Tuesday, October 18, 2011

Pesta duduk atau prasmanan ?

Tiba tiba seseorang berteriak lantang dari barisan belakang. “Kene kurang loro raaa”. Suasana hiruk pikuk sedikit meredam gema teriakan itu di antara para hadirin yang sedang menghadiri acara resepsi perkawinan. Tetapi saya yang berdiri didekatnya tersentak kaget. Saat itu sedang menghadiri resepsi perkawinan seorang ponakan di tahun 1981. Acara berlangsung siang hari.

Pesta resepsi perkawinan di kota itu masih klasik. Resepsi duduk, mendengar beberapa pidato, kemudian acara makan dan hiburan. Rentetan hidangan biasanya dimulai dengan minuman teh panas dengan makanan kecil. Sesudah beberapa pidato, urutan hidangan makan mulai dari nasi dengan lauk sambal goreng ati atau krecek, telor separoh, bestik daging bersama kerupuk udang. Kemudian sup ayam, makaroni dan wortel. Ditutup dengan es pudding.

Saya selalu menikmati resepsi duduk seperti itu. Porsi makan tak terlalu berat. Hanya bagi yang suka makan banyak, kadang memang tak tepuaskan. Tamu yang berteriak tadi mungkin habis mencangkul di sawah, belum sarapan, terus datang ke resepsi. Harapannya bisa makan habis habisan. Tahunya porsi terlalu kecil untuk menutup panggilan perut yang belum kenyang. Dalam keadaan lapar orang bisa tampil dalam watak aslinya walau dalam resepsi dengan jas dan dasi rapi.

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikan. Kebisaan jamuan perkawinan juga berbeda di lain tempat. Juga bisa berubah dari waktu ke waktu. Ada tempat tempat yang masih mempertahankan cara resepsi duduk dengan hidangan yang dibagikan secara urut. Kelemahan resepsi duduk karena tamu seolah harus mengikuti seluruh acara yang mungkin berlangsung dua jam atau lebih. Banyak orang semakin sibuk dan waktu terbatas. Dibuatlah resepsi berdiri. Tamu tinggal datang, mengisi daftar hadir dan meninggalkan kado, memberikan selamat ke pengantin dan tuan rumah, langsung menikmati hidangan. Boleh pilih mana yang disenangi. Bisa ngobrol jika ketemu teman atau saudara. Bisa menikmati hidangan apa saja atau langsung pulang.

Kelihatan lebih praktis, tetapi juga harus lebih hati hati menyiapkannya. Banyaknya hidangan harus benar2 diperhitungkan jangan sampai kurang. Kebiasaan di masyarakat, kadang datang berbondong sama anak, cucu dan keponakan. Yang diundang sekalian (berarti dua orang), yang datang bisa sebelas orang, sekalian bal balan. Masih sering kita lihat kebiasaan yang tidak layak dalam menghadiri resepsi. Ada saja orang yang rakus. Setiap jenis makanan dijelajah, mulai dari Mongolian beef, kambing guling, sapi guling, bakso, soto, dimsum dan sebut apa lagi. Ambilnya juga kadang tak tanggung tanggung, sepiring penuh. Jika rasa makanan tak cocok cicipi sedikit lalu ditinggal begitu saja. Lalu menjelajah lagi. Bah tak elok atau saru dalam bahasa Jawa. Jika alur tamu tak diatur dalam antre makan, bisa rebutan seperti pasar malam. Jangan terlalu bernapsu mengundang tamu berlebihan, jika tak siap dengan kuota yang diperlukan. Kadang ada kecederungan untuk mengundang tamu sebanyak mungkin, sampai kenalan dari liang semut. Bukan tak boleh, tetapi harus siap logistiknya.

Memilih mau resepsi duduk atay berdiri dengan prasmanan juga harus lihat kebiasaan setempat. Jika memang biasanya kebiasaan resepsi duduk di tempat itu, hati hati untuk menyelenggarakan pesta prasmanan. Apa yang saya ungkapkan di atas bisa terjadi. Semua bisa kacau. Awal tahun 90an, sayamenyelenggarakan acara seminar di suatu kota. Diakhiri dengan makan siang. Peserta 300 orang sesuai rencana. Katering pesan 400 paket. Seminar berjalan lancar. Pas acara makan siang baru masalah datang. Entah karena saking enaknya, sebelum semua peserta dapat giliran makan, ayam goreng habis. Serep oleh katering juga ludes. Ternyata yang giliran duluan ambil porsi berlebihan. Sebagian dibungkus.

Saya tak pernah bisa menikmati makan prasmanan. Paling banter makan sup sama minum es. Tak tahu sebabnya. Saya selalu membayangkan masa kecil dulu, saat ikut resepsi. Duduk tenang, menunggu hidangan makan keluar. Biarkan yang pidato di depan, mau ngomong apa jangan ambil pusing, tenang saja menunggu. Kadang menebak supnya dulu atau nasi dan lauknya keluar duluan. Bisa ditebak, pasti nasi spucuk, sambel goreng ati atau krecek, bistik daging sapi atau potongan ayam dan kerupuk udang. Sup bening ayam dengan sosis dan macaroni. Tak ada yang teriak teriak, tak ada yang rebutan antre makan.

Terakhir pesta perkawinan dengan resepsi duduk ketika seorang tetangga mantu kira kira tiga belas tahun lalu. Almarhum pak Mardi, pensiunan polisi, mantu putri bungsu. Kenal sejak tahun 95 ketika saya pindah ke sebelah rumahnya. Selalu manggil saya Dan. Semula nggak mudeng apa maksudnya. Ternyata singkatan Komandan. Siapa yang nggak seneng dipanggil Komandan?. Saya khusus datang bersama Nyi. Saya benar benar menikmati acara resepsi duduk di halaman dengan tenda. Acara sederhana, tak bertele tele. Lancar dan efisien. Hidangan persis yang saya bayangkan di tahun tahun lima puluhan. Singkat tak sampai satu setengah jam. Masih ingat sampai sekarang.

Salam damai mohon jangan rakus kalau prasmanan.

Ki Ageng Similikithi

Manila, 13 Oktober 2011

Saturday, September 24, 2011

Minyak rambut

Tak pernah dalam kurun waktu puluhan tahun memelihara rambut terjadi krisis seperti saat ini. Kelaangkaan krim rambut Brylcreem. Sejak masih di bangku kuliah di tahun tujuh puluhan, saya selalu setia memakai krim rambut Brylcreem yang lembut. Tak terlalu berminyak dan tak terlalu kaku di rambut. Paling tidak sudah memakainya selama empat puluh tahun. Bentuk kemasan krim ini juga sudah berubah ubah selama kurun waktu ini. Tetapi tetap saja saya memakainya karena konsistensinya yang lembut. Dulu di tahun tujuh puluhan, dikemas dalam botol gelas pendek yang menggembung di tengahnya. Di tahun2 terakhir dikemas dalam plastik berbentuk silindris. Ada yang wadahnya berwarna merah dan ada yang hijau. Tak tahu bedanya apa.

Persediaan hampir habis tetapi sudah beberapa minggu tak menjumpainya di toko maupun di mall di Manila. Yang banyak tersedia adalah gel yang kaku. Pernah di ruang mandi golf saya menggunakannya, rambut jadi kaku berdiri. Gel mungkin khusus diperuntukkan untuk anak anak muda dengan model rambut jabrik, tegak berdiri. Di jaman tahun enam puluhan seperti rambut mas Klombrot, di karikatur Penyebar Semangat itu. Minggu kemarin sewaktu liburan di Yogya, saya menelusuri jalan Solo, dapat Brylcreem di salah satu toko kecil. Hanya dapat tiga kemasan botol kecil. Saat mengunjungi kakak di Semarang saya diberi tiga botol kemasan besar. Lumayan akan bertahan dalam beberapa bulan ke depan. Terhindar memakai gel yang kaku itu.

Perkenalan saya dengan minyak rambut buatan pabrik mulai di tahun 1963. Sebelumnya saat duduk di Sekolah Rakyat hanya memakai minyak cem=ceman, yakni minyak kelapa dicampur dengan berbagai akar dan daun tumbuhan. Baunya sedap walaupun tidak wangi. Tetapi jika wanita memakai pinyak ini dan tidak keramas berhari hari bau bisa berubah jadi apek.

Mula pertama menggunakan minyak rambut buatan pabrik atau pomade, merk Erasmic. Baunya lembut dan tidak terlalu kaku. Tetapi kadang kadang siang hari jika berkeringat, minyaknya turun ikut membasahi dahi. Jika tak salah Erasmic dikemas dengan botol gelas dengan bagian tengahnya menggembung waktu itu. Belum banyak diproduksi plastik. Selain merk Erasmic, kadang kadang saya menggunakan pomade Lavender. Dikemas dalam wadah metal berbentuk oval warna keemasan. Mungkin saya lebih jarang memakainya. Ingatan saya akan pomade Lavender begitu samar. Adik saya lebih banyak memakaianya.

Di masa sekolah menengah atas di St.Josef Solo, saya mengenal pomade dengan merk Yaparco. Lupa kemasannya. Kalau tak salah dalam botol silindris. Ingatan saya juga tidak terlalu kuat akan merk ini. Kadang kala memakai pomade merk Yardley. Ini merk untuk kelas atas. Saya sering nimbrung kakak ipar . Biasanya yang memakai adalah kelompok saudagar atau pebisnis atau pejabat kelas atas. Lembut dan tidak meninggalkan minyak yang membasahi dahi di kala berkeringat.

Di jaman mahasiswa di kompleks Ngasem Yogyakarta, saya mulai mengenal krim dengan merk Brylcreeem. Ini bukan pomade yang lengket. Tetapi krim lembut. Tidak berminyak sekali. Dan tetap lembut sepanjang hari. Banyak anak muda waktu itu memakai pomade merk Tancho Mandom yang diiklankan besar besaran. Pilihan saya tetap ke Brylcreem yang lembut itu. Dan berlangsung lebih empat puluh tahun sampai sekarang. Hanya ketika budaya pop culture masa kini menciptakan model rambut kaku menjulang tinggi seperti rambut landak, kelangkaan menimpa minyak rambut berbentuk krim seperti Brylcreem. Mungkin ada baiknya ingat kembali iklan iklan Brylcreem di masa lalu. Lambang pria percaya diri.

Jika ada kenangan mengenai minyak rambut silahkan ungkap di sini. Pria tak akan pernah bisa berpisah dengan minyak rambut. Tinggal pilih mau minyak rambut atau mau botak



Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Saturday, August 27, 2011

Pengin punya anak tanpa suami

Agak terkejut mendengar ceritanya. Begitu lugas tanpa tedeng aling aling. Kami sedang berbincang selesai pertemuan beberapa minggu lalu. Minum di coffee shop di lobby hotel. Sejak dulu dia selalu bicara blak blakan dan lugas. Gaya bicaranya selalu penuh irama dan menarik lawan bicara. Dia datang mewakili organisasinya. Namanya Emine. Seorang wanita profesional dengan posisi yang mantap di salah satu lembaga internasional. Umur sekitar empat puluh, naik turun sedikit. Masih lajang. Berpenampilan menarik. Cantik, jika tidak bisa dibilang jelita. Khas penampilan wanita wanita perbatasan Asia dan Eropa. Sangat ramah dan enak jadi lawan bicara.

Bercerita dengan lancar, di sela derai tawanya yang riang. Ingin punya anak. Tetapi tak ingin bersuami. Buat apa bersuami ?. Bikin susah, harus meladeni di rumah. Saya kan juga punya banyak kerjaan. Perlu istirahat di rumah. Dia cerita pengalaman tidak enak hidup bersama (ko habitasi) dengan kawan hidupnya selama 7 tahun. Masak saya dihardik di rumah saya sendiri, jika ada sesuatu yang kurang? Saya mendengar ceritanya dengan sabar. Sesekali bertanya. Tentang perjalanannya selama ini. Kami memang pernah bertemu beberapa kali di berbagai negara. Di Asia dan di Eropa. Komunikasi juga tidak intens. Bukan teman yang karib. Beda generasi.

Saya mengenal Emine pertama kali enam belas tahun lalu sewaktu ikut misi di Bishkek, Kirghyztan. Dia baru saja lulus dari universitas di Budapest. Dia saat itu bekerja sebagai associate professional officer untuk sebuah lembaga donor yang dibeyai pemerintah Turki. Masih ingat ketika malam malam saya ditilpon. Ternyata rombongan tamu dari Uzbekistan mengundang makan malam. Ternyata mereka menyiapkan kambing panggang. Acara makan selesai lewat tengah malam. Ada kesempatan bicara lebih leluasa dengan dia.Dia cerita kalau pacarnya kerja di Departemen Luar Negeri.

Esoknya kami harus meninggalkan Bishkek menuju Almaty, jalan darat. Ternyata rombongan kami akan dilepas di batas kota oleh salah satu pejabat tinggi pemerintah. Saya mencoba menjelaskan jika tidak perlu asal diberi satu rombongan pengawal sampai perbatasan. Tetapi Emine mengatakan, itu kebiasaan mereka. Kami akhirnya menerima. Ternyata tidak hanya dilepas begitu saja. Ada pesta perpisahan di perbatasan. Lagi lagi kambing panggang.

Di akhir sembilan puluhan saya kembali bertemu dengan Emine di Jepang. Penampilannya tak berubah. Selalu anggun. Waktu itu dia cerita jika berpacaran dengan seorang diplomat Malaysia. Kenapa nggak kawin ? Tak bisa karena sang diplomat sudah berkeluarga. Dia tak mungkin mau dimadu. Tetapi menikmati hubungannya. Berbunga bunga. Ki, you are a family man with a sweet wife. Tak akan bisa mengerti gaya hidup bohemian saya, katanya. Tak tahu apa maksudnya.

Di tahun 2004 kembali lagi bertemu dalam suatu pertemuan internasional di Geneva. Dia mewakili negaranya dalam negosiasi. Kedudukannya tidak main main. Direktur Jendral di pemerintahan. Saya tak membayangkannya seperti petinggi petinggi kita yang suka pelesiran dengan alasan tugas negara. Dia benar benar seorang though negotiator yang handal untuk kepentingan negaranya. Sempat bertemu dan makan siang bersama. How is life? Pertanyaannya selalu datang dengan ramah. Dia cerita punya pasangan hidup bersama. Seorang tokoh lingkungan di negaranya. Dia cerita merencanakan akan kawin jka tidak ada aral melintang.

Beberapa minggu lalu, itulah pertemuan kami yang terakhir setelah tujuh tahun. Ketika dia cerita pengin punya anak, tetapi tak menghendaki suami. Dia masih menjalin hubungan dengan seorang pejabat tinggi pemerintahan di negaranya. Sudah berkeluarga. Tak mungkin kawin. Kecuali jika teman prianya mau pisah dengan isterinya sekarang. Tak mungkin dilakukan. Bisa membunuh karier politiknya. Dia bingung karena susah pisah dengan teman prianya sekarang. Tetapi tak mungkin kawin. Dia mengharap dapat anak dari sang pejabat ini. Tanpa minta pertanggungan jawab apapun.

Saya tak banyak bereaksi. Hanya omong sekenanya. Please do not spoil your life. Time to start a happy family life. Jika ada pria yang mau mendampingi dan menemanimu mengapa tidak kawin saja? Dia akan memikirkannya. Omongannya serius. Jika ada pria mapan yang masih lajang di atas 35 tahun, good looking, yang ingin cari teman hidup, I am serious Ki, as my husband and the father of my kid.

Pagi ini masuk pesannya di inboks saya, any info Ki? Katanya ada seorang pelatih sepak bola dari Meksiko yang ingin kenalan. Saya bercanda, pemain bola itu hanya tembakan kakinya yang keras. Tembakan burungnya suka meleset, tidak indah sama sekali, apa lagi kalau sudah berkeluarga. Do not spoil again your life sweety, time is running out.

Salam damai untuk pria lajang mapan dan good looking.


Ki Ageng Similikithi

Manila 27 Agustus 2011.

Friday, August 26, 2011

Kereta terakhir ke Solo

Musim kering tahun 72. Kami bergegas masuk peron. Terdengar peluit keras berbunyi. Kereta akan segera diberangkatkan. Saya bersama Emi bergandengan tangan berlari sambil menjinjing tas ke arah kereta. Kereta Kuda Putih, Yogya Solo. Seperti dalam film film roman Indonesia atau India. Selalu ada saja adegan lari lari sambil berpegangan tangan. Untung tak ada krew televisi waktu itu. Tak ada paparazzi. . Yang ada hanyalah para makelar dan penjual makanan. Tak perlu GR. Siapa mau mengabadikan, kami hanya anak2 pondokan yang sedang jatuh cinta.

Itu kereta terakhir ke Solo. Sudah lewat jam lima. Baru saja siangnya kami selesai ujian semester. Tingkat 4. Emi terus pulang ke Solo. Dari Mangkubumen tadi saya menemani pulang ke pondokannya di jalan Suryotomo, Ngampilan. Jam empat ke stasiun Tugu. Sudah setahun lebih kami berhubungan dekat. Belum bisa dikatakan pasangan tetap, tetapi sudah serius. Sudah ada pernyataan verbal. Sudah berciuman bibir. Tetapi belum punya rencana pasti. Siang itu tak banyak yang kami bicarakan. Lebih banyak diam. Beberapa hari memang tidak begitu hangat pembicaraan di antara kami berdua. Tak tahu sebabnya. Emi segera naik ke gerbong. Duduk menghadap jendela. "Wis ya, ati ati. Sampai ketemu". Hanya itu yang dikatakan. Saya menjabat tangannya "Selamat liburan". Kereta bergerak pelan meninggalkan stasiun. Tak sempat saya memperhatikan ketika kereta menghilang. Saya juga cepat cepat ingin pulang ke Ambarawa. Naik becak ke jalan Magelang. Naik bis jurusan Semarang.

Saya menghabiskan hari hari libur di Ambarawa. Sepi di desa. Setiap siang menatap gunung di depan sana. Gunung Telomoyo dan Gadjah Mungkur. Sejak kecil dua gunung itu selaalu di sana tak pernah pindah, tak pernah berubah. Mesra bersanding. Kadang kadang angan angan melayang ke balik gunung, ke balik awan. Sedang apa Emi di Solo ? Apa yang dia pikirkan tentang kami berdua. Tentang masa depan. Tak tahulah. Masa depan urusan kemudian. Yang penting saya sudah lulus semua ujian semester. Walau harus mengulang satu. Kedokteran Kehakiman. Dikasih nilai dua. Saya mengerjakan pakai tinta warna hijau. Sang dosen yang berwibawa itu tak mau membacanya. Tak bisa tidur beberapa hari. Tetapi ujian ulangan berhasil.

Kira kira empat minggu saya liburan di Ambarawa. Sengaja tak ke mana mana. Pengin istirahat benar. Satu tahun terakhir ngurusi majalah mahasiswa. Begitu menguras tenaga daan waktu. Belajar tak konsentrasi. Hampir saja tak naik kelas. Acara pacaran sering terbengkelai. Pengin istirahat sepenuhnya. Saya sempatkan menulis surat ke Emi. Dua kali. Tak ada balasan. Mungkin juga sibuk. Di akhir minggu ke empat saya kembali ke Yogya. Sampai di pondokan di Patangpuluhan sudah lewat jam tujuh malam. Ada keinginan ke tempat Emi malam itu. Niat itu saya batalkan. Sudah kelewat malam. Besok pagi pagi kan ketemu di ruang kuliah. Esoknya pagi pagi saya sudah berangkat. Langsung ke tempat kuliah di Mangkubumen. Tak mampir ke tempat Emi, walau rumah kostnya terlewati.. Pengin cari tempat duduk yang enak di hari pertama kuliah. Saya ingat pakai baju putih dan celana kuning kesayangan saya.

Masih sepi ketika tiba di ruang kuliah. Saya ambil dua tempat duduk di baris kedua. Emi belum datang juga. Menjelang jam tujuh dia muncul. Langsung ambil tempat duduk di seberang. Mungkin tidak tahu jika saya sudah datang duluan. Saya dekati. Saya ulurkan tangan menyalami. ”Gimana liburannya?” Jawabannya singkat ”So so”. Tangannya dingin. Sikapnya dingin.

Tatapan matanya aneh, menusuk nanar. Saya beritahu jika ada tempat duduk kosong di barisan depan. Dia pindah duduk disamping saya selama kuliah. Lupa kuliah apa waktu itu. Jika tak salah ingat Kesehatan Anak. Emi terkesan gelisah. Tak seperti biasanya rajin mencatat. Kali ini hanya main main pena coret coret kertas kosong. Sebelum kuliah berakhir dia menulis sesuatu di kertas kecil. Kertas itu dilipat dan dikasihkan saya. ” I want to tell you something baby”. Dua jam kuliah berakhir. Dia pamit ingin pulang. Tak enak badan katanya. ”Nanti malam datanglah ke rumah”. Pesannya singkat.

Tak tenang saya mengikuti kuliah hari itu. Ada apa dengan Emi?. Tak sabar menunggu hari malam rasanya. Habis kuliah jam satu. Saya terus ke Bulak Sumur, naik sepeda. Jaga praktikum Farmakologi. Sudah setahun lebih asisteren di sana. Jaga pratikum juga nggak tenang. Mahasiswa tingkat tiga. Ramainya nggak karuan. Mereka dua tahun di bawah saya. Sebagian juga sudah kenal dengan baik. Pikir saya, mau gaduh silahkan, mau gagal silahkan. Pikiran saya baru tidak tenang. Praktikum selesai jam lima sore. Saya langsung pulang ke selatan.

Jam setengah enam lewat rumah kost Emi di Ngampilan. Rencana malam nanti mau datang ke sana. Tetapi tiba tiba saja pikiran saya berubah. Saya langsung mampir. Emi juga nggak terkejut ketika saya datang. Hanya sikapnya tetap saja diam tak banyak ngobrol seperti biasanya. Kami bicara formalitas saja. Dia kelihatannya menghundar jika ditanya tentang liburannya. Ketika akhirnya saya katakan ”Katanya mau cerita, kok diam saja?”. Dia terdiam sejenak.

Kemudian dengaan pelan dia bilang ” Maaf Ki, saya dengan mas Hepi sudah resmi kawin liburan kemarin”. Haaa, kaget luar biasa saya. Tak ada petir, tak ada kilat. Mas Hepi adalah mantan pacarnya dulu. Dua tingkat di atas kami. Kuliah di Hukum. ”Kok gitu?” pertanyaan saya tertahan di kerongkongan. ” Saya tidak bisa menolak ketika ditanya sama ibu. Habis kau nggak kasih kepastian. Malah kenalan sama anak Pekalongan itu”. Kenalan sama gadis lain kan bukan pengkhianatan tingkat pertama. Walau hati saya berdesir jika ingat gadis Pekalongan itu, tetapi hanya berdesir thok. Belum ada tindakan apa apa. Kok langsung di vonis, edan enggak? Saya hanya mengucapkan moga moga dia selalu bahagia. Tak berlama lama saya di sana. Duduk rasanya seperti di atas paku. Tak lebih sepuluh menit saya pamit. Terus pulang ke pondokan di Patangpuluhan.

Teman teman kost baru duduk duduk di depan kamar ketika saya datang. ” Gila nggak, Emi liburan kemarin sudah kawin. Saya baru saja tadi diberi tahu”. Khavid, adik kelas saya dua tahun langsung menukas ” Tenang Ki. Saya tadi juga dengar di kampus. Mau bilang situ kok sudah langsung ke Bulak sumur”. Batin saya menggerutu. Ada berita tak enak kok padha diam. Sore itu kami ramai ramai keluar. Makan bakmi Panut di Gerjen. Saya tetap saja galau. Tetapi Anton bilang. ”Laki laki pantang patah hati. Patah tumbuh hilang berganti”. Habis makan bakmi jalan jalan. Pas ada sekaten. Beli galundeng sekalian. Masih ada juga yang komentar ” Kalau ada yang patah hati tiap minggu dari kita, lumayanlah.

Beberapa minggu berlalu. Saya memberanikan diri berkunjung ke tempat kost Lina, mahasiswi AKUB yang saya kenal beberapa bulan lalu. Bukan pelarian. Bukan pengungsian. Ternyata jatuh hati benar benar. Wantek sampai sekarang setelah lewat hampir empat puluh tahun. Setelah kereta terakhir sore itu.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi
Manila, 27 Agustus 2011.

Saturday, August 20, 2011

Kau kejam

Minggu malam di musim panas tahun 1980. Saya tiduran di kamar di Summerhill House, NewCastle Upon Tyne (UK). Setiap Minggu malam selalu kesulitan tidur. Sengaja jam sembilan masuk kamar setelah lihat TV ramai ramai di ruang bawah. Pak Tarto dan Lisa masih berdua di bawah meneruskan nonton TV. Lisa sedang ambil program master di bidang pertambangan. Dia tinggal di asrama putri, di seberang kota, kira2 15 km jauhnya. Akhir pekan dia menginap mengunjungi pak Tarto. Tak tahu hubungan mereka. Sama sama sudah dewasa. Sudah berkeluarga.

Baru beberapa saat tiduran ketika pintu diketuk keras. Kaget setengah mati saya. Tetapi memang kebiasaan di sana kalau mengetuk pintu selalu keras. Lisa nampak emosional di muka pintu. "Ki tolong antar saya pulang".. Dia nampak gelisah dan marah. "Bukankah pak Tarto yang mau ngantar?". "Nggak mau. Dia sudah masuk kamar. Pintunya juga dikunci?". Saya berlagak pilon, tahu kalau mereka pasti bertengkar hebat. Saya pura pura bertanya "Ada apa sih kok aneh?". Jawabannya setengah teriak. "Tak ada apa apa. Masak saya dibilang gatel. Emangnya saya siapa".

Beberapa minggu lalu dia mengeluh, jika kulitnya kering dan gatal. Waktu itu saya anjurkan periksa ke poli di klinik universitas. Kebetulan dokternya saya juga kenal baik. Saya balik bertanya "Lo belum jadi periksa dokter rupanya?". Jawabnya semakin galak " Bloon kau. Yang dibilang gatel bukan kulit saya tahu". Baru paham saya, ternyata mereka baru saja tengkar. Lisa tak terima dibilang gatel walaupun dia sedang sakit kulit gatal dan kering. Lisa lulus undergraduate dari Praha. Sedangkan pak Tarto baru ambil program doktor di bidang Biologi. Saya juga baru memulai program doktor waktu itu.

Saya coba mengetuk kamar pak Tarto, tetapi terkunci rapat. Tak ada reaksi. Saya intip dari lobang pintu, Nampak dia sudah berselimut sarung rapat rapat. Akhirnya saya antar Lisa, naik bis kemudian ganti kereta cepat Metro. Tak banyak cerita dalam perjalanan. Saya memang tak akrab sekali. Orangnya manja tetapi suka uring uringan. Pernah beli jas hangat kepanjangan. Pas dicoba di rumah saya bilang apa nggak kepanjangan, dia marah sekali. Berhari hari saya didiamkan.

Menjelang tengah malam saya baru sampai rumah. Tak aman malam malam gini keluar sebenarnya. Banyak punk dijalan yang sering bertindak brutal. Kapan itu ada seorang Pakistan, seorang ahli hukum, baru nunggu bis dikeroyok sampai luka berat. Ketika masuk kamar, di bawah pintu saya temukan kertas kartu pustakan bertuliskan, "Kau kejam". Ternyata dari pak Tarto. Tak saya perhatikan, langsung saya tidur. Keesokan harinya kami bertemu di dapur waktu sarapan. Pak Tarto diam seribu bahasa. Saya juga diam, dari pada salah bicara. Dia sepuluh tahun di atas saya. Putri satu satunya sudah mau lulus ITB.

Saya baru bertemu pak Tarto malam harinya. Waktu makan malam. Kami bertiga, dengan seorang lagi teman dari Indonesia, Huta, selalu masak bersama. Dia lagi ambil program Master di bidang biologi laut, dosen salah satu perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah. Pak Tarto masih diam saja dengan wajah cemberut. Saya sindir, kok diam saja?. Eh malah si Huta ini yang menyahut "Ki kau kejam". Baru tahu rupanya dia cerita sama si Huta peristiwa semalam. Kejam gimana ? Nggak dhong saya.

Akhirnya pak Tarto bicara kalau dia tak enak hati, kenapa saya mengantar Lisa pulang ke asrama. Saya bilang, dia nggedor kamar saya, nangis2 minta diantar pulang. Pak Tarto sudah mengunci pintu Pak Tarto bilang, jika ada pasangan tetangga yang sedang bertengkar, jangan coba coba ikut campur, malah dikira cari kesempatan. Tak baik itu. Pikir saya, mau cari kesempatan ngapain, dikasih pun belum tentu mau. Sori mek, bukan selera saya. Pak Tarto juga bilang jika beberapa minggu lagi Lisa akan nggabung tinggal di Summerhill bersama kami.

Tanggal satu bulan depannya Lisa betul jadi pindah di apartemen kami. Cuma beda unit, beda pintu keluar masuk. Semua berjalan normal. Tak ada yang istimewa. Hanya suatu sore pak Tarto bilang jika Lisa akan gabung masak sama sama untuk makan malam. Kami tak keberatan. Setiap petang kami makan malam bersama. Ongkos belanja biasanya diperhitungkan tiap akhir minggu. Lisa memang sering belanja, kemudian kami semua mengganti beayanya. Tetapi rupanya dia tak bisa masak. Setiap kali masakan siap pak Tarto selalu mengetok pintunya untuk makan malam. Kadang kadang Huta yang memberi tahu Lisa, jika masakan telah siap.

Semua berjalan biasa saja, kami selalu masak bersama dan makan malam bersama, sambil ngobrol. Beberapa bulan kemudian, dalam rangka penyelesaian disertasinya, pak Tarto harus pergi ke London beberapa hari. Saya, Huta dan Lisa makan malam bertiga. Saya dan Huta yang masak. Lisa paling nyiapkan minuman. Kebetulan akhir pekan itu saya bersama pembimbing saya menghadiri pertemuan reguler di Sheffield. Naik mobil ramai ramai, berangkat pagi, pulang sore hari. Sampai Newcastle sudah menjelang petang. Tiba tiba saja, pembimbing saya ngajak makn malam semua peserta program doktor yang dibimbingnya. Ada empat orang. Kami makan sambil ngobrol sampai jam sembilan malam.

Sampai rumah di Summerhill sudah lewat jam sepuluh langsung masuk kamar. Mau tidur. Jam sebelas malam pintu diketok dari luar. Ternyata pak Tarto, masih berpakaian lengkap dengan jas berdiri di muka pintu. Rupanya dia baru datang dari London. Aturan dia datang sore tadi. Langsung mengeluh, "Gimana sih kamu ini?. Lisa terlantar, nggak ada yang masak". Ternyata pak Tarto datang terlambat dari London, tak tahu apa sebabnya.. Huta ada acara akhir pekan sama teman temannya. Hura hura, dia masih sorangan. "Kasihan Lisa, nggak terurus. Sampai hati kau menelantarkan dia Ki. Kejam kau". Tak saya layani keluhannya. Ngapain, jika memang mau makan malam di ujung jalan ada rumah makan. Di dapur juga banyak persediaan mie.

Peristiwa itu sudah 30 tahun berlalu. Ketika kami pulang ke Indonesia sempat bertemu pak Tarto sepuluh tahun kemudian, saat resepsi pernikahan Huta di Semarang. Saya bersama Nyi dan pak Tarto bersama isteri. Dia cerita kalau Lisa sudah kawin lagi dan punya anak. Dia memperkenalkan saya ke isterinya "Ini Ki, pacar Lisa di NewCastle" Edan batin saya kok bisa ya? Untung Nyi tahu persis cerita tentang peristiwa itu

Saya bertemu dengan pak Tarto terakhir di satu pertemuan ilmiah di Bandung, di awal tahun sembilan puluhan. Saya menerima penghargaan penelitian dari suatu Yayasan. Pak Tarto diundang mewakilki salah satu lembaga yang sangat terpandang di Indonesia untuk menyerahkan penghargaan itu. Kaget dia bertemu saya. Saat memberikan penghargaan itu, dia berbisik "Kau to Ki. Kau memang kejam. Lama saya tak ketemu Lisa". Saya tak bisa menahan tawa. "Gatel saya pak". Nyi kemudian bertanya, kok didepan cengengesan ada apa tadi ? Saya hanya menjawab ringan, Kau memang kejam. Jangan gatel.

Huta sekarang menjadi guru besar di bidangnya. Masih aktif, menjadi dosen teladan beberapa kali. Lisa, saya tak pernah bertemu lagi. . Moga moga dia bahagia. Baru saja saya tanya adik saya, ternyata Pak Tarto sudah lama berpulang. Beliau tokoh besar ilmu pengetahuan di Indonesia. Tak meninggalkan aib apa apa. Ini hanya peristiwa kecil dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan penuh warna. Selamat jalan pak Tarto. Beristirahatlah dalam damai. Saya tidak kejam loooo.

Salam damai

Ki AgengSimilikithi

Manila, 20 Agustus 2011.

Sunday, August 7, 2011

Jambalaya & Cintaku di kampus biru

Sabtu sore di Philippines Navy Golf. Saya bersama seorang teman, Dr Iwan, sedang menikmati makan sore sesudah main delapan belas holes. Sebenarnya tak ada rencana main ok paginya baru tiba dri Yogya. Jam 0530 tiba setelah penerbangan selama 3. 5 jam dri Jakarta. Rasanya masih ngantuk dan capek. Tetapi bosan sendirian di rumah. Akhirnya kami main jam 13 30, bersama dengan dua pemain asal Norwegia dan Australia. Tak sempat banyak ngobrol.

Setiap sabtu sore selalu ada live music di sini. Beberapa kelompok musik dari militer sering main. Yang paling saya sukai adalah dari kelompok marinir. Kali ini hanya ada seorang pianis dan seorang penyanyi wanita dengan suara sangat merdu. Seorang diplomat Australia, panggilannya John, ikut menyumbangkan lagu, When I Fall in Love. Saya lupa nama lengkapnya. Dia kelihatan kenal baik dengan si penyanyi. Di ujung ruangan nampak seorang senator yang sering masuk TV, lagi asyik ngobrol dengan teman2nya.

Sesaat kemudian lagu Jambalaya mengayun merdu menghentak dengan irama mengasyikkan. Gaya penyanyi ini pas benar dengan irama Jambalaya. Ingatan saya melayang ke masa tiga puluh empat tahun silam, tepatnya di tahun 1973. Di suatu petang di kampus Bulaksumur, ada pergelaran musik oleh mahasiswa UGM. Kelompok musik dan penyanyinya semua berasal dri UGM. Saya menonton bersama dengan seorang teman, yang juga ketua senat mahasiswa FK, Achdiat Agoes. Kami berdua masih belum punya pacar, masih dalam tahap pencarian dan PDKT.

Ada penyanyi cantik, saya tidak tahu mahasiswi mana, dengan elegan sekali menyanyi lagu Jambalaya. Irama nyanyian dan gerak tubuhnya demikian menghanyutkan dan mengundang para penonton untuk ikut bergoyang. Namun setiap kali teman saya ini selalu mengingatkan. Hi duduk tenang ! Saya ingat, si penyanyi memakai celana jean keputih putihan dan kaos merah jingga. Serasi dan mempesona. Penonton kebanyakan mahasiswa semua duduk di rumput dengan tertib menikmati irama musik satu per satu. Tak ada kegemparan, tak ada keributan. Semua berjalan tertib.

Saya mencoba cari tahu dari mana penyanyi itu. Teman saya hanya menjawab, “jangan tanya, she is far away from us”. Saya tak tahu apa maksudnya. Biasanya teman ini selalu proaktif, karena kami memang masih dalam taraf pencarian. Aneh kok kali itu dia menyerah duluan, mungkin sudah ditolak sebelumnya. Dua tahun lagi akan lulus, sebagian besar harus tugas di daerah terpencil. Pengin secepat mungkin punya pacar tetap. Sampai detik ini saya tak tahu siapa mahasiswi yang nyanyi itu, dan tak punya nyali cukup waktu itu untuk mencari tahu.

Kampus Bulak Sumur dengan Cemara Tujuh-nya, terpopulerkan lewat novel Ashadi Siregar ‘ Cintaku di Kampus Biru’ . Novel popular ini pernah tampil dalam cerita bersambung Kompas di awal tahun tujuh puluhan. Ada banyak novel Ashadi Siregar, yang berputar hampir semuanya tentang cinta di sekitar kampus. Ada semacam pengaruh menyejukkan dari musim novel2 cinta ini dalam kehidupan anak2 muda dan mahasiswa. Paling tidak di Yogyakarta. Ketertiban dan keasyikan tanpa keributan dalam pergelaran musik tadi mungkin juga terimbas dri pengaruh hipnotis dari novel novel Ashadi. Kampus UGM, kampus biru yang romantis, kampus perdamaian. Tak hanya dikumandangkan lewat musik, juga berbagai kegiatan lain seperti baca puisi, drama, dan kelompok2 sni yang lain. Setiap mahaiswa ingin menjaga kesan itu.

Di awal tahun sembilan puluhan sesudah saya jadi dosen di UGM, dalam salah satu acara pertemuan internasional, saya mengundang peserta ke kampus dan menikmati acara musik di petang hari. Salah satu peserta yang baru saja datang dri Amerika Latin, mengatakan mengapa Indonesia begitu damai ? Orang bisa menikmati acara musik di alam terbuka sore hari ? Di negara di mana dia bertugas, petang hari orang harus tinggal di dalam rumah oleh karena selalu ada kontak senjata antara militer dengan pemberontak atau antara gang2 narkotika. Saya tak membayangkan waktu itu. Tetapi di akhir sembilan puluhan suasana malam yang mencekam juga menghinggapi banyak tempat di Indonesia. Tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Para seniman senior waktu itu menolak novel2 Ashadi sebagai karya sastra. Dianggap terlalu murahan hanya mengungkap kisah roman picisan semata. Dan jawaban Ashadi lugas. ‘’ Saya tak kecil hati karya saya tak diakui sebagai karya sastra, juga tak akan merasa tambah bangga jika diakui sebagai karya sastra ‘’. Nggak tahulah, faktanya para mahasiswa sering mempersonifikasi dirinya seperti tokoh2 dalam novel2 tersebut.

Di kemudian hari dan terutama saat ini, kita juga banyak melihat kenyataan bahwa yang namanya pergelaran musik dan pergelaran akbar selalu sarat dengan keributan. Bahkan sering sering memakan korban jiwa. Saya yakin bahwa mereka yang datang, termasuk yang menjadi korban, sebenarnya hanya ingin menikmati hiburan musik, menikmati musik sesuai dengan irama hatinya. Memilukan jika pergelaran pergelaran seperti ini sering berakhir ricuh dan makan korban. Di Pekalongan tahun lalu, korban jiwa berjatuhan dalam konser musik.

Kita banyak kehilangan nuansa cinta dan damai dalam pergelaran2 akbar. Lihatlah rapat2 akbar yang selalu mengobarkan hujatan dan pesan pesan kebencian. Entah itu oleh organisasi massa atau oleh kelompok agama. Berangkat pergelaran akbar bawa pentungan sama batu. Kalau ada toko, ada polisi, ada penjual makanan di tepi jalan, rasanya mereka pengin nglempar batu, pengin menjarah, dan pengin mengeroyok. Kenyataanya sering terjadi kan ?

Mengapa karya2 yang mengungkapkan cinta dan kedamaian tak bisa masuk sebagai karya sastra ? Mengapa malu mengangkat dan mengumandangkan cinta kasih dan damai dalam pergelaran dan rapat akbar ? Berdosakah jika anak2 muda mempunyai bayangan tentang cinta sewaktu menonton pergelaran atau rapat akbar. Saya masih ingat pergelaran musik di tahun 1973 dengan kenangan yang indah, bukan karena hangar bingar kekacauan. Hanya mengingat penyanyi dengan kaos merah jingga yang begitu anggun. Hanya ingat peristiwanya, tak tahu siapa dia sebenarnya. Tak pernah sempat sampai tergila gila jatuh cinta padanya. Saya sering cerita mengenai peristiwa ini ke isteri saya kemudian. Pertanyaannya, mengapa saya tidak mengajak dia melihat pergelaran itu ? Jawaban saya juga sama. Pertama kami belum resmi pacaran, baru kenalan tahap awal. Kedua saya hanya punya kendaraan sepeda usang tanpa boncengan. Taksi belum ada, naik becak ke Bulaksumur terlalu jauh. Kalau ada taksi pun tak mungkin mampu naik taksi. Uang bulanan selalu defisit. Defisit ini saya tutup dengan menulis di koran dan media massa. Mentraktir pacar harus benar2 masuk dalam rencana bulanan, terutama cash flow yang selalu nyaris.

Inti dari tulisan saya mengapa pergelaran2 akbar saat ini selalu gemuruh dan bergelora dalam suasana panas ? Mengapa tidak mengemasnya dalam kemasan yang menyejukkan dan romantisme anak anak muda. Mungkin keributan dan kekerasan bisa dikurangi dicegah dan dikurangi. Tidak tentang roman picisan, bukan tentang karya sastra atau bukan, tetapi tentang kasih dan perdamaian. Inilah hakekat hidup manusia.

Ki Ageng Similikithi\
Pernah dimuat dalam Kolom Kita Kompas Cyber Media, 20 Maret 2007

Saturday, August 6, 2011

Untuk teman para malaikat

Kau nyanyikan dendang ilahi
Yang melanglang langit sepi
Gegap gempita menantang matahari
Kau panjatkan doa khusuk setiap hari
Yang menyentuh hati
Merasuk sanubari
Kau sapa para malaikat dan bidadari
Yang bersorak sorai menghentak bumi
Kau tebarkan pesan moral
Bagi anak anak manusia yang berlimbah dosa.

Dalam benakmu pekak terpateri
Bagai duri menghunjam nurani
Kau adalah teman para malaikat
Kekasih para bidadari
Orang orang suci
Yang mengawal moral
Membersihkan dosa anak anak manusia
Yang terhimpit kegelapan dunia
Kau penentu kebenaran
Penunjuk jalan kesucian.

Pesan pesanmu selalu penuh kebencian
Kata katamu bertabur kedengkian
Tindak tandukmu berlimbah kekerasan
Hatimu tak kenal kedamaian
Karena kau terpisah jauh dari kemanusiaan dan peradaban
Tak perlu kau lagukan sorak sorai tentang aklak dan moral
Carilah bisik kemanusiaan dari nurani yang paling dalam.

Manila, 30 Juli 2011
Teriring salam damai
Ki Ageng Similikithi
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150270897693467

Ratu Kidul tak berkenan

“Ketiwasan Gus, gawat gawat gawat. Nyai Loro Kidul marah luar biasa. Calon mantu Kanjeng Ratu diambil, sudah tiga hari tidak kembali”.

Awal tahun tujuh puluhan. Sore hari yang panas. Pak Djo, pembantu tua di pondokan Gerjen Yogya, tiba tiba datang menemui saya. Saya baru saja pulang dari praktikum anatomi di Mangkubumen. Capai dan pusing bau mayat campur formalin. Saya belum jelas apa maksudnya, dia masih nyerocos terus, bahkan isterinya ikut nimbrung.

“Nyai Loro Kidul tidak berkenan karena tidak diaturi sesaji. Ditinggalkan dalam persiapan acara perkawinan agung minggu depan”.
Saya masih belum dhong dan menjawab sambil lalu.

“Saya tak kenal Nyai Loro Kidul. Apa hubungannya dengan perkawinan agung putri Kanjeng Ratu ?.
“ Gus jangan berlagak pilon. Calon mantu kanjeng Ratu hilang sudah tiga hari. Pamitnya hari Minggu kemarin ke Parangtritis. Sampai sekarang beritanya ramai di koran. Nyai Loro Kidul tersinggung berat”.

Saya memang tidak mengikuti rutin berita koran. Anak kos tak mampu lengganan koran. Kemudian pinjam koran tetangga sebelah. Memang ramai diberitakan, baik oleh koran lokal maupun nasional, jika calon mantu Kanjeng Ratu, hilang tak berbekas sudah beberapa hari ini. Mestinya sudah harus mulai masuk karantina, dipingit. Dia seorang insinyur lulusan perguruan tinggi terkenal di Semarang. Berpenampilan nggantheng dengan brengos gagah seperti intel. Sudah bekerja dengan karier gemilang di salah satu perusahaan umum milik pemerintah.

Banyak spekulasi berkembang di masyarakat tradisional Yogya tentang periistiwa mengejutkan itu. Ada yang katanya melihatnya waktu di Parangtritis, sang calon menantu, kencing dilaut. Nyai Loro Kidul yang menjadi pacar gelap raja raja Jawa, demikian terbuai melihat sang burung emas, lalu menariknya ke istananya di laut selatan. Kebanyakan percaya, seperti pak Djo, kalau telah ada kekilafan memberi sesaji, sehingga sang Ratu Kidul, tersinggung dan ngadat.

Lupa wartawan mana yang kemudian membeberkan apa yang sesungguhnya terjadi. Dia melakukan penelitian secara mendalam dan mewawancarai banyak saksi yang layak dipercaya. Ternyata sang calon menantu, menghilang pergi bersama kenalan barunya, seorang peragawati yang rumah tinggalnya juga dekat kampung Gerjen. Tak bisa disalahkan. Seminggu lagi akan kawin dengan putri Kanjeng Ratu, seumur hidup harus setia tanpa reserve. Kapan lagi mau bersenang senang sama seorang peragawati selebriti?

Kebiasaan yang umum di dunia kotemporer dengan istilah bachelor party (http://en.wikipedia.org/wiki/Bachelor_party), untuk memperingati kebebasan di malam malam terakhir bagi sang burung. Seminggu kemudian dia memang kembali, tak banyak berita yang menyebutkan pengakuan sebenarnya. Cerita wartawan itu yang melaporkan kalau sang calon menantu rupanya bersembunyi di Tasikmalaya. Bukan Nyai loro Kidul yang tinggal di sana. Tetapi sang peragawatilah yang ada di sana. Maaf tak bermaksud menyinggung siapa siapa

Salam damai,
Ki Ageng Similikithi
Manila, 25 Juli 2011
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150266732138467

Nama saya DP - konsultasi spiritual

Duduknya tak tenang. Dibalik sikap yang menjurus genit dan wajah menggoda itu tersembunyi kegelisahan jiwa yang dalam. Sebagai penasehat spiritual senior jauh jauh saya telah bisa membacanya. Wanita muda itu duduk bersilang kaki di depanku. Belum tahu siapa dia sebenarnya. Konsultasi spiritual begini sudah berjalan rutin puluhan tahun. Setiap malam Anggoro Kasih. Sejak dari Solo dulu di tahun enampuluhan. Kungkum di Bengawan Solo tengah malam menjadi sarana pengasah ketajaman indera ke enam. Harus tengah malam. Menjelang pagi sudah banyak orang buang air besar di bengawan. Bukan berkah yang didapat jika kesiangan. Tetapi kotoran manusia. Jelek jelek pernah menjadi murid Ki Ageng Gentallogeddy, tokoh spiritual kondang dari Solo yang konon punya wanita simpanan dari laut selatan.

“Panjenengan siapa nimas. Silahkan duduk yang baik dan menghadap ke arah mata hari terbit. Wahyu selalu datang dari Timur”.

Saya mempersilahkannya dengan nada suara dalam. Dia sedikit terkejut. Membetulkan posisi duduk. Satu kaki diangkat naik ke atas kursi. Saya terkesiap. Rok nya tersingkap jelas. Tak bergetar saya. Sudah biasa menghadapi segala godaan atas bawah, luar dalam. Dia memakai celana kolor hitam. Model tahun lima puluhan. Heran saya, luar supra modern, dalam kolor. Jaman memang berubah.

“ Nama saya DP Ki. Saya seorang selebriti terkenal. Pengin konsultasi tentang masalah yang agak intim ya Ki. Tapi mohon jangan disiarkan TV. Untuk di TV tentang hal hal yang intim, saya telah punya penasehat khusus. Ki Ageng hanya saya minta nasehat masalah substansial saja”.

Perasaan saya tak enak. Ada kesan mendikte ini wanita muda. Mentang mentang montok dan cantik. Tak bisa itu diterima. Saya bukan psikiater, tetapi biasa saya mulai analisa dalam. Analisis spiritual. Hening sejenak. Ada kegelisahan jiwa yang berkobar dalam wanita ini. Bisa meledak sewaktu waktu. Moga moga jangan di sini. Bisa masuk koran beritanya. Analisis fisik luar tak butuh waktu lama. Bertubuh bahenol berisi. Bahasa spiritualnya sintal. Gerakan fisiknya selalu penuh goda dan pesona.

“ Nimas saya tak pernah membedakan para klien saya apakah selebriti, bidadari atau isteri kedua. Semua sama di hadapan saya. Ini prinsip kesetaraaan gender. Apa yang menjadi masalah? Katakan sejujurnya.

Dengan gerakan gerakan menggoda wanita muda itu menjawab secara lancar. Kadang2 kakinya naik ke atas kursi. Kadang2 dia menurunkan kerah bajunya. Ingin memamerkan isi dibalik baju. Nampak menerawang. Transparansi dan keterbukaan. Tanpa beha. Bergerak naik turun.

“ Saya ingin tubuh saya bertambah bersinar dengan aura pesona yang dalam Ki. Terutama bagian dada saya. Rasanya kok kurang imaginer bagi para pria. Buah dadaku kurang inovatif”.

“ Dada panjenengan sudah sangat indah menawan nimas. Memberi inspirasi lelaki untuk berimaginasi. Siapa yang bisa menaklukan sampeyan, bakal punya wahyu jadi pejabat, anggota DPR, minimal pengurus partai. Tetapi memang auranya terasa kurang terarah. Kurang terpancar. Makanya sering saja makan papaya. Atau kombinasi papaya mangga, pisang sama jambu. Banyak dijual di Pasar Minggu. Terserah bentuknya yang anda senangi. Modelnya lain lain. Jika kurang besar, seringlah makan buah nangka mentah atau gori. Ini tanggung dada jadi besar berwibawa seperti buah nangka”.

“ Lho kok pakai papaya dan buah nangka segala Ki?. Di luar negeri orang pakai silikon buat membentuk buah dada supaya indah. Apakah teknologi silikon belum dikenal ?. Ki, saya juga barusan operasi vaginoplasty di Arab, juga reparasi keperawanan. Bahkan saya disuruh milih selaput dara, yang kenyal atau yang mendut. Dokter2 kita mestinya belajar teknik ini”.

“ Jangan kagetan. Jangan gumunan nimas. Para dokter di sini juga sudah terbiasa segala macam operasi, suntik silikon, vaginoplasty, sampai permak segala macam onderdil seksual tubuh. Baik untuk kuda, sapi dan para selebriti. Hanya ada kearifan lokal, untuk operasi buah dada, mereka sesaji dengan buah papaya atau nangka. Biar hasil operasinya bagus. Seperti buah nangka atau papaya. Mana tahu dokter Arab akan kearifan lokal kita. Untuk opersi vaginoplasty biasanya ditambah subal pakai jenang dodol atau jadah”.

Ketika mendengar jenang dodol, jadah sama tempe, wanita muda ini semakin bersemangat. Menggali teknologi dan kearifaan tradisional untuk budaya kotemporer, tambal sulam alat tubuh.

‘ Jangan khawatir. Seminggu sekali bisa disubal pakai jenang. Jenang Kudus paling ampuh. Bisa mencekat kencang. Atau jadah sama tempe. Ini bisa sampai memabukkan nanti kalau sang kekasih datang”.
“Ki gimana advisnya untuk menambah aura dan pesona buat para pemuja pria ya? Aura saya akhir akhir ini sedikit terganggu karena TV. Tolong ya terutama para pemuja pria, juga untuk pasangan saya”.

Pertanyaannya kok semakin aneh saya pikir. Tak apalah, dukun tersohor seperti saya tak akan kurang akal. Apa saja klien pasti percaya. Walaupun sadar kalau mereka tertipu, tetapi mereka malah merasa bangga tertipu dukun seperti saya.

“Jangan khawatir nimas. Sering dibilas pakai sambel petis rujak cingur. Auranya meningkat, aromanya menggigit betul. Buat pemuja pria gampang saja, suruh mereka banyak makan pisang raja. Jangan kasih pisang kluthuk, bikin Impoten. Untuk pasangan tetap, tambah dengan lombok rawit, madu sama jahe. Semoga anda aura dan aromanya tambah nges ngesss nimas. Andum slamet ya, ngati ati, ah ah ah”.

Tiba tiba dia beranjak berdiri. Bergerak meliuk liuk. Tari perut dengan gerakan gerakan ritmis. Buah dadanya berputar putar seperti gangsingan. Baru sekali ini dalam perjalanan profesi sebagai penasehat spiritual saya merasa nanar. Kenapa berputar seperti gangsingan? Mungkin tadi minum es teller putar di Bulaksumur. Mungkin saja. Segalanya bisa terjadi di dunia spiritual. Saya semakin larut dalam tarian ritmis itu ketika pintu kamar dibanting keras sekali. Tiba tiba Nyi berdiri bercekak pinggang “Dukun porno. Konsultasi gombal”.

Ah saya sadar dari mimpi dimuka teve. Jatuh terduduk dari kursi. Koran tentang DP masih belum selesai say baca. Isinya tentang DP (http://entertainment.kompas.com/read/2011/07/11/18490554/Pamer.Payudara.Lagi.DP.Tolak.Berkomentar) .

Edan secuil berita kok bisa mengguncang impian manula. Kebebasan pers.
Salam damai
Ki Ageng Similikithi
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150265142113467

Hati tak pernah bisa sedingin salju

Malam hari di tahun 1972. Saya sudah beranjak mau pergi . Ketika tiba tiba gadis itu muncul dari balik pintu. Diantara tirai warna biru. Lampu temaram kamar tamu tak memungkinkan mengamati wajahnya dengan jelas. Saya tergagap ketika MUS, kakaknya memperkenalkannya singkat. “ Kenalkan adikku LIN”. Saya menyambut uluran tangannya dengan ringan. Jabatan tangan biasa. Tak menggenggam erat, juga tak longgar sekali. Wajar wajar saja. Sedang sedang saja. Hati tak tergetar, pikiran tak tergoyahkan. Aku selalu ingin sekokoh batu karang. Dihadapan gadis yang baru kenal.

Hanya ketika dia tersenyum lembut, saya sedikit terpana. Ada getaran ringan. Namun tak jelas juga wajahnya. Ah biarlah kesan itu berlalu. Walau seribu bidadari datang menemuiku, hati ini ingin tetap sedingin salju. Jangan hiraukan senyum itu. Ini prinsip. Aku ini bukan lelaki malang yang terbuang.

Dengan langkah ringan saya keluar dari kamar tamu. Sang kakak berucap “ Terima kasih, mau ngantar ya”. Di pintu pagar, LIN berucap “ Main ke sini Mas kalau ada waktu ”. Saya hanya menggumam ringan. Maunya tahan diri, tahan harga. Bergegas saya naik becak dari jalan Gadjah Mada 25 ke Patangpuluhan, tempat pondokan saya. Dua puluh lima rupiah tanpa tawar menawar. Pantang pemuda masa kini tawar menawar dengan sopir becak dihadapan gadis yang baru dikenal.

Sore itu saya dalam perjalanan dari Ambarawa kembali ke Yogya. Sudah hampir gelap ketika di alun alun Magelang, kondektur mengumumkan kalau bis batal menuju Yogya. Hanya sampai Magelang. Saya dan penumpang lain, dipindah ke bis yang sedang menunggu di barat alun alun. Bis Mustika. Hanya ada satu kursi kosong. Saya duduk di situ. Bersebelahan dengan seorang gadis. Berpenampilan tinggi kokoh. Kuat seperti karateka. Kami berkenalan dan bicara ringkas. Dia kuliah di fakultas hukum UGM. Sampai Yogya sudah gelap. Dia turun di Bausasran. Saya ikut turun. Tak terpikir panjang, saya mengantarkannya ke tempat pondokan di jalan Gadjah Mada. Dia mondok bersama adiknya LIN, katanya kuliah di AKUB.

Malam harinya saya teringat kembali senyum itu. Teringat kata kata itu. Wajah LIN terkesan lembut dalam keremangan malam. Ingin melihat wajahnya secara jelas. Ingin menatapnya tegas. Ingin menyapanya dengan hangat. Beberapa hari berlalu. Saya tak mampu melupakan semua itu. Senyum itu. Tak bisa melupakan sapaannya. Hari Jum’at malam saya bersama teman akrab, AJI, kembali ke sana. Tak juga bisa membuat tenang. Hari berikutnya, Sabtu siang, bersama teman sekuliah At, datang ke sana. Semakin galau. Bah, persetan dengan prinsip prinsip itu. Walau yang kutemui bukan bidadari, hatiku tak bisa sedingin salju. Dia gadis yang lembut sederhana, mahasiswa AKUB. Bukan bidadari yang beramai ramai menemui dalam khayalku. Lagi pula mana ada sih bidadari ramai ramai mau datang menemuiku. Hari hari selanjutnya saya ke tempat pondokan itu, di jalan Gadjah Mada. Dekat bioskop Permata, Yogya. Hati selalu berbunga bunga. Memang hati tak akan pernah bisa sedingin salju.

Hampir empat puluh tahun berlalu. Gadis yang saya kenal waktu itu, sudah tertidur pulas. Dini hari, saya masih terjaga, tenggelam dalam lamunan, tak bisa tidur. Edaaan enggak.

Salam damai,
Ki Ageng Similikithi
Manila, 23 Juli 2011.
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150264496108467

Dalam kegelapan selalu ada keindahan

Manusia Homo sapiens secara alamiah tak suka kegelapan. Dalam temuan temuan purba kala selalu ditemukan perapian yang dulunya digunakan untuk penerangan, penghangatan dan masak memasak. Para pujangga sejak dahulu kala, menggambarkan kegelapan sebagai lambang kesedihan dan kekacauan. Hanya suasana remang remang yang sering dikaitkan dengan suasana romantis dan cinta sepasang anak manusia. Tak sampai gelap. Dalam dunia asmara, gelap hanya dikaitkan dengan perselingkuhan.

Saya terbiasa dengan kegelapan. Karena dibesarkan di suatu desa di Ambarawa di tahun lima puluhan dan enampuluhan. Belum ada listrik waktu itu, penerangan hanya dengan lampu petromaks. Jika waktu tidur tiba, penerangan diganti dengan lampu teplok. Sering tanpa penerangan demi keamanan. Kalau ada maling masuk, dia tak akan melihat apa apa. Tetapi ada penyair yang pernah merangkai puisi. Hanya dalam gelap orang dapat melihat bintang bintang dilangit. Ada keindahan dalam kegelapan. Keindahan yang hening dan dalam.

Awal tahun sembilan puluhan di Amsterdam. Saya menghadiri kongres sedunia farmakologi. Penyelenggaranya kebetulan teman satu klik. Sama sama generasi farmakolog klinik yang dibimbing oleh Folke Sjoqvist (Karolinska) dan Sir Michael Rawlins (UK), tokoh2 generasi pertama dan kedua di Eropa Barat. Hubungan kami cukup erat selama bertahun tahun. Saya mendapat berbagai keringanan untuk menghadiri konggres tersebut.

Kantor saya memesan suatu hotel, relatif murah dan memadai. Hanya agak kaget ketika masuk (check in) ternyata hotel tersebut satu kamar bisa ditempati oleh beberapa tamu. Fasilitas kamar lumayan, ada dua bed, satu single dan satunya double. Hari pertama, aman aman saja. Saya sendirian dan menggunakan tempat tidur tunggal. Hari kedua, jam sembilan malam, masuk pasangan dari Polandia. Agak kikuk, tetapi kami saling ngobrol sampai tengah malam. Sang pria, seorang pilot maskapai penerbangan dari Eropa Timur, adalah teman ngobrol yang sopan, hangat dan bersahabat. Sang pacar kelihatan pendiam, dengan penampilan cantik dan seksi. Kami sepakat mematikan lampu biar bisa tidur nyenyak.

Hari kedua, seusai menghadiri acara konggres, saya kembali ke hotel. Habis makan malam sengaja tidak ke kamar, tetapi melihat TV pertandingan bola World Cup, antara Cameroon yang dibintangi oleh Makanaky lawan Netherland. Masuk kamar lewat tengah malam. Hati hati sekali jangan sampai berisik mengganggu pasangan pilot sama pacarnya, sang pramugari. Saya langsung tertidur lelap.

Belum lama terlelap ketika saya dikejutkan oleh suara gaduh seperti orang berkelahi. Reaksi saya langsung bangun secepatnya dan melacak arah suara. Ternyata suara hiruk pikuk itu datang dari tempat tidur seberang. Kadang diselingi dengan jeritan jeritan tak karuan. Atau desah napas yang memburu. Tak terlihat apa apa, oleh karena gelap. Ada sinar remang remang menerobos masuk, tetapi tak membantu penglihatan saya sama sekali. Hanya kadang kadang saja saya merasa ada gerakan kaki yang menyeberang dan menggetarkan tempat tidur saya. Entah kaki sang pilot atau si pramugari. Tak relevan untuk diverifikasi. Saya kembali berbaring dalam kegelapan yang temaram. Mendengar dan menikmati suara suara dua anak manusia yang bercinta. Dalam gelap ternyata bisa mendengar mereka asyik bercinta. Bukan kegelapan yang hening tetapi penuh suara berdesah bersahutan. Batin saya mengeluh tanpa daya. Ngono ya ngono ning mbok aja ngono. Paginya bangun agak siang. Sudah lewat jam tujuh pagi. Kami bertemu di kantin di lantai dasar. Sang pria bilang kalau mereka sudah dapat hotel yang murah dan nyaman. We will not disturb you anymore with our physical exercise. Saya hanya bilang, enjoy your vacation.

Dua puluh tahun lewat, awal dua ribu sepuluh. Nyi didiagnosis menderita tekanan bola mata meninggi (glaucoma). Tidak boleh tidur dalam gelap. Harus pasang lampu sepanjang malam, supaya tekanan bola mata tak meninggi. Sejak lama memang dia tak bisa tidur dalam gelap. Kami selalu berselisih prekara lampu tidur. Ketika masih muda dia pernah mengeluh, katanya saya bosan melihat wajahnya saat tidur. Terpaksa harus pakai lampu, walaupun hanya samar samar. Sekarang kami sudah sepakat, mulai tidur pakai lampu. Jika salah satu sudah tidur, kami boleh pindah kamar. Saya meneruskan tidur dengan lampu mati atau NYI meneruskan tidur dengan lampu menyala terang. Hak azasi pasangan manula. Tak ada desah memburu. Sudah terlalu tua untuk bergelut dalam kegelapan. Demi transparansi harus pasang lampu. Good governance and transparency in bed. Edan, prinsip transparansi dan keterbukaan di bidang politik kok sampai ranjang.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi
Manila, 18 Juli 2011.
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150260810303467

Psikiater

“Horas bah. Lamo nggak basuo boss”. Saya menyapa dan menyalaminya dengan hangat. Kami bertemu untuk rapat di salah satu RS Jiwa di Jawa tengah di tahun 1998. Dr. Sus, seorang psikiater menjabat direktur disana, semenjak dua tahun sebelumnya. Dia memandang saya dengan tatapan aneh waktu itu. Mungkin pangling dan kaget. Karena selama hampir delapan tahun tidak bertemu. Tetapi menjawab. “Horas bung. Ketemu di sini, silahkan duduk”. Saya merasa agak aneh. Reaksinya terasa agak dingin dan asing. Dia senior saya waktu menjalani pendidikan dokter. Kami sempat akrab ketika sama sama ko skap di bagian Psikiatri. Orangnya tampan dan kalem. Seorang pemain band, tokoh mahasiswa populer di kampus. Isterinya dokter seorang ahli anak yang cantik. Selama beberapa tahun sebelum menduduki jabatannya sekarang Dr. Sus bertugas sebagai direktur rumah sakit jiwa di luar Jawa.

Pagi itu rencana akan menanda tangani kerja sama penelitian dengan rumah sakit yang dipimpinnya. Saya berangkat dengan tim lengkap dari Yogya. Saya lihat tim sponsor dari Jakarta juga sudah hadir lengkap di ruangan. Jam menunjukkan sudah lewat jam 1100. Rencana rapat mulai jam 11. Dr. Sus nampak gelisah, bolak balik melihat ke arah pintu depan. Seperti ada seseorang yang dinanti nanti. Kadangkala dia menatap saya. Tatapannya aneh. Kadang2 menggelengkan kepala, mungkin ada sesuatu yang mengganjal dalam benaknya.

Saya tanya ke salah satu staf, mengapa acara belum juga mulai. Jam satu kebetulan ada janji mau ketemu dengan teman lama di lapangan Tidar. Staf saya berbicara sebentar dengan staf Dr. Sus. Kemudian datang ke saya, memberitahu kalau Dr. Sus masih menunggu seorang teman dokter dari Yogya, Dr. Santoso. Saya terhenyak. “ Ya saya ini orangnya”. Staf tersebut nampak terkejut. Lalu kembali memberitahu Dr. Sus, jika yang ditunggu sudah hadir. Saya memang sudah tilpon dia beberapa hari sebelumnya, mengatakan jika saya akan datang sendiri, saat penanda tanganan kerja sama.

Setelah diberitahu oleh stafnya, Dr. Sus memandang saya dengan tajam dari seberang ruang. Dia menggeleng gelengkan kepala dan langsung mendekati saya. “Dancuk, tak enteni wiwit mau sampeyan”. Saya ketawa dan menyalaminya. “Saya sudah di sini hampir setengah jam”. “Lha sampeyan ndadak bilang horas bah, pangling saya. Saya kira pasien saya”. Batin saya menggerutu, teman lama kok dikira pasien. “Sori ya pak, ada pasien saya mirip sampeyan, selalu bilang horas bah setiap kali datang periksa”. Kami ketawa bebas. Seperti jaman waktu ko skap di bagian jiwa dulu.

Acara penanda tanganan berlangsung singkat dan lancar. Hanya pas pidato menyebut nama saya, dia nampaknya tak dapat menahan geli. Berhenti sejenak, menahan tawa dan menggelengkaan kepalanya. Mungkin geli karena peristiwa pertemuan barusan. Dalam acara makan siang kami sempat ngobrol.“Anda psikiater hebat bung. Masih main musik aktif”. Dia mengingatkan saya saat tentamen waktu akhir ko skap, gurubesar almarhum yang kami hormati bercanda mendamprat saya. “Mas kalau ada dua orang saja seperti sampeyan jadi psikiater di Yogya, separoh penduduk Yogya bisa malah jadi gila semua”. Saya ingat Dr Sus saat tentamen di tahun 1974, bisa menjawab semua pertanyaan dengan lancar dan meyakinkan. Sehabis makan siang saya pamitan. Tim saya dan timnya Dr. Sus masih bertemu membicarakan masalah teknis dan koordinasi penelitian.

Meski ada insiden konyol tersebut, hubungan kami tetap baik. Saya memang mengaguminya sejak mahasiswa dulu. Dia aktifis mahasiswa penuh kharisma dan gemar main musik. Peristiwa konyol itu mengingatkan saya sewaktu ko skap psikiatri di tahun 1974 dulu. Kami berempat tugas di rumah sakit Pugeran Yogyakarta. Dia suka cerita yang aneh aneh. Suatu siang sebelum pulang Dr. Sus bercerita. Dia masih ko as waktu itu. Belum jadi dokter. Belum jadi psikiater. “Ki membedakan perilaku psikiater dengan pasiennya kadang kadang sulit. Inilah ceritanya”.

Seorang psikiater senior secara rutin melakukan konsultasi dengan pasien pasiennya tiap hari di kamar dokter di rumah sakit. Di depan ruang dokter tadi ada sebuah ruangan kosong yang belum terisi. Rencana akan dipakai untuk ruang periksa juga. Suatu hari dia melakukan konsultasi psikiatriknya. Secara urut pasien datang ke kamarnya beraturan.

Pasien pertama, seorang pria, setelah selesai konsultasi, keluar dari ruangan. Sebelum pergi pasien itu menengok kamar kosong didepan kamar periksa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Seolah ada sesuatu yang aneh di sana. Sang psikiater heran, ada apa kok pasien sepertinya melihat sesuatu di kamar sana.

Pasien kedua, seorang wanita, begitu keluar ruangan selesai konsultasi, pasien juga menengok kamar kosong, lalu menggeleng gelengkan kepala dengan jelas. Seolah ada sesuatu yang membuatnya kaget dan heran. Sang psikiater mengamati dengan penuh tanda tanya.

Pasien ketiga, seorang wanita begitu keluar ruang periksa, juga menengok kamar kosong di seberang, dan menggeleng gelengkan kepalanya, seolah penuh dengan tanda tanya dan rasa kaget.

Sang psikiater, tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ada apa kok pasien pasien ini selalu menggelengkan kepala keheranan melihat ruang di depannya. Dia berdiri dan keluar mengecek ada apa di kamar seberang. Ternyata dia tidak menemukan sesuatu. Hanya ruang kosong. Dia berpikir. “Dasar orang gila, tak ada apa apa kok geleng geleng kepala”. Dia menggerutu sambil menggeleng gelengkan kepalanya sebelum kembali ke kamar periksa. Tiba tiba saja semua pasien yang sedang menunggu untuk konsultasi dengan sang psikiater, ramai ramai berdiri, berebut menengok kamar kosong itu. Lalu serentak menggeleng gelengkan kepalanya.\


Saya ingat kami tertawa tergelak gelak mendengar cerita Dr. Sus waktu itu. Namun insiden konyol di tahun 1998 itu tak pernah mengurangi rasa hormat dan kagum saya pada teman teman saya yang berkarier di bidang psikiatri. Saya selalu mengagumi mereka. Merekalah ujung tombak kesehatan jiwa di Indonesia. Hanya jika ingat cerita Dr. Sus dan kisah konyol di rumah sakit jiwa itu, saya tak bisa menahan geli dan seara tak sadar menggelengkan kepala saya. Edan ketularan psikiater aku. Moga moga teman teman psikiater saya tidak marah membaca cerita ini.

Salam damai, Ki Ageng Similikithi
Manila 10 Juli 2011.
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150252962418467

Bercinta dengan bidadari

Terpana saya mendengar ceritanya. Eyang Hargana, seorang dukun renta di kampung Serengan Solo. Malam Anggoro kasih, tahun 1967. Baru saja dia sembuh dari sakit, tak sadarkan diri beberapa hari. Sakit lever. Dalam pengembaraan mimpinya, dia bermadu asmara dengan seorang bidadari jelita. Dewi Supraba, yang konon tak pernah pakai beha atau celana dalam. Kenikmatan tiada tara. Namun dia ingin kembali ke mayapada. Demi tugas mulia membimbing para murid yang setia. Puluhan murid terlolong mendengar kisahnya. Mas Tarno, yang suka main perempuan, mendesah. “Enak enak karo widadari kok ndadak bali nang ngalam donya mikir murid gemblung ora nggenah”.

Tahun 1961, saya main sepak bola di alun alun Van de Paal, Ngampin. Saya tendang bola dari tengah lapangan. Slamet, si penjaga gawang melolong bingung. Tak mampu menangkap nya. Suara gemuruh bergema memenuhi lapangan. Seorang wanita cantik gemulai putih bersih menggapai tanganku. Dengan lembut menggamit ku ke luar lapangan. Bersamanya saya melayang bersembunyi ke balik awan. Kenikmatan luar biasa. Belum pernah rasa surge saya rasakan sebelumnya. Ah ternyata hanya mimpi. Eyakulasi pertama kali dan mimpi bersama bida dari.

Impian dan imajinasi klasik para pria Jawa. Bercinta dengan bidadari. Sang Raja pun berpacaran dengan Nyai Loro Kidul. Jumadi, teman saya di sekolah rakyat lebih realistis. Kalau bisa mimpi bercinta dengan Sisu, teman sekelas kami, akan berbahagia sekali. Impian itu tak pernah datang. Terlalu realistis untuk sebuah mimpi. Kalau mimpi bercinta, mimpilah dengan bidadari surga. Jangan mimpi bercinta dengan seorang tetangga.

Salam damai
Manila, 8 Juli 2011
http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939&sk=notes#!/note.php?note_id=10150250226018467

Thursday, June 30, 2011

Vaginoplasty

“ Lampu” teriak Dr. Pram memecah kesunyian di kamar operasi. Pagi itu di awal tahun 1974, beliau sedang melakukan operasi vaginoplasty di rumah sakit Kandungan dan Kebidanan Mangkubumen, Yogya. Terhenyak saya mendengar teriakannya. Saya masih ko-asisten mendapat tugas mengarahkan lampu ke daerah operasi. Cepat cepat saya benarkan arah sinar lampu. Perhatian saya terganggu karena permintaan mas Pur, fotografer yang bertugas mengabadikan jalannya operasi. Kami tidak begitu terkejut akan teriakan Dr. Pram, kebiasaannya memang begitu. Mas Pur, fotografer itu kadang2 terlalu aktif di hadapan ko as, melebihi para dokter asisten ahli.

“ Siapa yang menyiapkan pasien ini?”. Ganti pertanyaan ditujukan ke asisten operasi. Almahum Dr. Suro, sedikit terkejut. “Kok kurang bersih gimana sih ?”. Dokter Suro coba menjelaskan. “Tadi saya cek, rambutnya sudah bersih dicukur Dok”. “Mas, saya tidak tanya cukur pubes. Tetapi itu organ yang mau digarap kok masih kotor dan bau”. Tim asisten operasi semua terdiam. Tak ada gunanya mencari dalih. Dr. Suro dengan sabar membersihkan vagina dan daerah sekitar vagina.


Dr. Pram kemudian mulai operasi trans vaginal. Hati hati sekali memotong dan menyambung jaringan jaringan yang telah kendor. Pasien mengalami prolapsus vagina. Organ vagina melorot oleh karena otot2 dan jaringan penyangga sudah kendor. Pasien berumur sekitar lima puluh tahun. Isteri seorang pejabat di propinsi. Alasan operasi memang pertimbangan medis semata mata. Sambil operasi, Dr. Pras cerita, jika pasien ini adalah kasus ketiga yang dioperasi dengan teknik ini. Temannya di Denpasar telah melakukan operasi sebanyak tujuh kali. Mereka janji akan mempresentasikan hasilnya di konggres nasional tahun depan. Ada semacam pacuan di antara kedua sahabat itu. Operasi berjalan lancar, selesai dalam waktu dua jam.

Vaginoplasty adalah operasi yang bertujuan untuk merekonstruksi kelainan di organ vagina, penunjang vagina dan jaringan mulut vagina karena berbagai sebab (http://en.wikipedia.org/wiki/Vaginoplasty ). Yang paling sering adalah kelainan karena mengendornya jaringan otot vagina dan penunjang vagina, sehingga kantung vagina melorot turun. Jelas ini membawa dampak terhadap fungsi seksual, terhadap bentuk estetika vagina dan juga menyebabkan keluhan tidak enak untuk pasien. Sebagian besar alasan vaginoplasty adalah karena pertimbangan medis dan kesehatan.

Namun dengan berjalannya waktu dan membanjirnya budaya komersial, disertai meningkatnya tuntutan dan selera kaum wanita, semakin banyak operasi vagionaplasty yang tujuannya bukan semata mata untuk rekonstruksi medis, tetapi untuk tujuan estetika semata mata. Untuk memperbaiki penampilan vagina dan alat alat sekitar vagina, misalnya bibir vagina, jaringan klitoris. Yah mungkin biar penampilannya lebih cantik menawan dan memikat pasangan. Bahkan juga untuk menutup kembali selaput dara yang telah robek karena perkawinan. Ini semata mata hanya indikasi social, bukan medis. Karena ada permintaan pasar, tak ayal lagi pelayanan vaginoplasty estetika semakin populer, semakin mahal dan jadi simbol gengsi.

Vaginoplasty estetika populer dikalangan kaum wanita kelas atas yang berduit dan kalangan selebriti. Mungkin demi gengsi, atau demi meningkatkan popularitas di kalangan penggemar. Walau sudah kawin, hymen atau selaput dara yang sudah robek atau hilang, bisa ditautkan kembali atau ditambal dengan jaringan lain. Perawan kembali walau hanya secara artifisial. Dalam konteks non rekonstruksi, vaginoplasty juga bisa untuk meremajakan kembali jaringan vagina, mengembalikan kekencangan otot otot dan meningkatkan penampilan estetika dan kepuasan sang pasangan.

Tak dimungkiri, kini vaginoplasty seolah menjadi bagian budaya popular kelas atas, kalangan orang berduit dan selebriti. Bukan lagi hanya sekedar untuk memperbaiki disfungsi vagina karena sebab sebab medis seperti yang digambarkan dalam operasi di atas. Orang bisa minta dioperasi agar Ms. V bisa tersenyum manis menarik sang pasangan. Bisa untuk memperbaiki penampilan bibir vagina. Ada bibir yang mungkin terlalu besar, bergelantungan tak beraturan, bisa diperbaiki supaya bisa mungil dan menawan. Mungkin juga beralasan. Jika penampilan Ms. V tidak menawan, serong ke kiri, serong kekanan, dengan bibir bergantungan tak beraturan, bisa bisa sang burung tidak mau berkokok, mampir, apalagi masuk. Manusiawi lah.

Yang menjadi berlebihan karena kemudian ini dipromosikan sebagai salah satu simbul budaya pop kelas atas. Budaya kekinian yang mahal. Bayangkan bagaimana bangganya sang selebriti kita DP sesudah menjalani vaginoplasty selaput dara (http://kayosakti.blogdetik.com/2011/06/04/dewi-persik-perawan-lagi-biarpun-janda/). Mungkin bagi yang bersangkutan ini sebagai aktualisasi diri sebagai artis papan atas. Bahkan tripnya digabung dengan umroh, biar semakin afdol. Bagi sang produser, meningkatnya popularitas bisa untuk menggaet penggemar, menggaet pasar. Bayangkan bila image sang selebriti tersebar luas, wah Ms. V nya sudah melorot, sudah kendor, sudah miring sembilan puluh derajad. Jelas para penggemar lari. Sori mek sori sori. Ini harus dicegah secara proaktif, vaginoplasty, walau harus bayar milyaran.

Ketika saya omong omong dengan beberapa teman ahli kandungan dan kebidanan, menghadapi komersialisasi dan penyebarluasan image vagionaplasty ini di kalangan orang berduit dan selebriti papan atas, ada ada saja inovasi yang mungkin bisa dilakukan. Perlu langkah langkah untuk menyelaraskan (alignment) dengan merebaknya budaya korupsi, penyimpangan, politik uang di tanah air. Saya sarankan dokter dokter tersebut membuat inovasi teknologi dan kemitraaan (alliance) dengan pengusaha melalui mekanisme pasar. Sokur kalau bisa dipasarkan untuk ekspor. Salah satu inovasinya, bagaimana kalau dokter dokter itu bekerja sama dengan produsen jenang atau wajik. Entah jenang Kudus atau dodol Bandung, untuk menyubal Ms. V saat vaginoplasty biar tambah lekat. Atau kemitraan dengan pedagang rujak cingur, biar aromanya semakin aduhai dan menggoda.

Wah wah wah edan kabeh. Maaf malah ngelantur. Terlalu vulgar mungkin.

Salam damai

Ki Ageng Similikithi

Manila, 30 Juni 2011
(http://www.facebook.com/profile.php?id=772324939#!/note.php?note_id=10150244848488467)

Ciuman bibir

Terhenyak saya membaca tulisan di Kompas yang mengatakan bahwa banyak wanita Indonesia yang tidak tahu dan tidak merasakan puncak kenikmatan hubungan seksual (orgasmus) dengan pasangannya (http://health.kompas.com/index.php/read/2011/06/26/22443255/Banyak.Perempuan.Tak.Tahu.Orgasme). Tulisan semacam ini memang sudah banyak di terbitkan di kepustakaan. Tetapi kali ini berdasarkan pengalaman yang diungkapkan oleh seseorang yang sangat banyak mengamati dan mendalami permasalahan hubungan pria dan wanita di dunia nyata, Liany Hendranata. Pandangannya bukan semata mencerminkan pandangan teori dunia akademis, tetapi mencerminkan apa yang banyak dialami wanita di dunia nyata.

Saya bukan ahli dalam seksologi. Juga bukan marital counselor. Tetapi sejak tulisan ringan tiga tahun lalu tentang ciuman pipi (http://www.facebook.com/notes/ki-ageng-similikithi/tulisan-lama-3-tahun-lalu-cipika-cipiki-di-kolom-kta-kompas/10150243731363467) banyak komentar dan masukan yang berkaitan dengan ciuman bibir dan masalah kepuasan puncak hubungan seksual. Karena saya bukan ahlinya, dan saya juga tidak mengkhususkan tulisan saya dalam hubungan seksual , maka komentar dan masukan tersebut tak menjadi bahan ulasan lebih lanjut. Tetapi membaca pendapat Liany Hendranata dalam rubrik kesehatan Kompas tadi, saya ingin ungkap beberapa kasus, mungkin bermanfaat sebagai masukan, renungan dan bahan diskusi. Terutama untuk kalangan wanita mengenai masalah ciuman bibir dan puncak kepuasan seksual.

Coba kita simak kasus kasus dibawah ini. Silahkan komentar dan bagi bagi pengalaman, analisis dan pandangan. Bukan dari sisi ahli, tetapi dari sisi pelaku yang mengalami sendiri. Kasus kasus ini datang lewat dunia maya mengomentari tulisan tulisan di atas.

Kasus pertama.
Seorang wanita karier, pendidikan tinggi dari kelompok menengah, umur sekitar empat puluh tahun. Berkeluarga dengan suami seprofesi, selisih umur kira kira sepuluh tahun. Suami pilihan sendiri dan ada masa pacaran beberapa tahun sebelum kawin. Putra tiga, yang nomer satu sudah hampir masuk universitas. Karier profesi berjalan bagus dengan jejaring luas. Mengatakan bahwa selama lebih lima belas tahun terakhir semenjak kelahiran putri pertama tidak pernah merasakan puncak kenikmatan dalam hubungan seksual. Juga tidak pernah lagi melakukan ciuman bibir bersama sang suami seperti saat pacaran dan saat awal perkawinan. Bahkan mengatakan sudah lupa cara dan rasa berciuman bibir. Hubungan seksual dilakukan hanya sekedar menjalani tugas sebagai isteri. Hubungan dengan suami dingin karena sebab yang tak diungkapkan. Tak pernah mengungkapkan masalah ciuman dan hubungan seksualnya dengan sang suami. Tak pernah melakukan hubungan dengan orang lain, meski punya kawan dan jejaring luas.

Kasus kedua
Seorang wanita muda dengan pendidikan tinggi, umur awal tiga puluhan, baru merangkak membina karier profesi. Juga mempunyai usaha swasta. Berputra tiga dan bersuamikan seorang pengusaha muda. Belum mapan benar. Suami sangat sibuk dalam berusaha sehingga nampaknya waktu dan perhatian untuk isteri dan keluarga tidak optimal. Dia mengatakan sudah 7 tahun lebih tidak pernah melakukan ciuman bibir. Masih berhubungan badan tetapi kurang optimal karena kesibukan suami. Paling banter sebulan sekali dua kali. Masih bisa menikmati puncak kenikmatan seksual, tetapi sudah menurun. Tidak seperti waktu awal perkawinan. Hubungan seksual hanya cepat cepatan asal puas. Asal cepat selesai. Ingin sekali merasakan kembali berciuman bibir, tetapi tak sampai hati mengatakan keinginanya ke sang suami. Walaupun berkomitmen sangat kuat untuk tetap mendampingi suami, dia merasa rasa cinta dan simpati ke suaminya mulai menyurut. Bertransformasi menjadi rasa kasihan. Berkeingian kuat untuk menikmati kenikmatan berciuman bibir, ingin menikmati kembali cumbu rayu, dan ingin lebih menikmati puncak kepuasan seksual.

Kasus ketiga
Seorang ibu rumah tangga, umur lewat pertengahan lima puluhan, pendidikan menengah. Suami selang umur 3 tahun lebih tua. Pernah punya usaha, ditinggalkan karena mengikuti kesibukan suami. Berkecukupan dengan status sosial bagus. Tak banyak kawan dan jejaring social. Putra 5 sudah berkeluarga semua. Suami dikenal sejak mahasiswa dan pacaran beberapa tahun sebelum kawin. Ciuman bibir masih dilakukan dengan hangat walaupun tak membara seperti di jaman pacaran dan waktu masih muda. Masih menikmati hubungan seksual dan puncak kenikmatan seksual, walau tidak sesering sewaktu masih muda. Puncak kenikmatan seksual dalam berhubungan dinikmati semenjak pacaran dengan sang suami. Sekarang hanya seminggu sekali atau lebih jarang. Sejak awal perkawinan selalu berhubungan badan dengan suami setiap hari, atau paling istirahat sehari dalam seminggu. Komunikasi dengan suami cukup tebuka mengenai masalah seksual walau tidak sampai vulgar.


Apakah yang bisa dipetik dari ketiga kasus di atas ?

Masalah kepuasan seksual dan status hubungan pasangan suami steri sangat kompleks dan multi dimensi. Tak bisa disangkal jika hubungan emosional dan keharmonisan hubungan antara masing masing anggota pasangan sangat menentukan. Ada hubungan dekat antara kebiasaan berciuman bibir, ber mesraan dan bercumbu rayu antara kedua anggota pasangan dengan kemampuan untuk mencapai puncak kenikmatan seksual. Ketidak mampuan melakukan ciuman bibir mungkin bisa menjadi tanda awal munculnya masalah hubungan seksual dan masalah keharmonis hubungan ke dua pasangan.

Juga ada hubungan dekat antara kegagalan berkomunikasi antara kedua anggota pasangan dengan meningkatnya masalah hubungan seksual yang mulai dengan masalah ciuman bibir. Saya merasa kaget di alam keterbukaan komunikasi saat ini, masih banyak pasangan yang tak mampu mengembangkan budaya keterbukaan dalam kebiasaan berciuman dan berhubungan badan.

Tak ada gunanya buka buka jika tidak disertai dengan cumbuan cumbuan mesra. Jangan membiasakan diri untuk buka buka, asal cepat terpuaskan. Rebat cekap nimas. Itu tak bertanggung jawab.

Sekali lagi, saya bukan ahlinya. Ini pandangan awam saja. Pandangan anda berdasarkan pengalaman masing masing akan sangat berharga demi pembaca yang lain. Masihkan anda berciuman bibir ? Masihkah anda menikmati puncak kenikmatan seksual ?

Bersatulah para wanita, untuk menikmati cumbu rayu, untuk menikmati ciuman bibir, untuk menikmati puncak kepuasan seksual, dengan orang yang anda cintai. Hidup adalah pilihan. Bukan takdir dan suratan tangan.



Salam sejahtera

Ki Ageng Similikithi

Manila, 29 Juni 2011.

Kisah perjalanan anak manusia - cerita dari seberang lautan

Sudah beberapa hari hujan angin mendera tanpa ampun. Hari Jumat kemarin transportasi Manila lumpuh karena banjir. Terpaksa akhir pekan hanya tinggal di rumah. Kadang menghabiskan waktu, melanglang jagad maya lewat internet. Jam sepuluh malam tadi ada titik merah di kotak chatting face book. “Selamat malam Ki. Happy week end”. Pesan dari Yulia yang tinggal di HongKong. Saya mengenalnya sejak beberapa minggu lalu. Dia bekerja di Hong Kong sudah enam tahun. Saya menjawab singkat “Terima kasih, tak ada happy week end. Typhoon dan banjir”. “Typhoon dari Filipina sudah sampai di HongKong siang tadi Ki. Hanya lewat sebentar. “

Kemudian kami terlibat dalam percakapan maya yang asyik.. Dunia maya memberi kesempatan banyak orang untuk saling menyapa dan memberi salam, di manapun mereka berada. Semua serba cepat. Kadang bisa lihat foto kawan diseberang. Edan, kemajuan teknologi tak terbayangkan. “Jika punya waktu banyak, saya ingin cerita agak panjang ya Ki. Tentang pengalaman hidup ” “Silahkan, terima kasih kepercayaanya. Saya menjadi pendengar setia”.

Paragraf demi paragraf pesannya datang mengalir. Kadang tergangggu hubungan internet. “Keluar masuk secara teratur Ki”. Ceritanya deras dan teratur. Saya menyimak kalimat demi kalimat. Tak menyela sedikitpun. Di akhir cerita, saya bertanya apakah kisahnya dapat dirangkum dan dinaikkan ke internet. Mungkin bisa jadi bahan pemikiran pembaca. Yulia sepakat. Nama dan tempat disamarkan. Kami sempat bertukar pikiraan. Konsultasi lah istilah gagahnya. Edaaan ah, jadi konsultan hubungan asmara dunia maya.

Pagi ini saya buka rekaman catatannya. Agak kesulitan merekonstruksi jalan cerita.. Biasanya dalam format wawancara, ada pertanyaan dan ada jawaban. Tetapi ini menampung cerita lewat pesan maya. Saya susun kembali dengan hati hati, inilah ceritanya.

Setelah lulus SMA, Yulia diajak paman ke Jakarta. Paman waktu itu lagi sukses sebagai penata artistik film hingga bisa meraih piala Citra. Jangan disela ya Ki, biar saya selesaikan dulu ceritanya. Sambil les komputer Yulia melamar pekerjaan dan diterima di satu perusahaan yang waktu itu lagi buka banyak restoran. Yulia bekerja di salah satu restoran milik perusahaan tersebut, di Jakarta. Saat kerja di sana Yulia bertemu dengan seorang pejabat yang menjadi salah satu wakil pimpinan instansi penting di bidang perhubungan. Namanya pak Rasid.

Pak Rasid sudah punya isteri dan lima anak sebenarnya. Tetapi singkat cerita Yulia nikah sama dia di tahun 1992. Pak Rasid cinta setengah mati sama Yulia. Dia seorang anggota militer yang waktu itu diperbantukan ke instansi sipil di mana dia bertugas. Keluarganya semua tahu, juga anak anaknya, kalau pak Rasid menikahi Yulia. Isteri pertamanya menderita sakit kanker leher rahim, sehingga tak bisa lagi melayani suami. Bisa dimaklumi.

Keberuntungan datang bertubi semenjak perkawinan kami. Sebulan setelah nikah dengan Yulia, pak Rasid di promosikan menjadi kepala kantor cabang di Jakarta. Jabatan barunya bisa dikatakan lebih basah saat itu. Baru setahun di sana, dipindah ke Kepala Bagian Perijinan di kantor propinsi. Promosi yang luar biasa. Semula Yulia tinggal bersama pak Rasid di Jakarta. Tetapi kemudian pindah ke Tangerang, dekat dengan rumah orang tua Yulia.. Orang tua Yulia punya toko di Tangerang. Kami tidak dikaruniai anak. Sesudah dua tahun perkawinan, ternyata baru saya tahu kalau suami gak bisa lagi punya anak karena sudah di vasektomi, setelah kelahiran anaknya yang ke lima. Isteri sama anak anaknya tinggal di Bandung waktu itu. Yulia menjalani rumah tangga dengan pak Rasid selama empat belas tahun. Pisah di tahun 2006. Banyak ceritanya. Ada pertanyaan Ki, kok diam saja ?

Pak Rasid datang dari keluarga terpandang di Bandung. Saudaranya banyak yang menjadi pejabat tinggi, termasuk di militer. Keluarganya juga banyak yang jadi pengusaha. Hubungan Yulia dengan keluarga pak Rasid baik baik saja. Keluarga besarnya menerima kehadiran Yulia. Selama jadi isterinya, Yulia yang selalu di ajak kemana mana. Isteri pertamanya sudah nggak mau diajak. Pak Rasid tinggal sama saya di Tangerang, kalau anak anaknya ada perlu, mereka akan tilpon, baru pak Rasid pulang ke Bandung. Anak anaknya semua sudah sukses.

Pak Rasid terbiasa hidup di dunia keras sebelum menduduki jabatannya saat itu. Sebelum nikah sama Yulia dia suka mabuk, judi dan main perempuan. Tenang Ki, saya masih cerita ini. Setelah nikah dia berobah total. Tentu dengan perjuangan dan pengorbanan berat yang mesti Yulia lalui. Pak Rasid sangat temperamental, bertahun tahun Yulia bersabar menerima pukulan, hajaran dan siksaan hanya karena masalah masalah yang sangat sepele. Bahkan terakhir dia mau bunuh Yulia dengan gunting yang sudah siap dia tancapkan ke perut Yulia. Saya mempertahankan nyawa saya walau sampai harus berdarah darah. Yulia sebenanrya sangat berharap dia dapat berubah dan tidak menyakitinya lagi.

Pak Rasid selalu bilang, kalau dia memanggil atau membutuhkan Yulia, nggak peduli apapun harus cepat datang dan melayani. Jika tidak dia akan cepat emosi dan turun tangan, Jika tilpon ke rumah yang angkat tilpon bukan Yulia, dia akan marah besar. Dan saya harus selalu siap menerima kemarahannya dan kekerasannya. Suatu saat Yulia diajak ayah untuk nyekar ke makam kakek, saat pak Rasid sedang ke Bandung. Kebetulan dia tilpon ke rumah, saya nggak ada, waktu pulang dia ngamuk dan marah besar. Semua barang dilemparkan ke saya. Saya dipukuli habis habisan. “Kamu melanggar aturan suami. Ijin nengok orang tua kok malah nglayap ke mana mana”. Saya tak pernah menceritakan kekasarannya ke orang tua saya.

Suatu malam setelah mengalami siksaan, ketika dia lengah saat shalat subuh Yulia kabur dari rumah lari ke rumah orang tua. Saya sujud sama orang tua dan menceritakan semua masalah yang Yulia alami selama empat belas tahun. Saya tidak pernah mengadu ke orang tua sebelumnya. Singkat cerita Yulia mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama. Gugat cerai dikabulkan pengadilan setelah satu tahun. Paman Yulia ada yang bekerja di KUA, beliau yang membimbing saya di pengadilan agama. Yulia kemudian lari jauh ke HongKong sampai sekarang karena mantan suami mengancam kalau ketemu dimanapun akan dibunuh.

Saya sudah sering bilang sama dia tolong jangan sering sakiti saya. Kalau habis kesabaran Yulia tak ada celah sedikitpun untuk dia. Selama ini Yulia selalu memaafkan dia. Terakhir saat Yulia memutuskan cerai, dia sujud di kaki dan menangis sejadi jadinya. Tetapi saya sudah tutup semua celah untuk dia keluar masuk.

Jika pas nggak marah dia cinta setengah mati sama saya. Semua permintaan selalu diberikan. Kami sering pelesiran, banyak kali ke Bali. Dia sangat menyayangi Yulia. Saya hanya minta jangan disakiti. Secara ekonomi, dia tidak ngerem, apa saja selalu diberikan untuk memanjakan Yulia. Jika lagi baik, apapun yang saya ucapkan akan segera dia turuti. Beli harta apapun pasti atas nama Yulia. Pada saat cerai di tahun 2006, dia meninggalkan dua rumah dan tanah untuk Yulia. Ki habis ceritaku. Ki saya lega bisa cerita tentang kisah saya. Masih membaca?


Itulah yang diceritakan Yulia suatu semalam lewat chatting. Semua jelas dan gamblang walau hanya dari satu sisi. Beberapa saat saya kemudian bertukar pesan dengannya. Tak ada pretensi untuk menggurui. Tidak sok bijak menasehati. Yulia telah menjalani kisahnya selama empat belas tahun. Banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik. Dia pasti bisa memutuskan yang terbaik untuk perjalanan ke depan.

Banyak wanita mempunyai kebahagiaan semu, berkeinginan memperbaiki tabiat dan kelakuan hitam sang pasangan melalui perkawinan. Berkeinginan berkorban dan menderita fisik ataupun emosi, demi kebahagiaan pasangan. Itu hanya masokisme. Hidup bukanlah hanya untuk berkorban, untuk menderita demi pasangan. Hidup adalah perjalanan bersama. Bahagia bersama. Berjuang dan berkorban bersama, demi masa depan bersama dengan orang yang dicintai dan mencintai.

Akhirnya Yulia cerita akan kembali ke Indonesia tahun depan. Ingin memulai lagi hidup baru, bersama pasangan yang dikenalnya di dunia maya. Dia baik sekali , pesan pesannya selalu lembut di dunia maya. Dunia maya sering mempertemukan pasangan dan kawan hidup.

Kebahagiaan adalah pilihan dalam perjalanan hidup yang panjang. Jika salah langkah suatu saat orang harus berani memutuskan kembali ke jalan semula. Dan meneruskan perjalanan selanjutnya. Hidup bukan sekedar berkorban sia sia, bukan sekedar menderita. Banyak dari kita yang tak berani mengambil keputusan untuk kembali ke jalan semula.



Salam damai, hidup adalah karunia yang harus di dinikmati dan dijalani bersama seseorang yang kita cintai.



Ki Ageng Similikithi

Manila 26 juni 2011.

Friday, March 25, 2011

Bulan Pakai Payung


Siang itu terasa gerah dan panas. Baru saja selesai tugas di poliklinik. Akhir musim hujan di tahun 1974. Saya sedang tugas di rumah sakit Tegalyoso Klaten waktu itu. Perasaan selalu gelisah semenjak kematian pasien emboli paru beberapa hari lalu. Ceritanya pernah saya ungkapkan di Koki (27 September 2007). Mengingatkan saya akan tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Tertinggi di antara negara2 tetangga dan termasuk urutan tinggi di Asia . Sebagian karena penyakit kehamilan dan gangguan melahirkan. Tragis menyedihkan.

Ingatan saya melayang ke gadis MUR yang saya kenal beberapa waktu lalu. Perkenalannya begitu tak terduga. Tiba tiba saja dia muncul dari balik pintu ketika saya mengantar kakaknya ke rumah pondokan. Saya begitu terpana dan selalu mengenangnya. Pernah saya ceritakan di kolom ini juga. Sejak itu saya rajin menulis surat dan menemuinya. Belum ada ikatan apa apa. Baru tahap pendekatan (PDKT) atau lebihnya ya pacar belum tetap. Baru sampai tahap pegang pegang jari tangan. Namun hati sudah selalu bergetar. Kontak fisik belum merambah ke atas maupun ke bawah. Demarkasi jelas. Hanya hati yang berdesir dengan perasaan melayang layang.

Sejak kematian pasien karena emboli paru beberapa hari lalu, ingatan saya tak pernah lepas dari gadis itu. Ingin menemuinya. Seolah takut sesuatu terjadi padanya. Seolah takut kehilangan dia. Ingin rasanya menepis pikiran saya. GR toh belum ada hubungan apa apa. Belum terucap kata kata cinta. Status hubungan belum tetap. Seperti pegawai negeri, selalu harus mulai dengan status tidak tetap atau honorer. Kalau perlu ber tahun tahun, dengan keharusan kesetiaan melebihi pegawai yang sudah tetap. Getaran getaran hati ini layaknya ungkapan kesetiaan. Tetapi lain dengan kesetiaan pegawai tidak tetap. Pacaran belum resmi, jalan ke sana masih remang remang. Baru pegangan jari. Pegang pegang jari dan tangan bukan jaminan pacaran.

Tak ada tugas lagi sesudah poliklinik tutup. Ada ko as lain yang tugas jaga. Singkat kata kemudian saya sudah sudah berada dalam bis menuju Yogyakarta . Lupa nama bisnya. Tetapi masih ingat karcisnya jurusan Yogya, Solo, Karangpandan. Waktu menunjukkan jam satu siang hari. Hawa panas tak terasa lagi. Tertutup hati yang berdesir membara. Rasa melayang akan ketemu dia. Gadis manis dari balik pintu. Ingin menatap wajahnya yang redup. Senyumnya yang lepas menghanyutkan. Seandainya bisa menggapainya. Membelainya. Memeluknya. Aaaaah lamunan melayang kemana mana. "Bausasran mas. Bausasran. Turun cepat" Tiba tiba si kenek berteriak parau. Nggak tahu mengapa dia harus berteriak menghabiskan suaranya. Mengeringkan pita suaranya. Tak perlu sebenarnya. Kenek malang itu mungkin juga nggak tahu kenapa harus berteriak. Bagian dari kebiasaan saja. "Pimpinan partai boleh teriak. Pejabat bisa pidato lantang. Mengapa saya nggak boleh teriak. Saya ini penguasa nomor dua dalam bis tua ini". Mungkin saja kenek itu berpikir demikian, melihat saya nggak senang dengan teriakannya.

Saya bergegas turun dari bis tua yang suaranya mengaum karena mesin yang memanas.. Waktu menunjukkan jam dua kurang. Panas sedikit berkurang. Naik becak ke jalan Tanjung, dua puluh lima rupiah. Tak ada tawar menawar. Mau jumpa gadis idaman, pantang tawar menawar dengan pak becak. Saya ini mahasiswa. Tas berisi beberapa catatan dan pakaian dalam saya gantungkan di pundak. Pohon jambu di rumah pondokan MUR nampak hijau rimbun. Teringat beberapa minggu lalu, kami selalu duduk di bawah pohon itu berdua setiap akhir pekan. Hanya berbisik dan bercerita ringan.

"Wah nak, MUR belum pulang sejak pagi. Katanya kuliah sampai sore. Ngebut mau ujian" . Ibu kost yang sabar dan baik hati menyambutku ramah. "Ditunggu di dalam saja Nak". "Terima kasih Bu, saya tunggu di luar saja". Kecewa sekali rasanya. Bukan salah dia, bukan salah saya. Keadaanlah yang menyebabkan. Tak bisa kontak tilpun sebelumnya. Saya menunggu di kerindangan pohon itu. Di bangku kayu di mana kami berdua selalu duduk berdampingan di akhir pekan dalam bulan bulan terakhir.. Pikiran saya melayang membayangkannya. Jika dia datang akan kubelai tangannya. Jika dia tersenyum, akan saya sentuh pipinya. Duduk sendirian di bawah pohon jambu. Angin semilir ringan. Rasa katuk kadang datang menyelinap.

Sesaat nampak di kejauhan. Seorang gadis muncul dari persimpangan jalan. Berjalan pelan memakai payung warna merah merona. Matahari condong ke Barat. Angin bertiup pelan. Rambutnya berderai terterpa angin. Rok panjangnya ikut melambai berirama. Dengan langkah langkah ringan. Debu pasir ikut terbang menari bersama angin. Yogya memang berdebu di musim kering. Debu berpasir dari Gunung Merapi. Wajah ayu dibawah payung merah itu. Mungkin dia sudah melihat kalau saya menunggunya. Senyumnya lepas memukau. Saya berdiri memandangnya terpana dari balik pagar. Di bawah pohon jambu.

Kusambut tas kuliahnya, saya letakkan di bangku. Sejenak tak sempat berucap apa apa. "Hai". "Sudah lama KI ? Maaf ya saya kuliah sampai siang. Pulang sama Mica tadi". Tak mampu berkata, saya tertegun memandang wajahnya. Cantik mempesona. Pipinya memerah tertimpa panas. Indah bagai rembulan purnama. Beberapa saat saya hanya memandangnya. Tak sanggup membelai tangannya. Tak mampu menyentuh pipinya. Wajahnya begitu bersih penuh pesona. Bagai rembulan. Rembulan di siang hari. Dalam panas mata hari. Bulan pakai payung. Betapa bahagianya jika saya diberi kesempatan menemani dalam perjalanan perjalanan di panas siang hari. Dalam kesejukan kesejukan malam yang indah. Dalam taburan bulan purnama.

Ah lamunan sekilas tiga puluh lima tahun lalu selalu saja datang. Menyampaikan salam. Mengantarkan senyuman. Senyum yang abadi dalam kenangan. Bulan pakai payung.

Ki Ageng Similikithi



(Dimuat di Kolom Kita Kompas Cyber Community 10 Sept 2008)

Saturday, January 22, 2011

Sekda

“Nama saya Dawud, ndoro”. Jawabnya begitu lugu dan pasrah. Pak Dawud tak tahu persis siapa yang berdiri gagah didepannya. Tinggi besar dan berpakaian safari dengan topi warna biru. Pak lurah yang begitu dihormati di desa, kok sampai mencium tangan. Percakapan singkat ini terjadi di pasar Ngampin di pertengahan tahun enampuluhan. Pak Dawud adalah petugas kebersihan yang setiap pagi selalu disiplin membersihkan sampah di pasar. Pekerjaan yang diwariskan oleh bapaknya sejak awal kemerdekaan.

“ Saya ini Sekda pak Dawud. Sampeyan yang kebagian tugas membersihkan pasar ini ya? ”. Pak Dawud semakin keder, tak tahu apa dan siapa itu Sekda. Dia juga tak paham apa itu Sekretaris Daerah. Pasti lebih tinggi dari Bupati. Pas pak Bupati datang dulu, pak Lurah tidak sampai mencium tangan, ini kok begitu serius mencium tangan Sekda. Rasa kedernya pelahan berubah menjadi takut, dia tadi lihat pak Sekda menyepak keranjang warung mak Mak’i yang berjualan pecel semanggi. Geram sebenarnya dia, tadi pagi keranjang itu sudah dikosongkan. Tetapi tak bisa marah begitu saja dia. Pagi2 tadi dia sudah dapat sarapan pecel semanggi sama lonthong yang terbungkus daun bambu itu. Gratis.

“ Kulo ndoro, ndherek duka “. Diambilnya keranjang sampah yang disepak pak Sekda tadi. Tak berani dia menatap wajah pak Sekda. Ditegur lurah saja rasanya sudah terkencing kencing, apalagi ini narendro gung binathoro kabupaten. Pak Sekda rupanya belum mau melepasnya. Menanyakan apa isi keranjang yang dijinjing di tangan kiri. Pak Dawud menjelaskan, dia juga membawa jambu kluthuk merah, hasil dari halaman rumahnya di Lonjong. Pak Sekda merogoh saku dan memberikan beberapa lembar uang ke tangannya. “Saya bawa saja untuk oleh oleh pak Dawud”.

Pak Dawud mengucapkan terima kasih lirih, tak berani dia menghitung uang tadi. Pak Sekda kemudian minta diantar ke sumur yang menjadi kamar mandi umum di sebelah barat pasar. Buang air. Sumur tempatnya mbah Amat Bakri. Tak banyak yang dibicarakan kecuali petuah agar pak Dawud kerja dengan baik. “ Sing temen le nyambut gawe. Sing resikan pak Dawud”. Sampai dirumah siang harinya, pak Dawud begitu terkejut. Lembaran uang yang diberikan oleh pak Sekda tadi banyak sekali. Sepuluh rupiah. Biasanya untuk jambu sekeranjang kecil itu hanya bisa membawa pulang uang seringgit. Itupun kalau laku. Kunjungan Sekda membawa berkah hari itu buat pak Dawud dan keluarganya. Dia membayangkan Sekda pasti priyayi ngaluhur gung binathoro.

Kontak saya dengan pak Dawud sangat terbatas. Orangnya sangat lugu dan pendiam. Dia punya anak satu waktu, Trisno namanya. Adik kelas beberapa tahun di bawah saya di Sekolah Rakyat Ngampin. Umur pak Dawud waktu itu sudah mendekati enampuluh, sudah mulai renta. Istrinya kelihatannya masih jauh lebih muda, mungkin sekitar tiga puluhan. Cerita tentang pak Dawud lebih lanjut saya peroleh ketika dia sering bertandang dan ngobrol dengan tetangga sebelah kebun kami, mbah Sem. Mbah Sem berdua juga sudah renta. Mereka berdua dan pak Dawud adalah jemaah gereja yang taat. Anak anak Mbah Sem, semua bekerja di sektor formal, guru, pemerintah daerah, perawat dan sebagainya. Mbah Sem adalah tokoh panutan dalam membesarkan anak, bagi pak Dawud.

Suatu sore saat saya main di tempat mBah Sem, saya mendengar percakapan mereka. Pak Dawud memberi tahu jika istrinya hamil lagi. Mbah Sem komentarnya ‘Wah isih ampuh sampeyan”. Pak Dawud kemudian cerita panjang lebar jika anaknya kelak tidak akan kerja di pasar lagi. Dia ingin anak anaknya menjadi orang, nayoko projo. Jangan hanya jadi tukang sampah pasar. Ingatannya selalu melayang ke idolanya, bapak Sekda. Malam Jum’at sebelumnya, mbah Dawud tirakat di jaratan, kuburan tua Kyai Pojok di Ngampin. Dia mendapat wangsit jika anaknya kelak pasti laki laki dan akan diberi nama Sekda Dawud.

Dalam benaknya jika anaknya kelak diberi nama Sekda pasti akan diberi kekuatan mukjijat luar biasa. Jika bayi bayi umumnya hanya mampu menggerakkan kaki bergolek ke kiri dan ke kanan di tempat tidur, bayi Sekda pasti sudah mampu menyepak keranjang. Jika bayi bayi umumnya akan ngompol di tempat tidur, bayi Sekda pasti curah air kencingnya bisa menyemprot berpuluh meter. Bisa mengganggu tetangga jika tidak hati hati. Jika bayi umumnya malam malam menangis, bayi Sekda pasti bisa terbahak bahak. Bahkan jika bayi umumnya makan bubur halus, bayi Sekda, pasti sudah lahap memakan jambu kluthuk merah, seperti yang dibeli pak Sekda. Bayangannya tentang Sekda begitu membubung. Kebahagiaan luar biasa.

Saya mendengar nasehat mbah Sem. Terima saja apa adanya. Nggak usah dengar wangsit macam macam. Tetapi idola seorang Sekda tak pernah lepas dari impian pak Dawud. Narendro gung binathoro, manggalaning projo. Dia benar benar ingin anak anaknya keluar dari lingkaran kemiskinan. Impian alamiah banyak orang. Namun di jaman itu impian impian itu sering dihujat sebagai perjuangan kelas yang diharamkan di jaman Orde baru.

Tahun berganti tahun. Masa berganti masa. Saya tidak mengikuti perkembangan yang terjadi. Lima puluh tahun telah berlalu. Anak bungsu pak Dawud tidak diberi nama Sekda, tetapi Yunus. Hari ini ketika saya ingat kisah itu, saya mencari tahu di mana Yunus dan kakaknya Trisno. Saya tertegun ketika diberi tahu adik saya di Ambarawa, jika Yunus sudah meninggal bertahun lalu. Dia meninggal dalam usia muda di umur sekitar tiga puluhan. Yang lebih masygul, dia bekerja sebagai buruh mengangkat barang, mengangkat hasil bumi. Impian pak Dawud tak pernah tercapai sampai akhir hayat dan sampai anak yang diharapkan meninggal. Kami tidak tahu Trisno bekerja di mana. Moga moga bisa memenuhi keinginan bapaknya.

Dalam hiruk pikuk dunia politik masa kini, saya tertegun membaca berita korupsi yang banyak melibatkan aparat dan pimpinan pemerintahan. Di mata orang kecil seperti pak Dawud, para pejabat pemerintahan layaknya seperti dewa idola tanpa cacat. Percaya sepenuhnya tanpa reserve. Kisah tragis ini hanyalah catatan kecil agar beliau beliau tidak menyunat bantuan untuk orang miskin. Subsidi beras untuk orang miskin (raskin) kok ya ada yang tega menilep. Ingatlah orang orang seperti pak Dawud yang begitu membayangkan tugas mulia sang Sekda.

Salam sejahtera

Ki Ageng Similikithi

Demo wudo

Musim kering tahun enam puluh enam. Malam Jum’at yang cerah. Langit bertabur bintang. Kami bertiga, bersama Diono dan Raden Mas Martalin menghadap seorang tokoh spiritual di kampung Kemlayan, Solo. Kami masih duduk di kelas satu SMA. Santo Josef. Solo dalam kondisi tak aman waktu itu. Bentrok antar warga selalu terjadi di jalan jalan, dengan korban tidak sedikit. Kami tak ikut kelompok mana, tetapi pernah beberapa kali terjebak di antara dua kelompok yang bertikai. Di pasar Widuran, di muka kebon binatang Sriwedari, dan terakhir di alun alun Utara. Hanya sepele, karena kami tak dapat menjawab yel yel mereka, hampir saja dipukuli ramai ramai.

Banyak pemuda yang kemudian ambil jalan pintas. Mencari ilmu kebal. Gemblengan. Kami berempat, dengan Ho, minggu sebelumnya telah menghadap Eyang ini. Singkat kata mohon kekuatan luar dalam, menghadapi segala rintangan di jalan. Syaratnya gampang. Diberi mantera yang ditulis dalam secarik kertas, lalu puasa mutih selama tiga hari tiga malam. Artinya hanya makan nasi putih, sepiring kecil sehari sekali, tanpa lauk, tanpa garam. Juga hanya boleh minum air putih. Hari pertama mutih, Ho langsung keok. Pas pelajaran olah raga dia berhenti. Kami antar pulang ke rumah. Mami dan kakak kakaknya marah marah. Jangan ikut ikutan Ki pakai gemblengan. Padahal yang punya ide awal ya si Ho sama Martalin.

Malam itu kami mendengarkan petuah dari Eyang. Samar samar masih ingat petuahnya. Anakmas ini para satria muda, harus berpegang pada tuntunan jiwa yang teguh. Jangan seperti pemuda jalanan suka kelahi beramai ramai. Nggak begitu konsentrasi saya waktu itu. Hanya mendengarkan dengan sabar semua petuah saktinya. Umur Eyang mungkin pertengahan tujuh puluhan, masih jelas kata katanya. Hanya agak renta, kalau ke belakang harus di tuntun salah seorang pembantu yang berfungsi sebagai punakawan. Ada beberapa anak muda yang hadir bersama waktu itu. Kami bertiga mungkin yang paling muda. Saya mulai gelisah, takut pulang kemalaman. Janjinya sesudah selesai mutih tiga hari kami akan segera di beri wasiat kekebalan tubuh. Ini kok malah cerita tentang satria muda, satria piningit, wahyu ketiban ndaru segala. Satria dari mana ? Saya saja masih kesulitan menyesuaikan tinggal di kota sejak pindah dari desa di Ambarawa. Saya hanya terdiam mendengar petuah petuah beliau. Manut saja, satria sokur, enggak ya nggak apa apa, sing penting slamet.

Lewat jam sembilan belum juga selesai. Malah petuahnya agak melebar. Tengah malam nanti kami diajak tirakatan kungkum di Bengawan Solo. Tapa wuda. Jangan takut anakmas. Pasti sampeyan akan mendapat mukjizat. Minggu kemarin, saya tirakat wudo dan kungkum di bengawan ditemui seorang bidadari sangat cantik. Kami bergembira ria dalam taman yang indah sekali. Makanan begitu berlimpah ruah di sana. Saya lihat Martalin, begitu terpukau dan antusias. Wah sendika saya ikut Eyang nanti. Sementara Diono, kelihatan bimbang, menengok ke saya. Dengan lirih sekali, saya mohon maaf, saya harus pulang sebelum jam malam. Waktu itu jam malam mulai jam sepuluh. Jangan ragu anakmas, tak ada yang bisa melihat sampeyan. Saya mulai bergeming, syaratnya minggu lalu hanya mutih 3 hari, kok sekarang ditambah tirakatan kungkum wudo di bengawan.

Saya sangat ragu ceritanya tentang pertemuan dengan bidadari. Bidadari mana pilih lelaki yang nuwun sewu sudah renta, buang air kecil pun harus dibantu sang punakawan ? Jamane jaman edan, bidadari pun pasti akan pilih yang masih jos membara, sokur kalau punya kekuasaan, paling tidak Sekda, Bupati atau anggota DPR. Bidadari tak akan tertarik sama lurah atau carik. Mereka belum tingkatnya mendapat wahyu kahyangan. Bidadari kan dulunya juga dari manusia biasa.

Melihat keraguan saya, Eyang akhirnya mengijinkan saya undur diri duluan. Saya dan Diono diberi minum air putih yang telah diberi mantera. Tidak lupa diberi jimat yang harus selalu saya pakai. Martalin tinggal dan akan mengikuti tapa wudo di bengawan. Katanya singkat, sampeyan berdua belum dapat wahyu.

Lebih empat puluh tahun berlalu. Saya bertemu dengan teman teman kelas satu SMA, lebih setahun lalu. Raden Mas Martalin, masih aktif di dunia spiritual. Menjadi guru spiritual yang andal. Dia menawarkan kalau saya mau ikut tapa wudo kungkum di bengawan, dalam rangka hari lahir Gadjah Mada. Saya menolak sopan. Wah sampeyan sampai sekarang masih jauh wahyunya Ki. Saya ini di dunia spiritual sudah jadi guru besar. Kata katanya ditujukan pada teman yang juga sama sama sekelas di SMA dulu, yang sekarang jadi guru besar di universitas di Solo.

Dalam sejarah tapa wudo hanya dilakukan dalam kesedihan dan keputusasaan. Seperti kisah Ratu Kalinyamat yang saya ceritakan. Beliau bertapa telanjang meratapi kematian sang suami Pangeran Hadiri (nama mudanya Toyib, atau Win Tang) yang berasal dari Aceh dan berkelana ke daratan Cina, sebelum datang ke Demak. Pangeran Hadiri wafat dikeroyok anak buah Aryo Penangsang, bupati Jipang. Ratu Kalinyamat lantas tapa wudo di bukit Donorojo, di depan pulau Mondoliko, Jepara. Kisah ini terjadi kira kira di tahun 1549. Saya pernah menginap di desa Donorojo, ke pertapaan Ratu Kalinyamat, dan ke pulau Mondoliko saat kelas 5 sekolah rakyat dulu. Tak ada dalam legenda ulang tahun kok harus tapa wudo di bengawan. Ulang tahun itu peristiwa orang bersenang senang. Mau dapat apa kungkum telanjang di bengawan ?

Dalam kehidupan modern kita sering melihat masalah pertelanjangan sebagai masalah pornografi, tetapi juga kadang kala sebagai alat protes sosial, jika semua pilihan sudah mentok. Siapa tahu dengan telanjang para penguasa berwenang bisa tergugah hatinya lalu mengambil langkah langkah perbaikan. Beberapa kali kita lihat di TV orang berdemo telanjang.

Ini juga yang membuat saya dan teman lama, bung Nunung, mantar kiper PSIM tahun tujuh puluhan, puny aide jika pension nanti mungkin bisa mengorganisir demo telanjang para pria pensiunan. Kami bertemu dan main golf bersama bulan Desember kemarin. Sebagai ungkapan frustasi kok begitu gampang hukum dan aparat hukum, diperjual belikan. Tak ada kebanggaan profesi, tak ada kebanggaan sebagai narendro manggalaning projo, tak ada kebanggaan sebagai priyayi, bisa dibeli murah dengan uang. Jika perlu akan kami ajak para bidadari yang bahenol, biar meliuk liuk tanpa busana, di gedung DPR sana. Pasti para wakil rakyat itu, para aparat, dan para pemegang wewenang hukum itu, tergerak hatinya (mungkin juga burungnya) melihat demo wudo para bida dari kayangan.

Seperti yang pernah Eyang Kemlayan petuahkan, walau para pensiunan itu nampaknya hanya gondhal gandhul tanpa daya, tetapi jangan lupa mereka bisa mengajak para bidadari telanjang di Monas ataupun di Senayan. Jika perlu dikasih jamu susu madu telor jahe dulu (STMJ) atau pil Viagra, biar bisa berjalan tegak segagah tugu Monas. Saya yakin itu.

Ndul gondal gandhul, tunggu saja tanggal mainnya. Beberapa bidadari dan selebriti sudah menyatakan minatnya.

Salam damai
Ki Ageng Similikithi
.