Tiba tiba seseorang berteriak lantang dari barisan belakang. “Kene kurang loro raaa”. Suasana hiruk pikuk sedikit meredam gema teriakan itu di antara para hadirin yang sedang menghadiri acara resepsi perkawinan. Tetapi saya yang berdiri didekatnya tersentak kaget. Saat itu sedang menghadiri resepsi perkawinan seorang ponakan di tahun 1981. Acara berlangsung siang hari.
Pesta resepsi perkawinan di kota itu masih klasik. Resepsi duduk, mendengar beberapa pidato, kemudian acara makan dan hiburan. Rentetan hidangan biasanya dimulai dengan minuman teh panas dengan makanan kecil. Sesudah beberapa pidato, urutan hidangan makan mulai dari nasi dengan lauk sambal goreng ati atau krecek, telor separoh, bestik daging bersama kerupuk udang. Kemudian sup ayam, makaroni dan wortel. Ditutup dengan es pudding.
Saya selalu menikmati resepsi duduk seperti itu. Porsi makan tak terlalu berat. Hanya bagi yang suka makan banyak, kadang memang tak tepuaskan. Tamu yang berteriak tadi mungkin habis mencangkul di sawah, belum sarapan, terus datang ke resepsi. Harapannya bisa makan habis habisan. Tahunya porsi terlalu kecil untuk menutup panggilan perut yang belum kenyang. Dalam keadaan lapar orang bisa tampil dalam watak aslinya walau dalam resepsi dengan jas dan dasi rapi.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikan. Kebisaan jamuan perkawinan juga berbeda di lain tempat. Juga bisa berubah dari waktu ke waktu. Ada tempat tempat yang masih mempertahankan cara resepsi duduk dengan hidangan yang dibagikan secara urut. Kelemahan resepsi duduk karena tamu seolah harus mengikuti seluruh acara yang mungkin berlangsung dua jam atau lebih. Banyak orang semakin sibuk dan waktu terbatas. Dibuatlah resepsi berdiri. Tamu tinggal datang, mengisi daftar hadir dan meninggalkan kado, memberikan selamat ke pengantin dan tuan rumah, langsung menikmati hidangan. Boleh pilih mana yang disenangi. Bisa ngobrol jika ketemu teman atau saudara. Bisa menikmati hidangan apa saja atau langsung pulang.
Kelihatan lebih praktis, tetapi juga harus lebih hati hati menyiapkannya. Banyaknya hidangan harus benar2 diperhitungkan jangan sampai kurang. Kebiasaan di masyarakat, kadang datang berbondong sama anak, cucu dan keponakan. Yang diundang sekalian (berarti dua orang), yang datang bisa sebelas orang, sekalian bal balan. Masih sering kita lihat kebiasaan yang tidak layak dalam menghadiri resepsi. Ada saja orang yang rakus. Setiap jenis makanan dijelajah, mulai dari Mongolian beef, kambing guling, sapi guling, bakso, soto, dimsum dan sebut apa lagi. Ambilnya juga kadang tak tanggung tanggung, sepiring penuh. Jika rasa makanan tak cocok cicipi sedikit lalu ditinggal begitu saja. Lalu menjelajah lagi. Bah tak elok atau saru dalam bahasa Jawa. Jika alur tamu tak diatur dalam antre makan, bisa rebutan seperti pasar malam. Jangan terlalu bernapsu mengundang tamu berlebihan, jika tak siap dengan kuota yang diperlukan. Kadang ada kecederungan untuk mengundang tamu sebanyak mungkin, sampai kenalan dari liang semut. Bukan tak boleh, tetapi harus siap logistiknya.
Memilih mau resepsi duduk atay berdiri dengan prasmanan juga harus lihat kebiasaan setempat. Jika memang biasanya kebiasaan resepsi duduk di tempat itu, hati hati untuk menyelenggarakan pesta prasmanan. Apa yang saya ungkapkan di atas bisa terjadi. Semua bisa kacau. Awal tahun 90an, sayamenyelenggarakan acara seminar di suatu kota. Diakhiri dengan makan siang. Peserta 300 orang sesuai rencana. Katering pesan 400 paket. Seminar berjalan lancar. Pas acara makan siang baru masalah datang. Entah karena saking enaknya, sebelum semua peserta dapat giliran makan, ayam goreng habis. Serep oleh katering juga ludes. Ternyata yang giliran duluan ambil porsi berlebihan. Sebagian dibungkus.
Saya tak pernah bisa menikmati makan prasmanan. Paling banter makan sup sama minum es. Tak tahu sebabnya. Saya selalu membayangkan masa kecil dulu, saat ikut resepsi. Duduk tenang, menunggu hidangan makan keluar. Biarkan yang pidato di depan, mau ngomong apa jangan ambil pusing, tenang saja menunggu. Kadang menebak supnya dulu atau nasi dan lauknya keluar duluan. Bisa ditebak, pasti nasi spucuk, sambel goreng ati atau krecek, bistik daging sapi atau potongan ayam dan kerupuk udang. Sup bening ayam dengan sosis dan macaroni. Tak ada yang teriak teriak, tak ada yang rebutan antre makan.
Terakhir pesta perkawinan dengan resepsi duduk ketika seorang tetangga mantu kira kira tiga belas tahun lalu. Almarhum pak Mardi, pensiunan polisi, mantu putri bungsu. Kenal sejak tahun 95 ketika saya pindah ke sebelah rumahnya. Selalu manggil saya Dan. Semula nggak mudeng apa maksudnya. Ternyata singkatan Komandan. Siapa yang nggak seneng dipanggil Komandan?. Saya khusus datang bersama Nyi. Saya benar benar menikmati acara resepsi duduk di halaman dengan tenda. Acara sederhana, tak bertele tele. Lancar dan efisien. Hidangan persis yang saya bayangkan di tahun tahun lima puluhan. Singkat tak sampai satu setengah jam. Masih ingat sampai sekarang.
Salam damai mohon jangan rakus kalau prasmanan.
Ki Ageng Similikithi
Manila, 13 Oktober 2011
Tuesday, October 18, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Ki, sore ini saya lahap habis semua tulisan di perjalanan waktu dan kasih menyusur waktu.
Asyik ki, sambil klecam klecem sendirian.
Matur nuwun pak Endro. Nuwun sewu mbok buka akun FB, soalnya ada kelompok MamaConga di sana. Rame ngobrol terus
Post a Comment