Kelik selalu manja dengan kakaknya. Selisih umur mereka hanya tiga tahun. Hubungan mereka begitu akrab. Keduanya sangat dekat dengan ibunya.
"Kau dingin sekali Lik. Bajumu basah dengan peluh".
"Nggak mas Ru. Saya tadi sempat turun di selokan itu. Dingin airnya".
"Mari masuk dan ganti pakaian di dalam".
"Lama kau nggak pulang. Apa nggak kangen sama ibu, sama saya ?"

Heru menghidupkan lampu listrik. Hanya dua puluh lima watt. Tak begitu terang. Tetapi Heru bisa melihat baju adiknya yang kotor karena debu. Baju putih dengan celana abu abu. Seragam SMA. Mungkin dia pulang sekolah langsung naik bis.
"Pakaianmu kotor sekali Lik. Mandi dulu ya. Ini ganti pakai baju saya. Saya mau shalat dulu. Kamar mandi di samping sana".
" Iya mas. Jangan lupa pulang nanti ya mas. Di tunggu bapak ibu lo.

Heru terus sholat dengan khusuk. Sehabis sholat dia masih melakukan beberapa doa mohon ketenangan. Sambil menunggu Kelik. Selesai mandi Kelik duduk di depan kamar. Baju putih celana putih bersih. Wajahnya nampak nggantheng penuh senyum. Kelik memang punya wajah menarik, smiling face dengan gigi gigi indah. Rambutnya hitam kelam berombak. Hanya wajahnya agak sedikit pucat. Mungkin masih capai.
Heru beranjak ke arah dapur. Kelik duduk di kursi dengan tangan terlipat di depan kamar. Warna harum menerpa ruangan saat Heru melewati tempat duduk Kelik. Dia akan menyiapkan makan malam mereka berdua.
" Lho kok pakai baju putih. Tadi baju yang saya berikan warna abu abu kalau nggak salah".
"Tak apa apa mas. Saya bawa pakaian sendiri. Malam ini saya tidur mana enaknya ya mas?. Agak bingung saya. Bapak ibu kasihan di rumah"
"Jangan semaunya. Tidur di sini saja. Saya siapkan makan malam".
"Saya kangen masakanmu mas. Nasi goreng sama telur".
" Saya siapkan nasi goreng. Tunggu sebentar".

Sementara Heru masak, Kelik hanya berdiam diri dan tenang sekali di depan kamar. Hanya seperempat jam nasi goreng sudah siap. Dia berikan satu piring untuk Kelik.
"Silahkan kalau kurang masih ada sebagian di wajan. Di dapur sana".
"Terima kasih mas Heru. Saya selalu merindukan masakanmu. Kau selalu memperhatikan ku, menyayangiku.".
"Nggak usah ngomong macam macam. Tambah saja lagi kalau kurang itu di dapur".
"Saya ingin menikmati nasi goreng masakanmu bersama sama dengan bapak ibu juga. Pulang ya mas, cepat cepat saja"

Sudah isya ketika mereka selesai makan. Heru cepat cepat ambil wudhlu dan melakukan sholat isya. Saat selesai sholat tiba tiba Kelik pamitan. Kalimatnya agak aneh..

" Aaah saya pamit Mas. Kau sayang benar sama aku.. Tolong datanglah temani bapak ibu ya".

Sebelum Heru sempat beranjak dari shalatnya, Kelik telah beranjak pergi dan menghilang di kegelapan. Heru hanya sempat mengumpat " Anak ini kok selalu angin anginan sejak kecil". Heru termangu sendirian. Dia tahu benar watak adiknya yang tak pernah mau dicegah jira sudah punya keinginan. Nanti toh Kelik pasti pulang, pikirnya. Mungkin malam malam. Dia tiduran di kamar sambil mendengarkan irama radio. Lagu indah Rahmat Kartolo, Pusara Cintaku, mengalun lembut.

Jam setengah sembilan terdengar ketokan di pintu. Paklik dan buliknya diantar oleh bapak kost telah berdiri di muka kamar. Heru terkejut setengah mati. Ada apa?. Buliknya langsung memeluk "Nak mari pulang ke Sragen malam ini. Bapak ibu menunggu".
Pakliknya juga segera memeluk sambil menangis pelan " Tabah ya nak. Mari saya temani pulang ke Sragen". Sebelum sempat Heru menenangkan diri. Pakliknya memberi tahu lebih lanjut.
"Heru harap tabah kamu ya nak. Adikmu Kelik telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Bapak ibumu menunggu".
Heru menjerit tanpa disadari" Apa yang terjadi. Kami baru saja makan bersama Paklik".
"Jam empat tadi adikmu pulang sekolah, mengalami kecelakaan nak. Sudah takdir, dia langsung menghadap Yang Maha Kuasa. Kuatkan hatimu ya, dia telah damai di sana".
" Dia baru saja saya buatkan nasi goreng. Makan sama sama saya"

Heru menangis meraung raung. Baju warna abu abu yang disediakan untuk Kelik masih utuh di atas kursi. Juga satu piring isi nasi goreng itu masih utuh di atas meja. Hanya satu piring yang kosong. Bersama beberapa kerabat dekat mereka bersama naik mobil ke Sragen malam itu juga. Heru hanya bisa meratap sepanjang jalan. "Kelik, saya selalu menyayangimu. Saya sangat merindukanmu"

Menjelang tengah malam mereka sampai rumah di Sragen. Heru memeluk ibu dan bapaknya. "Kelik selalu menanyakanmu Ru. Doakan adikmu, dia telah pergi" Ibunya meratap pilu. Bapaknya nampak semakin tua wajahnya. " Adikmu bolak balik mengajak saya menengokmu ke Yogya, Ru. Tetapi saya sering tak sehat. Doakan adikmu ya. Dia telah pergi".
"Sore tadi saya seolah bertemu dia. Datang di tempas kos saya. Kami makan nasi goreng sama sama"

Heru hanya bisa menangis menjerit jerit. Dia peluk tubuh adiknya yang dingin membeku. Dia ciumi wajahnya yang selalu tersenyum itu. "Kelik, saya selalu menyayangimu. Merindukanmu. Sepanjang hidupmu".
Malam itu Kelik tidur disamping jasad adiknya. Dia mimpi berlari lari bersama Kelik.. Seperti saat mereka masih anak anak. Diantara bunga bunga indah. Kelik memberikan sekuntum melati itu kepadanya. Heru merasa begitu bahagia. Ternyata Kelik berlari semakin jauh. Semakin jauh akhirnya menghilang di balik awan. Heru hanya bisa meratap ketika bangun dari mimpi. Dia ciumi wajah adiknya yang beku. Esok harinya, dia mengantar Kelik ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Perjalanannya bersama Kelik yang terakhir. Selamat jalan adikku, saya selalu menyayangimu.

Heru kembali menekuni kegiatan akademik di Yogya beberapa minggu kemudian. Kesedihan itu tak pernah hilang dari sanubarinya. Kesedihan ternyata datang silih berganti. Bapaknya meninggal beberapa bulan kemudian karena asma. Saat Heru menengoknya di rumah sakit sebelum meninggal, dia meninggalkan pesan singkat." Anakku, temani ibumu ya. Saya merasa capai sekali. Saya ingin istirahat. Saya ingin menemani adikmu. Belum puas rasanya menemani hidupnya yang singkat itu. Saya ingin memeluknya. Saya ingin tidur disampingnya".

Sampai detik ini Heru masih sering termenung. " Hidup memang sekedar menunda kekalahan. Tetapi kekalahan itu datang begitu tiba tiba. Tak terelakkan lagi. Semoga kau damai di sana adikku. Saya selalu menyayangimu."

Salam damai

Saturday, April 11, 2009

Megatruh

Kisah ini terjadi di awal tahun delapan puluhan. Sudah lewat jam delapan malam ketika Toro memasuki kota Solo. Sendirian dia mengemudikan mobil dari Semarang. Sengaja tak mengajak sopir karena ingin mampir ke tempat kakak dan buliknya di Sambeng.. Hujan rintik rintik membasahi kota Solo. Terasa sepi dan damai. Memasuki kota Solo pikirannya berubah. Tak jadi nginap di tempat kakaknya. Dia merasa begitu capek. Jika tidur di tempat kakaknya pasti tak segera bisa istirahat. Ngobrol sampai malam.. Padahal besok dia harus menghadiri pembukaan penataran jam delatan pagi. Penataran untuk para pejabat dinas transmigrasi. Toro menjabat salah satu ketua bidang di kantor transmigrasi propinsi di Semarang.

Lewat Purwosari pelan pelan menelusuri jalan Slamet Riyadi yang asri. Mencari hotel yang enak untuk istirahat malam itu. Sesudah melewati Sriwedari, belok ke kiri. Ada hotel tua di kiri jalan. Nampak megah walaupun bangunannya sudah nampak tua. Halamannya luas dengan berbagai pohon yang rindang di depan. Bangunan utama terletak di tengah, sedangkan di sebelah kiri dan kanan ada bangunan samping memanjang ke belakang dengan kamar berjejer. Toro membelokkan mobil memasuki halaman hotel. Langsung ke petugas resepsionis di bangunan utama.

"Selamat malam Bapak. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita muda, petugas resepsionis menyapa dengan ramah..
" Masih ada kamar single untuk malam ini.?'.
" Mohon maaf pak, semua kamar di depan dan samping penuh semua. Sudah dipesan. Banyak pertemuan dinas minggu ini"
" Satu kamar saja masak nggak ada sih Mbak?"
Seorang petugas lanjut usia membisikkan sesuatu ke resepsionis wanita tadi.. Wanita itu nampak terhenyak sesaat.
"Jika bapak mau, ada pavillion di belakang. Terdiri dari dua kamar. Biasanya tak ada tamu yang berminat, kecuali keluarga di akhir pekan"
"Nggak apa apa. Malam ini saja. Satu kamar"

Toro cepat menyelesaikan administrasi, mengisi formular untuk check in. Lelaki usia lanjut memberitahu lebih baik mobil di parkir di halaman belakang sekalian. Hujan gerimis di luar. Toro memindahkan mobil ke halaman belakang. Ada pavillion tua yang nampak kokoh dan berwibawa. Halaman luas dengan dua pohon kenanga di samping kiri dan kanan. Dia memparkir mobilnya di sudut halaman. Bau bunga kenanga menusuk lembut. Sementara suara binatang malam dan kelelawar selang seling di antara bunyi tetesan air hujan.

Pria usia lanjut itu membantunya menurunkan tas beserta beberapa map berisi dokumen bahan penataran besok pagi. Dia juga belum memastikan dimana tempat lokakarya besok. Tak apalah besok pagi pagi dia akan menyiapkan setelah bangun tidur. Kebiasaannya jika menghadiri penataran di manapun, dia baru menyiapkan bahan bahannya semalam sebelumnya. Tak sempat mempersiapkan jauh jauh hari. Kegiatan sehari hari begitu menghabiskan waktunya.
"Silahkan masuk Den Mas. Kamarnya agak sederhana"
"Terima kasih pak. Bagus pavillionnya. Antik sekali. Bapak namanya siapa".
"Nama saya pak Landung . Saya sudah kerja di hotel ini lebih empat puluh tahun. Sejak jaman Republik. Jika butuh apa apa, silahkan panggil saya. Apakah Denmas asli Solo?"
"Orang tua saya asli Solo pak. Masa kecil saya sampai SR kelas lima di kota ini. Saya sekolah di SR Keputran"

Bangunan pavillion itu terdiri dari dua kamar dan satu serambi depan. Dia ambil satu kamar yang terletak di samping. Ada sepasang kursi tua yang artistik dan satu meja di dalam serambi. Diterangi samar samar oleh lampu listrik dalam lampu ukiran antik. Toro segera merebahkan diri di kasur dengan seprei putih bersih. Baunya harum lembut. Dia kecapean setelah semalaman kurang tidur karena ada acara nganten salah satu temannya di Semarang.

Sayup sayup dia mendengar lolong anjing di kejauhan. Menambah sepi suasana malam yang sejuk. Suara tetesan air hujan di atap seng berdetak teratur. Toro selalu menyukai lolongan anjing malam hari. Masa kecilnya akrab dengan suara lolongan anjing. Orang tuanya banyak memelihara anjing sewaktu dinas di Ambarawa. Tiba tiba terdengar suara lembut wanita menyanyikan lagu macapat Jawa Megatruh. Dia tergagap. Lagu itu telah dia dengar sejak kecil. Ibunya dan neneknya senang melantunkan lagu Megatruh menjelang tidur. Dia selalu mengeluh dan protes. Dia tak pernah menikmati irama lagu itu. Lagu tentang kesedihan. Lagu tentang kematian. Perjalanan sukma saat meninggalkan badan. Dalam filsafat Jawa ada berjenis macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak kelahiran (mijil) sampai kematian (megatruh)..

Di serambi depan Toro tersentak melihat seorang wanita cantik dan anggun duduk di kursi. Berpakaian gaya bangsawan dengan kain parangrusak dan kebaya warna merah. Di rambutnta tersisip bunga kenanga dan melati. Elegan dan cantik sekali. Hanya wajahnya sedikit pucat. Tersirat kesedihan yang mendalam. Wajahnya nampak gelisah seolah menunggu seseorang.

" Apakah ibu sedang menunggu seseorang?"
" Terima kasih dimas. Nama saya Rianti, Raden Ajeng Rianti . Saya menunggu kedatangan Kangmas Bei Donopati. Sebentar lagi dia akan datang menjemputku. Biasanya kangmas selalu datang jam jam segini Dimas. Panjenengan siapa?"
"Saya dari Semarang. Nama saya Suryantoro. Tetapi masa kecil saya di kota ini"
" Apakah Dimas asli Solo. Wajahmu menampakkan kearifan bangsawan Solo?"
" Orang tua saya dari Solo. Dari Brontokusuman. Mengapa ibu menunggu pak Bei malam malam begini?
" Kangmas selalu datang menjemputku jalan jalan. Lewat tengah malam kami kembali ke sini. Pavillion ini langganan kami berdua Dimas".

Tanpa diminta, wanita itu mulai bercerita. Kadang kadang diselingi dengan lirih lantunan megatruh. Toro hanya terpukau mendengar. Terbawa dalam emosi kesedihan irama itu.
"Saya asli dari Pracimantoro. Bertemu dengan Kangmas Bei karena dikenalkan paklik saya yang tinggal di Solo. Sejak itu kangmas selalu datang ke rumah saya. Biasanya akan menginap sampai beberapa malam"
"Apakah ibu jatuh cinta dengan beliau?"
"Iya kami terlibat dalam hubungan cinta yang dalam. Tak ada lelaki lain dalam hidup saya kecuali Kangmas Bei. Dia perkasa dan tampan sekali. Saya mengikuti Kangmas ke Solo dan tinggal di desa Sumber. Orangtua saya mengijinkan saya diambil dan diperisteri Kangmas. Setiap pekan beliau datang ke tempat saya atau kami bertemu di pavillion ini".
"Ibu adalah isteri dari pak Bei Donopati?"
"Kami saling mencintai. Hidupku hanya untuk beliau. Tetapi perkawinan itu tak juga datang. Saya hanya dari desa. Orang tua saya petani miskin di sana Dimas".
"Mengapa tak diperisteri? Mengapa ibu bersedia menjadi teman setia tanpa ikatan?"
" Dimas, sampeyan anak muda, belum tahu hakekat cinta dan pengorbanan. Buatku cinta adalah pengorbanan. Saya mendapatkan segalanya dari kangmas. Kehormatan, harta, kepuasan fisik. Apalagi yang saya harapkan. Perkawinan hanyalah status semata".

Toro merasa percakapan terlalu jauh. Dia mencoba menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. Tetapi dia terbawa dan terhanyut dalam percakapan yang mengasyikkan.

"Perkawinan adalah tanda keterikatan cinta dua manusia ibu. Bukan cuma status".
"Sampeyan hanya berteori dari buku Dimas. Kangmas Bei mengorbankan segalanya. Di luar dia disembah sembah orang. Ibarat orang menyembah dan mencium kakinya. Di dalam kamar ini, beliau tunduk dalam pelukan saya. Menyembah saya. Mencium alat kewanitaan saya. Saya bebas duduk telanjang dalam pangkuannya. Alat prianya menari nari lembut dalam rongga wanita saya. Dia tergolek pasrah terlentang menikmati pergulatan yang indah. Bukankah itu kenikmatan hidup dan kehormatan?. Namur saya begitu sedih dan kecewa ketika beliau resmi kawin sama seorang putri bangsawan. Meskipun katanya beliau tak mencintainya. Hanya saya yang dicintai.".
"Ibu, hidup adalah kehormatan dan kebahagiaan. Bukan sekedar nikmat. Apa yang ibu cari dan harapkan dari beliau. Lihatlah ke luar sana. Lihatlah ke depan. Tak ada gunanya menyia nyiakan diri sendiri".

Tiba tiba saja wanita itu berubah marah sekali. Matanya memancarkan kebencian dan kemarahan yang dalam. Dia berdiri bertolak pinggang. Kondenya lepas, dan rambut indahnya terurai sampai ke pinggul. Jari jarinya menunjuk lurus ke muka Toro. Kata katanya tak jelas keluar dari mulutnya yang tak lagi nampak indah. Berbusa karena kemarahan yang sangat. Bahkan seolah wanita itu akan mencakar mukanya. Suara lolong anjing kembali menggema. Toro menjerit keras, dan terbangun dari impian yang mengerikan. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Hatinya masih berdebar keras, ketika terdengar suara ketukan di pintu depan. Pak Landung, pegawai hotel usia lanjaut tadi datang mengantar minuman.

"Denmas mimpi buruk rupanya. Anda menjerit keras sekali. Saya bawa teh hangat untuk anda".
"Saya bermimpi buruk sekali pak Landung. Seolah ada wanita cantik yang begitu marah sama saya dan mengusir saya"
" Silahkan tidur kembali Denmas. Saya akan tidur di serambi nanti menemani anda".

Paginya Toro minta sarapan diantar ke kemarnya. Pak Landung melayani dengan ramah. Dia sempat cerita secara singkat.. Pavillion ini dulu adalah langganan seorang bangsawan terkenal di kota Solo dengan pacarnya. Wanita itu berasal dari selatan Surakarta. . Ketika bangsawan itu akhirnya kawin dengan wanita lain, wanita itu agak terganggu jiwanya dan sering datang sendirian dan menyanyikan lagu sedih megatruh di serambi ini. Dia selalu membawa anjing kesayangannya. Dia akhirnya bunuh diri minum DDT dan meninggal di kamar sebelah. Anjingnya rupanya juga dikasih minum DDT. Ikut mati.

"Denmas Bei, nanti masih tidur di sini?"
"Pak Landung, jangan sekali sekali panggil saya pak Bei. Nama saya Toro. Insinyur Suryantoro. Saya tak ada kaitannya dengan pak Bei".

Toro sempat tipon isterinya di Semarang. Cerita tentang mimpinya. Isterinya menjawab ringan, mau ditemani nggak mau. "Saya juga pengin ke Solo sebenarnya. Baik baik ya pah".

Toro berpikir ketika meninggalkan halaman hotel. Moga moga ibu Rianti, atau Raden Ajeng Rianti, hidup damai di alam sana.

Ki Ageng Similikithi