"Biiiiirrrrrr, Biiirrrrrrrrrr, 
Biiiiiiirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr temulawak". Teriak nyaring 
penjual jamu di tahun 56 - 57. Seorang pria usia lanjut. Mungkin kepala 
lima atau lebih. Rambutnya sudah memutih. Giginya sudah ompong. Berjalan
 pelan menyusur jalan. Lewat kampungku sekitar pukul 10. Dia berasal 
dari Sumber, kampung sebelah. Kami sedang duduk duduk di halaman gereja,
 di desa Ngampin Ambarawa. Sering terpancing untuk menyambut teriakan 
bakul jamu itu. Mbah Buang namanya. Raut wajahnya yang renta masih 
teringat jelas. Hampir selalu pakai celana kombor dan baju bodong warna 
putih. Spontan kami berteriak. " Lambe njedhir kakehan telak". Spontan 
saja, tak bermaksud memperolok olok. Juga tidak begitu perhatian apa 
makna kalimat itu.
Siang harinya. Hujan renyai. Kami kumpul 
kembali di halaman gereja, saya Kamto dan Jumadi. Kambing kambing saya 
dengan tenang makan rumput di kebun kami di sebelah gereja. Penjual jamu
 itu berjalan pelan dari arah barat. Dalam perjalanan pulang. Tiba tiba 
saja dia berbelok masuk halaman gereja. Berteduh bersama kami. Dia mulai
 merokok dengan rokok kelobotnya. Kamto yang memulai menyapa. "Empun 
telas mbah?". Menanyakan apakah jamunya sudah habis. "Wis entek, kari 
sisa. Wis entek telake". Dia menyahut ringan. tetapi saya membau nada 
sindiran yang tajam. Belum sempat bertanya lagi dia terus ber kata. " 
Nek cah sekolah ki sing sopan le. Ngerti tata krama. Ngapa ndadak muni 
Lambe Njedhir Kakehan Telak ?.  Kami bertiga hanya diam saja. Saya 
sendiri baru sadar jika teriakan kami pagi tadi membuatnya tidak senang.
 Pikir saya kok bisa  ya? Dia kan tidak njedhir bibirnya. Tak ada alasan
 untuk tersinggung. Tiba tiba dia mengambil cangkir dan mulai menuang 
jamunya, setengah cangkir. Memberikannya kepada kami. " Ayo dha ngicipi 
jamu temulawak le". Jumadi dan Kamto dengan sigap menerima dan 
meminumnya. Matur nuwun Mbah. Saya mendapat giliran terakhir. Berusaha 
meminumnya. Manis rasanya. Tetapi berat untuk menelannya. Penjual jamu 
itu kemudian meneruskan perjalanan. Memikul keranjang yang berisi 2 
kuali kosong, satu  tempat jamu, dan satu kuali untuk air guna 
membersihkan cangkir. Pulang ke rumah, perut terasa mual. Saya muntah 
muntah. Mungkin tidak tahan aroma temu lawak, juga merasa bersalah 
memperolok penjual jamu yang renta itu. 
Berpuluh tahun kemudian,
 1971, saya ditawari jamu temulawak tetangga waktu mondok di Suronatan, 
Yogya. Dia juga menjual jamu temu lawak. Enak rasanya, saya minum dengan
 lahap sekaligus menghilangkan dahaga di siang yang panas. Sorenya, 
secara mendadak saya muntah muntah. Gak tahu mengapa. Jamu itu padahal 
terasa manis. Tahun 2015 dalam pesta perkawinan putra seorang teman, 
Prof. Hardhono di Semarang, disuguhkan jamu temulawak. Tamu tamu antre 
minum jamu. Nyi mendesak saya untuk minum. Biar sehat katanya. Saya 
minum sedikit. Rasanya enak. Pembuat jamunya, seorang wanita mudah yang 
ramah menarik. Tetapi ingatan saya tak lepas dari raut wajah Mbah 
Buang,  penjual jamu dari Ambarawa, yang kami teriaki lambe njedir 
kakehan telak itu puluhan tahun lalu. Tahun 77, saya telah menjadi 
asisten dosen waktu itu. Ikut menghadiri Konggres Farmakologi Indonesia,
 di Semarang. Seorang dosen senior berapi api mengajukan hasil 
penelitian mengenai temulawak. Kebetulan bibirnya agak tebal, suaranya 
keras. Ingatan saya melayang ke peristiwa di pertengahan tahun lima 
puluhan itu. "Lambe njedhir kakehan telak".  Temulawak (Curcuma) 
berisikan senyawa Curcumin, salah satu warisan nenek moyang yang sudah 
diterima di jaman modern. Saya pernah berkesempatan ikut jadi anggota 
pembimbing seorang teman, Alm. Dr. Imono Argo Donatus, menyelesaikan 
disertasinya tentang temu lawak. Sayang saya tidak pernah bisa menikmati
 rasa jamu temu lawak itu. Selalu saja terasa mual meski sudah berkali 
kali mencobanya. Tidak tahu apakah semata mata karena alasan biologis 
& fisiologis. Jangan jangan karena kualat memperolok mbah Buang, 
Lambe Njedhir Kakehan Telak. Pelajaran berharga, jangan sekali sekali 
memperolok orang tua. 
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Sunday, May 31, 2015
Subscribe to:
Comments (Atom)
 
 
 
 
 
 
